Kembali Pemilu Demokrasi Menelan Korban Jiwa, Butuh Solusi Tuntas
Oleh. Ranum Adzimatinur
Duka kembali melanda negeri ini, anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) kembali menelan korban. Meskipun angkanya menurun dari tahun sebelumnya, tetapi ini menunjukkan bahwa sistem pemilu demokrasi perlu dibenahi. Mengapa sampai hal demikian terulang kembali?
Penyelenggaraan pemilu kembali membawa duka, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat ada 35 orang meninggal dunia setelah menjalankan tugas proses penghitungan suara Pemilu 2024. KPU menjabarkan 23 jiwa di antaranya KPPS. Selain itu, KPU mencatat ada 3.909 Jiwa yang jatuh sakit pasca-menjalankan tugas penghitungan suara. Mereka di antaranya 119 panitia pemilihan kecamatan (PPK), 596 PPS, 2.878 KPPS dan 316 petugas Linmas. (Detik.com,16-02-2024)
Nyawa Tak Sebanding dengan Pemilu
Menurut data yang didapat dari berbagai Rumah sakit, penyebab pasti anggota KPPS yang menjadi korban diakibatkan karena kelelahan, sakit kepala, hipertensi, gangguan maag. Selebihnya flu, demam dan ada juga dengan riwayat penyakit jantung akibat kebanyakan minum minuman yang berkafein.(Detik.com,16-02-2024)
Sungguh miris bukan? Pemilu yang seharusnya menjadi pesta demokrasi yang katanya adalah pesta rakyat malah justru banyak rakyat yang menjadi tumbal demokrasi. Banyaknya petugas KPPS yang kelelahan akibat menjalankan tugas sebagai KPPS disebut sebagai salah satu penyebab utama meninggalnya anggota KPPS. Tugas yang dibebankan kepada para KPPS jika dilihat dari segi waktu kerja jelas berlebihan.
Bayangkan mereka menjalankan tugasnya sejak persiapan, proses pelaksanaan pemungutan surat suara hingga perhitungan surat suara saja sudah memakan waktu hampir 24 jam, agar tidak mengantuk pun tak jarang kebanyakan dari mereka mengonsumsi kofein (kopi) sebagai penguat dalam bekerja. Karna rata-rata yang terjadi untuk menuntaskan perhitungan data surat suara akan selesai keesokan harinya.
Proses pemilu dalam sistem kapitalis tentu tidak lepas dari berbagai beban berat yang dilimpahkan kepada para calon legislatif maupun pada panitia penyelenggaraan, selain itu waktu, tenaga dan uang pun menjadi masalah utama dari pemilu sistem kapitalis. Buktinya pelaksaan pemilu hanya sebagai pelengkap untuk para pemilik modal dalam meraih kekuasaan. Hanya keuntungan yang dipikirkan para pemilik modal tapi nyawa manusia bagaikan butiran debu tak berharga. Di sisi lain, Pemilu demokrasi ini juga menyisahkan kekecewaan baik pendukung kontestan yang kalah, maupun warga yang golput karna tidak adanya kepercayaan pada demokrasi.
Pemilu demokrasi, Pesta Pemilik Modal
Sejatinya pemilu demokrasi hanyalah sebuah permainan bagi para penguasa. Menang dan kalah adalah pilihan dalam permainan, sedangkan untuk bermain game butuh modal yang besar. Siapa pun bandar yang memiliki modal terbesar pasti dia yang akan menang dalam permain game. Pemilu demokrasi adalah Pesta Rakyat hanya sebagai tameng semata. Itulah hoax pemilu di sistem Kapitalis.
Sistem pemilu demokrasi lahir dengan asal sekularisme yakni pemisahan agama dan kehidupan. Melihat demokrasi yang lahir dan dibesarkan oleh kapitalis sekularisme, maka kapitalis sekularisme akan menihilkan peran agama dalam kehidupan kecuali ibadah ritual semata. Sehingga di sistem pemilu ini akan rentan terjadinya money politic, korupsi, boros biaya pemimpin yang dihasilkan tidak amanah dll.
Inilah bukti nyata rusaknya sistem demokrasi yang menganut kapitalis sekularisme. Di dalam pelaksanaannya hanya sebagai sebuah drama pergantian pemimpin tapi rakyat akan tetap terzalim dengan segenap peraturan yang dibuat para pemilik modal. Rakyat hanyalah sapi perah yang diperalat untuk melanggengkan kekuasaan mereka.
Sistem Pemilihan Pemimpin dalam Islam
Sistem Islam sebagai sistem yang paripurna tidak memisahkan antara agama dan kehidupan tentu memiliki sejumlah peraturan dalam pemilihan kepemimpinannya yang patuh kita ambil dan contohi. Pertama, Islam sebagai politik siyasah yang berasal dari kata sasa yasusu siasat yang artinya mengurus kepentingan rakyat.
Allah Swt. berfirman, "Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.” (Q.S As-Shad :26)
Ini sangat berbeda dengan sistem politik demokrasi kapitalis. Sistem yang dibuat oleh manusia hanya akan memakmurkan kepentingan pribadi dan para pemilik modal, sehingga rakyat hanya diberikan harapan palsu untuk perubahan dan kesejahteraan dalam sistem demokrasi. Sejatinya, tidak akan ada perubahan yang membawa kesejahteraan rakyat dalam sistem saat ini.
Kedua, Sistem pemilihan dalam Islam dilakukan pemilihan secara musyawarah, kesepakatan dan penunjukan. Sebagai contoh Abu bakar beliau diangkat sebagai khalifah pertama umat Islam adalah melalui pemilihan secara musyawarah yang dilakukan oleh umat Islam di Tsaqifah bani Saidah setelah wafatnya Rasullah Saw. Pemilihan secara musyawarah ini dilakukan dengan sangat alot dan melalui perdebatan sengit antara golongan Anshor dan golongan muhajirin yang dikawali oleh Abu bakar Shiddiq dan Umar bin Khatab. Musyawarah ini menghasilkan terpilihnya abu bakar Shiddiq sebagai pengganti Rasulullah saw.
Sungguh berbeda dengan sistem saat ini. Proses pemilihan yang berlarut-larut, anggaran yang besar, beban kerja yang berat sehingga menimbulkan korban jiwa dalam pelaksanaannya. Pesta demokrasi yang seharusnya membuat semua rakyat bahagia malah berbalik menzalimi rakyat. Kecurangan demi kecurangan yang telah tampak di depan mata, masihkah kita mau mempertahankan Sistem rusak ini?
Wallahu'alam bisshawab.[]
Komentar
Posting Komentar