Kapitalisme Abai Dalam Memperhatikan Kondisi Lingkungan



Oleh :Masriana

Kehidupan pada hari ini semakin kita dipertontonkan dengan banyaknya  masalah yang kompleks, mulai dari bidang sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, politik, hingga lingkungan.

Baru-baru ini dikutib dari katadata, Indonesia menghasilkan 12,87 juta ton sampah plastik pada 2023. Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan sampah plastik masih menjadi isu serius yang dihadapi Indonesia. Rosa mengatakan,  kondisi tersebut menyebabkan penanganan sampah plastik menjadi fokus dalam Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2024 yang diperingati pada tanggal 21 Februari. 

Sampah plastik sebenarnya bukan hanya masalah regional, namun sudah global. Tak hanya itu selain berefek pada manusia saja hewan pun juga merasakan dampaknya. Sebagaimana penemuan yang dipublikasikan dalam jurnal Science Of The Total Environment yang berjudul " The Plastic Homes Of Hermit  Crabs In The Anthropocene". Marta Szulkin seorang ahli ekologi perkotaan dari Universitas Warsawa beserta rekanya Zuzanna Jagiello dari Universitas Warsawa dan Lukasz Dylewski dari Poznan University Of Life Sciences menemukan sebanyak 386 kelomang yang menggunakan cangkang dari sampah yakni tutup botol plastik atau bohlam lampu. Ini masih sampah plastik yang berukuran makro padahal masalah lain yang juga ditimbulkan plastik adalah sampah mikroplastik bahkan nanoplastik. Kedua sampah tersebut juga membawa dampak bahaya tersendiri. 

Tumpukan sampah plastik membuktikan dua kondisi yakni kelalaian negara dan rendahnya kesadaran rakyatnya akan bahaya plastik. Sistem Kapitalisme membuat cara berpikir manusia menjadi sempitsempit yakni hanya mengutamakan keuntungan dan kemudahan. Dari sisi masyarakat mereka memang  dimudahkan dari bahan atau wadah plastik yang harganya lebih murah.

Masyarakat juga terbiasa dengan keadaan seperti itu, dikarenakan negara Kapitalisme memang tidak menyediakan teknologi wadah ramah lingkungan. Justru sebaliknya negara Kapitalisme membuka lebar-lebar para pemilik modal (pabrik-pabrik) plastik untuk terus berproduksi. 

Sejatinya peran negara tidaklah demikian. Negara harus hadir dalam menjalankan fungsinya untuk mengurus urusan rakyat. Negara yang seperti ini hanya ada dalam sistem Islam dengan negaranya bernama Daulah Khilafah. Rasulullah Saw bersabda "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya. "(HR.al-Bukhari). Kepengurusan ini juga termasuk bagaimana negara wajib mengedukasi rakyat terhadap bahaya plastik terutama bagi kesehatan dan lingkungan. Bagi kesehatan penggunaan berbagai produk plastik dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya seperti kanker, gangguan kehamilan, dan kerusakan jaringan tubuh lainnya. Bagi lingkungan sampah dari plastik sangat sulit diolah dan terurai oleh tanah, pada akhirnya dapat merusak tanah, mencemari tanah dan sumber air tanah. Memang plastik memudahkan manusia dalam masalah perkakas. Hanya saja inovasi dan pengembangan ilmu dalam khilafah selalu berpatokan pada batasan syariat yakni tidak boleh membuat kerusakan di bumibumi dan memanfaatkan alam secukupnya. 

Jadi inovasi dan pengembangan ilmu bukan kemudahan semata demi meraih keuntungan besar seperti prinsip Kapitalisme. Allah Swt berfirman "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya (QS. Al-araf:56). Dalam ayat lain Allah Swt "Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya Gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan kami telah menjadikan untukmu di bumi, keperluan-keperluan hidup dan kami menciptakan pula makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya. "(QS.Al-Hijr 19-20) 

Karena itu selain mengedukasi rakyatnya terhadap bahaya sampah Khilafah akan mengembangkan riset terpadu untuk menemukan teknologi mutakhir. Baik dalam menyiapkan kemasan alternatif ramah lingkungan maupun dalam menghasilkan teknologi pengolah sampah yang dimumpuni. Untuk saat ini di dalam negeri sebenarnya sudah banyak penelitian yang mengembangkan teknologi degradasi sampah plastik. Seperti teknologi dari mahasiswa Universitas Brawijaya yakni PEETBIODEGREE. Proses degredasi plastik alat ini dilakukan melalui 3 metode yaitu penyinaran menggunakan sinar ultraviolet, pemanasan dan degredasi dengan memanfaatkan mikroorganisme pendegradasi plastik. Di laboratorium alat ini bisa mendegradasi sampah plastik hanya dalam beberapa bulan. Tak hanya Universitas Brawijaya sebenarnya kampus-kampus lain seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) juga sudah mengembangkan teknologi degradasi plastik dengan menggunakan bakteri maupun jamur. Teknologi Purwarupa penyaring air tercemar mikroplastik. Di Universitas Sydney percobaan degredasi plastik menggunakan jamur Aspergillus terreus dan Engyodontium album membutuhkan  waktu 140 hari. Ada juga alternatif teknologi lain yaitu plastic to oil conversion. Dengan teknologi ini plastik dapat didepolimerisasi untuk kembali menjadi senyawa hidrokarbon dalam hal ini minyak atau gas sintetis. Selain teknologi degradasi plastik, pengembangan bioplastik juga sudah banyak dikembangkan. Bioplastik adalah jenis plastik yang diproduksi dari sumber-sumber alami atau bahan-bahan organik,  seperti tanaman alga, pati, lignin atau mikroorganismemikroorganisme sehingga mudah tergradasi di alam. 

Khilafah tidak akan membiarkan teknolog-teknologi ini hanya sebatas hasil laboratorium semata. Namun akan merealisasikan secara nyata dalam kehidupan. Tentu upaya ini membutuhkan biaya besar. Namun bagi khilafah, hal ini bukan masalah besar karena khilafah memiliki sumber dana daripos kepemilikan negara berupa Baitul Maal. Dana pos ini akan dialokasikan khilafah untuk membuat pendanaan inovasi penyediaan bahan alternatif plastik. Dengan begitu rakyat tetap dapat menikmati kemudahan teknologi plastik yang ramah lingkungan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak