UU KIA Benarkah Mampu Mensejahterakan Ibu dan Anak
Oleh Ummu Fathia
Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan menyambut baik persetujuan DPR RI atas RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan menjadi undang-undang. Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker Indah Anggoro Putri menyebutkan UU KIA diyakini akan semakin meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja atau buruh.
"Pengesahan RUU KIA menjadi undang-undang merupakan wujud konkret dari komitmen DPR dan Pemerintah untuk mensejahterakan ibu dan anak menuju Indonesia Emas," ungkap Putri dalam keterangan resminya, Jumat (7/6/2024).
Menurut ketua Panitia Kerja (Panja) RUU KIA pada Fase 1.000 HPK dari unsur pemerintah menyampaikan, RUU ini dibuat karena ada alasan filosofisnya, yakni untuk mewujudkan generasi emas dan menurunkan tengkes (stunting).
UU KIA merupakan langkah maju dalam memastikan kesejahteraan ibu dan anak di Indonesia. Dengan penyesuaian jam kerja dan tugas bagi ibu setelah melahirkan, serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai di tempat kerja, UU ini diharapkan dapat memberikan dampak positif yang signifikan.
Pada Pasal 4 ayat (3) UU KIA mengatur hak cuti bagi ibu pekerja yang melahirkan paling singkat 3 bulan pertama dan paling lama 3 bulan berikutnya apabila terdapat kondisi-kondisi khusus yang dibuktikan dengan keterangan medis.
UU KIA juga mengatur hak cuti suami mendampingi istri melahirkan sekurang-kurangnya selama 2 hari atau ditambah 3 hari selanjutnya sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja.
Pengesahan RUU KIA menjadi UU dianggap akan membawa angin segar bagi Perempuan untuk dapat tetap berkarir karena mendapat cuti dan tetap bisa tenang bekerja, sehingga menguatkan pemberdayaan ekonomi Perempuan sebagaimana paradigma kapitalisme bahwa Perempuan produktif adalah Perempuan yang bekerja.
UU KIA seolah-olah dirancang untuk mewujudkan kesejahteraan bagi ibu dan anak. Namun, ternyata hal yang mendasari lahirnya UU ini bukanlah semangat untuk mensejahterakan keduanya, melainkan perolehan target ekonomi.
UU ini akan meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja dan kontribusinya terhadap peningkatan produktivitas nasional. Selama ini kendala-kendala reproduksi menjadi alasan utama yang menghambat kaum perempuan berpartisipasi di dunia kerja.
Tampak dari penjelasan ini bahwa UU KIA lebih mengarah pada pemberdayaan ekonomi perempuan daripada jaminan kesejahteraan bagi ibu dan anak. Dengan disahkannya UU ini, perempuan didorong untuk bekerja karena meski bekerja, ia masih bisa merawat anaknya pasca persalinan karena ada cuti melahirkan yang cukup panjang.
Namun, apakah cuti tersebut akan cukup untuk menjamin kesejahteraan ibu dan anak? Sementara itu, negara minim dalam memfasilitasi para ibu. Tidak ada jaminan kesehatan gratis bagi ibu dan anak. Juga tidak ada jaminan tersedianya makanan bergizi seimbang bagi ibu dan anak.
Begitu juga tidak ada jaminan bahwa ibu bisa memberikan ASI eksklusif selama enam bulan dan menyempurnakannya hingga dua tahun. Bahkan bagi ibu tanpa masalah medis, jatah cuti hanya tiga bulan.
Negara juga tidak memberikan jaminan pekerjaan bagi kepala keluarga (laki-laki/bapak) sehingga banyak PHK dan ibu pekerja harus menanggung beban ekonomi keluarga. Bisa dibayangkan, betapa beratnya beban ibu. Sudahlah terbebani secara mental karena harus meninggalkan anak bayi untuk bekerja, ditambah lagi harus terbebani menanggung nafkah keluarga yang sungguh melelahkan.
Lantas di mana sisi sejahteranya?
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Kesejahteraan dalam perspektif Islam tidak didominasi ukuran materi, tetapi sangat memperhatikan aspek ruhiyah. Indikator kesejahteraan ibu dan anak dalam Islam tidak lepas dari posisinya sebagai hamba Allah.
Oleh karenanya, ibu disebut sejahtera bukan karena menghasilkan rupiah, tetapi ketika ia bisa menjalankan fungsi dan tugas yang telah Allah Swt tetapkan baginya, yaitu sebagai pengasuh dan pendidik bagi anaknya. Fungsi hadanah dan tarbiah ini menjadi aspek penting untuk mengukur kesejahteraan ibu dalam pandangan Islam.
Persoalan kesejahteraan ibu dan
Komentar
Posting Komentar