Palak Berkedok Pajak


 

Oleh. Neli Cahaya


Kebijakan wajib pajak terhadap barang dan jasa kepada rakyat lahir dari penerapan sistem kapitalisme. Oleh sebab itu, penarikan pajak dengan segala konsekuensinya adalah suatu keniscayaan dalam sistem kapitalisme. 

  

Pajak tak henti-hentinya mendera masyarakat. Adanya wajib pajak di tengah berbagai keterbatasan hidup berhasil menyulut perlawanan. Ungkap Omar Mohtar dalam tirto.id (21-12-2024), pasalnya mulai 1 Januari 2025, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% resmi diberlakukan pemerintah. Perubahan tarif ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam pasal 7 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). 

  

Beras premium, daging premium, jasa pendidikan premium, jasa pelayanan kesehatan premium, dan pelanggan listrik dengan daya 3500-6600 VA adalah beberapa barang yang akan dikenakan PPN 12%. 

  

Tentu saja banyak dari kalangan masyarakat yang tidak terima dengan kebijakan ini. Sebab kenaikan PPN 12% ini akan menambah beban pengeluaran dan semakin menyulitkan rakyat. Terlebih kebijakan ini diberlakukan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang serba sulit. Meskipun pemerintah mengatakan kenaikan PPN 12% hanya akan diberlakukan pada barang dan jasa yang dikategorikan mewah, namun faktanya barang yang lainnya pun ikut naik. 

  

Kebijakan kenaikan tarif PPN 12% bukanlah kebijakan yang tepat bagi rakyat. Bahkan ini bisa dikatakan sebuah kebijakan zalim, karena kebijakan ini hanya akan menguntungkan penguasa dan menyengsarakan rakyat. 

  

Sistem Kapitalisme Sumber Kesengsaraan 

  

Di sistem rusak ini, seluruh rakyat dikenakan pemungutan pajak. Baik dia kaya ataupun miskin karena di Sistem kapitalisme membayar pajak merupakan sebuah kewajiban. Di Indonesia sendiri pendapatan negara terbesar didapat dari pemungutan pajak yaitu mencapai 82,4%. Dengan ini dapat diketahui bahwa rakyatlah yang membiayai segala bentuk layanan kebutuhan mereka sendiri. Dalam sistem kapitalisme, kekuasaan dijadikan sebagai ladang bisnis. Aturan dan kebijakan dapat diberlakukan dan diubah sesuai kepentingan para penguasa korporat tanpa memikirkan nasib rakyatnya. Rakyat justru dianggap sebagai beban negara, kecuali kepada orang-orang yang memiliki modal tak jarang Negara memberikan pengampunan pajak pada para pengusaha. 

 

Negeri ini sebenarnya memiliki SDA yang sangat melimpah yang apabila dikelola dengan baik dan benar, dapat menyejahterakan masyarakat dan tidak perlu menguras rakyat. Seperti barang tambang, lahan pertanian, ekosistem laut, minyak bumi dan sebagainya. Ironisnya, negeri kaya ini dikuasai para oligarki baik dari dalam maupun luar negeri. Akibatnya, hasil SDA yang melimpah harusnya dinikmati oleh rakyat, justru jatuh ditangan segelintir pihak. 

  

Islam Menyejahterakan Rakyat 

  

Islam diturunkan di tengah-tengah manusia oleh Allah Swt. sebagai Rahmatan lil'alamin. Menunjukkan jalan kepada manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan menerapkan aturan yang segalanya berasal dari Allah Swt. untuk mencapai tujuan tersebut. 

  

Untuk menyejahterakan rakyat, Islam menetapkan bahwa pajak hanya diperoleh dari kaum Muslim yang memiliki kelebihan harta, dan bukan dipungut dari kaum kafir. Bukan memberlakukan pajak kepada semua masyarakat. Pajak tersebut hanya diberlakukan apabila Negara berada dalam keadaan darurat. Yaitu ketika negara kehabisan harta di baitulmal  atau harta di baitulmal tidak cukup untuk membiayai kepentingan rakyat. 

  

  

Ketika Nabi saw. dahulu ketika menjadi kepala negara, beliau mengatur urusan rakyat dengan sangat baik. Nabi tidak memberlakukan pajak kepada seluruh rakyatnya. Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa orang di perbatasan Daulah mengambil pajak komoditif yang masuk ke negeri, Nabi melarangnya. 

Rasulullah saw. bersabda dalam HR. Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim bahwa: "Tidak masuk surga pemungut cukai". 

  

Dalam Islam, sumber tetap dan utama bukanlah pajak, bahkan pajak dapat dikatakan sebagai alternatif terakhir ketika kondisi keuangan negara berada dalam kondisi genting. Fai (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, 'usyur, harta yang tidak memiliki pewaris, khumus rikaz dan tambang, serta harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara dalam sistem Islam ada atau tidaknya kebutuhan dan ini merupakan hak rakyat. 

  

  

Ustadz Ismail Yusanto (Seorang Cendekiawan Muslim) pernah berkata: 

"Isi dunia ini Allah ciptakan 'cukup' untuk kehidupan seluruh manusia di muka bumi, tapi 'tidak akan pernah cukup' untuk memuaskan satu manusia yang serakah". 

  

 

Dengan demikian, sudah sangat jelas perbedaan konsep pajak dalam sistem Islam dan sistem Kapitalisme. Dan pemberlakuan pajak pada saat ini, sudah sangat terlihat siapa yang menjadi korban dari kebijakan zalim ini. Allah Swt. dan Rasulullah saw. telah banyak memberikan peringatan kepada para pelaku zalim ini. Tetapi peringatan tersebut tidak membuat mereka takut. Bahkan menunjukkan sikap membangkang seolah-olah ingin melawan Allah dan Rasul-Nya. 

  

  

Lantas, masihkah kita akan membiarkan kezaliman ini terus terjadi? jika ingin mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, maka dibutuhkan sistem yang sempurna yang bisa memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia. Dan Islam dengan aturan yang berasal dari Allah Swt. yakni pemilik alam semesta, sebaik baik pengatur kehidupan, adalah sistem terbaik yang harus diterapkan dalam kehidupan untuk mencapai sebuah kesejahteraan. Wallahu A'lam Bissawab.[] 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme