Indonesia Darurat Miskin, Bagaimana Nasib Generasi?
Penulis Hermawati, S.Si (Pemerhati Sosial)
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan selama ini pemerintah menggunakan basis perhitungan masyarakat miskin ekstrem dengan garis kemiskinan sebesar US$ 1,9 purchasing power parity (PPP) per hari. Padahal secara global sudah US$ 2,15 PPP per hari. Hal ini diungkapkan Suharso pada saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/6/2023).
Jika standar yang dipakai dalam negeri rendah, hal tersebut akan membuat range yang lumayan besar terhadap PPP standar global. Artinya sebenarnya dalam ukuran global dunia, kita terukur tinggi dalam tingkat kemiskinan masyarakat. Karena diukur dari besarnya rata-rata pendapatan masyarakat. "Kalau menggunakan angka SDGs (Sustainable Development Goals) di angka US$ 2,15 PPP dan kalau ini kita gunakan maka kemiskinan ekstrim naik ke 6,7 juta sehingga setiap tahun mulai tahun ini kita harus turunkan kemiskinan 3,35 juta," ujarnya. (Jakarta, CNBC Indonesia)
Kondisi ini tidak terkecuali anak-anak yang mendapat imbasnya. Dengan fakta yang ada beberapa pakar menganalisa masalahnya adalah kurang tepatnya sasaran perlindungan sosial yang membuat rentan dalam minimnya akses kesehatan, pendidikan dan akhirnya anak-anak terindikasi miskin serta ketidakmampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan utamanya. Data tersebut dikumpulkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) dan Save the Children.
Di negara-negara berpendapatan rendah, hanya satu dari 10 anak, bahkan kurang, yang mempunyai akses terhadap tunjangan anak. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan cakupan yang dinikmati oleh anak-anak di negara-negara berpendapatan tinggi. “Secara global, terdapat 333 juta anak yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari 2,15 dolar AS (Rp33.565) per hari, dan hampir satu miliar anak hidup dalam kemiskinan multidimensi,” kata Direktur Global Kebijakan Sosial dan Perlindungan Sosial UNICEF, Natalia Winder Rossi, dikutip dari Antara, Kumparan Bisnis (15/2/2024).
Pertanyaan selanjutnya apakah perlindungan sosial mampu menyelesaikan masalah ini, sementara negara juga menggelontorkan dana yang besar untuk infrastruktur yang massif dan pembangunan di bidang lainnya. Juga pertanyaan yang sama, apakah perlindungan sosial akan menyentuh semua masyarakat yang berkekurangan?. Sementara banyak fakta yang terungkap dimana bantuan sosial tidak tepat sasaran dan tidak semua yang bias menikmatinya.
Kemiskinan berbanding lurus dengan masalah ekonomi dan kebutuhan masyarakat yang jauh dari tercukupi. Hidup di tempat kumuh dan tidak layak, kebutuhan pangan yang seadanya atau bahkan tidak terpenuhi, belum lagi lahan pekerjaan yang hanya memberikan kesempatan kepada orang yang mengenyam pendidikan, menjadikan hal ini sebagai lingkaran setan yang tidak ada ujungnya.
Kondisi ini harusnya menjadi perhatian serius dari negara. Islam menyikapinya dengan lebih luas dan komprehensif sampai ke akar masalahnya. Negara bertanggung jawab dalam masalah pemenuhan kebutuhan masyarakat secara umum, dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan penghidupan yang layak. Makanya perusahaan-perusahaan dalam negeri haruslah milik negara bukan milik swasta atau asing agar lapangan pekerjaan bisa diisi oleh orang lokal. Masalah kepemilikan menjadi hal dasar yang harus jelas. Sumber daya alam melimpah yang ada haruslah negara yang mengelolanya sehingga keuntungan penuh bisa didapatkan, dan akhirnya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, layanan publik yang bisa diakses tanpa biaya mahal atau bahkan gratis samasekali.
Ketika dalam satu aspek ini saja yaitu ekonomi mampu dipegang negara, maka akan terlihat perubahan yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan masyarakat. Apalagi jika kondisi politik tanpa intervensi yang diterapkan, maka kemudahan dalam pengurusan masyarakat dengan baik dapat terwujud. Sistem ekonomi dan politik Islam menjadikan negara mampu memberikan penghidupan yang layak bagi masyarakat tanpa intervensi dari siapapun sehingga negara mampu memberikan kesejahteraan.
Kondisi dalam sistem kapitalisme membuat masyarakat terhimpit. Di Satu sisi negara seakan berlepas tangan dengan kondisi, disisi lain para konglomerat mendapatkan kekayaan yang berlimpah. Bantuan-bantuan yang sifatnya temporer tidak menyelesaikan masalah karena masyarakat tidak bisa terus menunggu hingga bantuan datang kemudian bisa makan atau yang lainnya. Harusnya masyarakat punya kondisi stabil dalam rumah tangganya untuk bisa tetap bertahan hidup. Kondisi tersebut harus diciptakan oleh negara sebagai pengurus masyarakat. Jadi negara bukan sebagai regulator saja, tapi lebih tepatnya negara sebagai pengurus dan pelindung, perisai bagi masyarakatnya. Sebagai generasi kita harus melihat masa depan negeri ini tidak sebelah mata. Kondisi generasi mendatang ditentukan dengan keputusan dan model kebijakan yang ada saat ini. Jika para pakar menggambarkan bahwa kita sekarang menuju kemiskinan ekstrem, maka kondisi ini tidak hanya mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat, namun juga kondisi sosial dan mentalnya. Kejahatan akan meningkat karena keterpaksaan akan kebutuhan hidup. Kondisi mental keluarga dan masyarakat lebih parah dengan kondisi yang ada, ada begitu banyak kasus bunuh diri. Minimalnya akses pendidikan yang layak menjadi hal yang lain yang tidak bisa diabaikan. Kedengarannya sangat suram jika hal ini benar-benar terjadi.
Namun masyarakat masih bisa punya harapan jika mau memberi kesempatan pengaturan tentang perekonomian dan politik berdasarkan konsep Islam. Secara menyeluruh konsep Islam dalam pengaturan masyarakat sudah pernah diterapkan dan berhasil dalam mengatasi kondisi-kondisi seperti di atas. Jadi tidak ada salahnya memberikan kesempatan kepada konsep Islam untuk menyelesaikan masalah ini, karena konsep Kapitalisme yang ada sekarang sudah terlihat kecatatan di dalamnya.[*]
Komentar
Posting Komentar