Bisakah Desa Wisata Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi?



Oleh : Dian Safitri

Lagi dan lagi. Negara gagal dalam mensejahterakan rakyat, alih-alih membuat rencana strategis untuk peningkatan ekonomi rakyat. Negara justru konsen pada pembangunan Desa wisata untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Target yang dirancang oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno, yaitu pembentukan 6000 desa wisata selama tahun 2024 untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Jika yang ditarget 6.000 itu berhasil terwujud, maka akan ada penambahan sekitar 4,4 juta lapangan kerja di bidang ekonomi kreatif. Para pemuda di desa yang menjadi tujuan wisata itu, diharapkan bisa menciptakan karya inovatif sehingga menarik daya minat pengunjung. Indonesia sendiri memiliki 80.000 lebih desa, dan 7.500 nya memiliki potensi wisata (republika.co.id, 18/02/2024).

Pengadaan desa wisata dengan tujuan meningkatkan ekonomi masyarakat sebenarnya bukan dalam rangka mengurusi urusan rakyatnya. Akan tetapi sebagai cara negara melepaskan tanggung jawabnya dalam menyiapkan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Rakyat disuruh mencari dan berinovasi sendiri. Adanya statement kemandirian dan pemberdayaan masyarakat hanyalah sebuah anomi untuk mengalihkan tanggungjawab negara terhadap rakyat.

Jika dilihat dari sisi fakta, sebenarnya pariwisata justru lebih banyak resiko sosialnya, seperti ancaman liberalisasi. Sebagai contoh banyak remaja muslim yang mengikuti gaya pakaian pengunjung wisatawan asing. Pakaian minim ini menjadi budaya yang sudah mengental. Ini adalah sebuah racun yang sengaja dilakukan untuk menghancurkan generasi muslim. Gaya hidup yang serba bebas dan pakaian minim menjadi hal yang biasa yang dipertontonkan. Otomatis masyarakat lokal akan mengikuti. Belum lagi eksploitasi alam, para investor asing akan memanfaatkan kekayaan alam yang ada di dalam negeri untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Investasi ini jelas akan menguntungkan para pengusaha.

Lantas, apa yang didapatkan rakyat? keuntungan yang banyakkah? utau ekonomi makin meningkat? atau justru sebaliknya, harus merasakan dan menerima resiko yang membahayakan?

Ya, rakyat hanya sebagai alat yang digunakan para penguasa untuk memuluskan kepentingan Barat. Adanya desa wisata ini justru melanggengkan budaya liberalisme barat dan penjarahan alam oleh investor asing. Dalih untuk mensejahterakan rakyat hanya sebagai alasan untuk memuluskan program tersebut.

Barat melalui kaki tangan mereka yakni penguasa akan terus mempertahankan aspek politik pemerintahan demokrasi dan aspek politik pengelolaan harta kapitalis agar bisa terus menjajah negeri ini, menjarah kekayaan alam negeri ini dengan berbagai cara yang menguntungkan mereka. Mereka mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dan menyisihkan sedikit untuk rakyat.

Pengolahan sumber daya alam sebenarnya sangat strategis untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Tapi sekali lagi, negara ini menerapkan sistem kapitalisme untuk mengatur kehidupan mereka. Tidak heran jika kekayaan alam itu diserahkan kepada swasta maupun pihak asing dan merekalah yang diuntungkan. Inilah demokrasi, dari oligarki oleh oligarki dan untuk oligarki bukan untuk kepentingan rakyat.

Berbeda jauh dengan sistem Islam yakni khilafah yang akan mengoptimalisasi sumberdaya alam untuk meningkatkan pemasukan negara. Dari hasil pengelolaan itu, negara akan memberikannya kepada rakyat untuk  kemaslahatan mereka sebagai hak yang mereka terima. Tersebab, pemimpin dalam Islam adalah pengurus. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam yang artinya:

" Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya".
(HR. Al-Bukhari)

Hadits di atas menjadi pengingat bagi seorang pemimpin dalam menjalankan amanahnya yang kelak akan ia pertanggungjawabkan dihadapan Sang Pencipta. Di sisi lain, masyarakat juga akan terjaga kehidupannya. Dalam sistem khilafah, wisata hanya akan dimanfaatkan sebagai sarana dakwah untuk masyarakat lokal maupun pengunjung dari luar. Bukan sumber pemasukan sebagaimana hari ini.

Wallahu'alam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak