KETUHANAN YANG MAHA ESA, TAPI KOK DEMOKRASI?


(Membaca Relevansi Seruan Islam dengan Sila Pertama Pancasila)


Oleh: Ibnu Rusdi (Pemerhati Sosial dan Politik)


Kompromi yang diberikan atas usul perubahan bunyi sila pertama, rupanya bukan belenggu. Justeru menyebabkan bertambahnya kemudahan interpretasinya. Pihak pengusulnya boleh jadi memandang Syariat Islam berpotensi akan terjadinya diskriminasi. Karenanya, perlu direvisi demi rekatnya persatuan seluruh elemen bangsa.

Akan tetapi, hasil revisi sila pertama itu tidak mengubah pesan mendasarnya. Yang bisa dipahami justeru menimbulkan konsekwensi bagi formalisasi Syariah. Aroma tertuntutnya Syariat Islam untuk mengisi pasal-pasal konstitusional yang bakal dimufakatkan semakin tegas.

Bisa dicermati bahwa penghapusan tujuh kata dari teks Piagam Jakarta, memiliki efek ganda. Dan dua-duanya sama-sama positif. Selain efek berupa generalisasi pesan-pesan Islam, juga efek dampingannya. Yakni, tempat berpijak jika kelak perjuangan Islam berkelanjutan, pilar penyangganya semakin kokoh.

Sila pertama yang semula berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", dianggap menyimpan potensi monopoli konsepsional dan mengancam kebhinekaan. Lalu dibuat penyesuaiannya menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Ada yang mungkin dilupakan dari rincian pemikiran jika revisi tersebut tidak murni sekedar menjaga kemajemukan. Polemik Islam dan Pancasila yang berkepanjangan dalam sidang Konstituante, mengisyaratkan kuatnya dugaan ini. Tanda-tanda sekularisasi untuk menghambat pergerakan Islam oleh kalangan ulama, dicurigai menjadi kekuatan lain yang mendorong kompromi itu.

Efek ganda yang lepas dari antisipasi itu adalah:

Pertama, Frase "kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" belum kaffah sebagai kekuasaan Islam. Sebab, selain warganegara penganut Islam, dibutuhkan hukum publik secara khusus bagi nonMuslim. Konstitusi negara dalam hal pengaturan publik akan berwajah ganda, bahkan multiwarna bergantung seberapa banyak agama dan keyakinan yang dilegalisasi oleh negara.

Saat dibayangkan bagaimana memanajemen perundangan multiklausul ini, betapa ribet eksplorasinya. Kecuali diantisipasi dengan cara memunculkan Ayat Penjelasan, semisal "Maksud Syariat Islam bagi pemeluknya adalah dalam hal keyakinan dan peribadahan. Sedangkan Syariat Islam yang bersifat publik berlaku untuk semua penganut agama."

Dengan demikian, perubahan menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" dapat diinterpretasi pada visi yang lebih umum, tanpa menghilangkan spirit utamanya. Nilai-nilai yang memancarkan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa adalah asas Islam untuk keberagaman. Satu konsepsi pengaturan pluralitas warganegara dengan ajaran dan cara Islam.

Kedua, Kompromi falsafati menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" merupakan plasma inti. Dikatakan bahwa Sila Pertama menjiwai seluruh sila-sila yang lain dari falsafah Pancasila. Ungkapan standarisasi serupa ini adalah konvensional. Dengan posisinya sebagai tonggak, apapun aktivitas politik bisa diarahkan. Dan eksistensi Yang Maha Esa sebagai Sembahan sekaligus Pengatur seluruh makhlukNya, memastikan pedoman politik bernegara hanyalah dari ayat-ayat yang diturunkanNya.

Alhasil, ada kejelasan profil ideologis berkenaan sistem hidup bernegara di negeri tercinta Indonesia kita. Manakala dunia mengenal tiga ideologi global perihal manusia dan eksistensi Pencipta Alam, negara akan sangat mudah melakukan identifikasi. Komunisme yang menihilkan peran agama, Sekularisme yang memisahkan otoritas agama dari otoritas negara, ataukah Islam yang full konsepsi universalitas agama.

Jawabnya pasti. "Ketuhananan Yang Maha Esa" adalah pengaturan oleh konsepsi agama. Sifat manajerialnya untuk seluruh umat manusia. Itulah Sistem Islam dengan SyariatNya yang nol diskriminasi. Steril dari tendensi dan titip kepentingan para penerima mandat kekuasaan.

Bisa dimaklumi reaksi sebagian kalangan yang anti perjuangan Islam. Agar balok penumpu seruan Sistem Islam itu bisa dipatahkan dengan senjata amanat ideologi, mereka berusaha keras melakukan 'kompromi' berikutnya. Menghidupkan kembali frase "Ketuhanan Yang Berkebudayaan" dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Lalu, "Ketuhanan Yang Maha Esa" perlu disubstitusi ke dalamnya.

Dan ternyata, Sila Pertama itu masih kokoh dengan struktur 'Kompromi' pertamanya. Tegak dengan jiwa Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi terbit pertanyaan ganjalannya.  Aktualisasi lapangan hingga ini hari, mengapa pilih hukum Demokrasi?@

•••••••••••

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak