Cukai Minuman Manis, Halau Kasus Diabetes?

Cukai Minuman Manis, Halau Kasus Diabetes? Oleh : Risnawati (Pegiat Literasi) 

Pembahasan tentang rencana penetapan cukai minuman manis dikabarkan terkait dengan upaya untuk mengurangi resiko penyakit tidak menular seperti diabetes. 

Dilansir dalam tirto.id - Kementerian


Keuangan akan segera memungut cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Melalui Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2023, target dari peneriman cukai tersebut sebesar Rp4,39 triliun di tahun pertama ditetapkan yakni 2024. 

Meski optimistis mengejar target penerimaan cukai MBDK tahun ini, namun diperkirakan akan sulit dan realisasinya akan lebih kecil. Menurut pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, saat ini terhitung sudah akhir Februari 2024 dan pembahasan cukai tersebut masih berlangsung. 

“Realisasinya akan lebih kecil, mengingat sudah akhir Februari tapi masih pembahasan antar kementerian/lembaga,” ucap Fajry kepada Tirto, Jumat (23/2/2024). 

Telaah Akar Masalah 

Saat ini berdasarkan data, penderita diabetes di Indonesia mencapai 13% total penduduk sekitar 270 juta, jumlah tersebut setara dengan 35 juta jiwa. Berdasarkan usia, sebaran kasus diabetes pada anak yang paling tinggi berada pada usia 10 - 14 tahun dengan porsi 46,23%. Selanjutnya, usia 5 - 9 tahun sebesar 31,05%, usia 0 - 4 tahun sebanyak 19%, dan usia lebih dari 14 tahun sebesar 3%. 

Berdasarkan jenis kelamin, sebaran kasus diabetes pada anak lebih banyak didominasi oleh perempuan dengan persentase 59,3% dan laki-laki 40,7%. Jika dikalkulasikan, semua persentase tersebut bukanlah angka yang sedikit. 

Sebuah Ironi, Presiden Jokowi menerbitkan aturan mengenai perincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2023, di antaranya berisi target penerimaan cukai dari plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Hal ini tercantum dalam Perpres No. 130/2022 tentang Perincian APBN Tahun Anggaran 2023 yang ditetapkan dan ditandatangani oleh Jokowi pada 30-11-2022. 

Pemerintah mematok target penerimaan perpajakan 2023 senilai Rp. 2.021,2 triliun. Penerimaan itu terdiri dari pendapatan pajak serta pendapatan bea dan cukai, dengan lebih dari 30 pos pendapatan. Untuk cukai minuman bergula dalam kemasan ditargetkan sebesar Rp3,08 triliun. Jumlah ini meningkat dibandingkan target 2022 yang besarnya Rp1,5 triliun. Namun sejak 2022, pengenaan cukai tersebut belum berlaku sehingga pendapatannya masih nihil. 

Mencermati hal ini, jelas tidak cukup upaya pencegahan diabetes hanya sebatas himbauan untuk menghindari makanan/minuman manis dan olahraga terkhusus pada anak-anak. Realitasnya, impor gula dan bisnis produk pangan bergula menjadi lahan subur paking roduktiv di negeri ini. Renten impor maupun produk pangan manis tentu saja terlalu menggiurkan untuk diabaikandalam sistem kapitalis ini. 

Kapitalisme lagi-lagi tak mengurai akar masalahnya, Betapa tidak! kapitalisme telah menghasilkan racun pada makanan yang dikonsumsi manusia yang selanjutnya berwujud penyakit degeneratif. Terlebih jika yang mengonsumsi adalah anak-anak, ini jelas penghancuran generasi sejak dini yang tidak bisa kita biarkan lagi. Akan tetapi, bagaimana anak-anak tidak terkena diabetes dini jika aturan yang diterapkan penguasa justru mendukung impor gula dan cukai minuman manis bahkan menjadikannya pos strategis bagi negara. Padahal, kita tahu mayoritas anak menyukai makanan/minuman manis. 

Sebagian besar produk makanan/minuman anak-anak pun rasanya manis. Secara fisiologis pun tubuh manusia khususnya anak-anak paling cepat menyerap glukosa. Semua ini jelas berbahaya karena bertentangan dengan syariah Allah ta’ala. 

Karena itu, solusi untuk mencegah diabetes tentu membutuhkan upaya mendasar dan menyeluruh. Penetapan cukai pada minuman kemasan tidak serta merta menghalangi Masyarakat mengurangi minuman manis. Terlebih lagi dalam kondisi tingginya kemiskinan dan rendahnya tingkat Pendidikan serta rendahnya literasi kesehatan dan keamanan pangan, justru membuka celah adanya minuman manis yang tidak terkontrol di tengah masyarakat. 

Di sisi lain, penetapan cukai, yang menjadi cara negara kapitalisme sebagai sumber pendapatan negara, akan menjadi sesuatu yang menjanjikan. Meski pun pada faktanya masih banyak persoalan terkait dengan kepatuhan dan besarnya peluang penyelewengan pajak. Dengan demikian makin menimbulkan keraguan akan keberhasilannya mencegah. Apalagi pelaku industri tentu merasa dirugikan.    

Kembali Kepada Islam 

Islam memilikiaturan dan mekanisme untuk menjaga jiwa manusia, Islam juga amat memperhatikan bagaimana keberlangsungan hidup seorang anak. 

Dalam Islam, negara memfungsikan dirinya sebagai pengurus dan pelindung. Memberikan jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya, baik jaminan pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan), maupun jaminan pemenuhan kebutuhan komunal seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan, termasuk dalam menjaga keberlangsungan generasi agar tetap sehat. 

Karena, Islam mewajibkan negara menjaga kesehatan rakyatnya, Negara akan melakukan berbagai Upaya menyeluruh dan mendasar untuk mencapai derajat kesehatan yang prima, baik melalui pembuatan kebijakan dan aturan dalam industri, penyediaan sarana kesehatan yang memadai maupun meningkatkan edukasi masyarakat dengan sungguh-sungguh. Baik tentang pentingnya kesehatan maupun keamanan pangan dalam prinsip halal dan baik. Inilah, politik kesehatan Islam adalah pengurusan kepentingan publik dalam hal kesehatan dengan sudut pandang Islam. Dilakukan secara praktis oleh negara (Khilafah), berupa upaya promotif-preventif dan kuratif, dengan sistem kesehatan Islam sebagai instrumen praktisnya. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak