Penyelenggaraan Pemilu Kembali Memakan korban, Ada Apa?




 Oleh Ayu Ummu Umar 

Pesta demokrasi berakhir tragis. Pasalnya, Proses pemilihan umum yang diadakan beberapa waktu lalu telah memakan korban jiwa, diketahui dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) tercatat ada 35 orang meninggal dunia dalam proses penghitungan suara pada Pemilu 2024. Dari 35 orang yang tercatat, 23 diantaranya merupakan anggota Komisi Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), 3 Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan 9 orang lainnya yang merupakan Petugas Perlindungan Masyarakat (Linmas). Selanjutnya, ketua KPU RI Hasyim Asy'ari menuturkan bahwa ada 3.909 yang jatuh sakit pasca penyelenggaraan penghitungan suara. Diantaranya 2.878 Komisi Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), 596 Panitia Pemungutan Suara (PPS), 316 Petugas Perlindungan Masyarakat (Linmas) dan 119 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Menurut Ketua Divisi Teknis KPU RI, Banyaknya korban yang berjatuhan disebabkan karena faktor kelelahan dan ada juga yang sakit. Kelelahan yang terjadi menyebabkan timbulnya penyakit. Selain itu, juga beredar informasi bahwa kelelahan inilah yang memicu komorbid. Sebelumnya, metode penghitungan suara dua panel yang sempat diusulkan oleh KPU untuk meminimalisasi beban dan resiko kerja pada anggota KPPS batal diterapkan setelah rapat konsultasi dilaksanakan di DPR, hingga KPU tetap menggunakan metode Pemilu seperti yang dilaksanakan pada 2019 silam.(Detiknews, 16/2/3024) 

  

  

Pemilu Berakhir duka 

  

Banyaknya korban yang berjatuhan pada saat pemilu berlangsung dan pasca pemilu baik pada korban yang meninggal dunia dan yang mengalami sakit, tidak lepas dari faktor pemicu terjadinya hal tersebut yakni Fatigue atau kelelahan. Hal ini terjadi karena petugas mengalami beban kerja yang cukup berat dan panjangnya jadwal penghitungan suara. Kemudian kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus dengan minimnya waktu istirahat menyebabkan petugas kehabisan energi hingga mengalami fatigue yang pada akhirnya menjadi pencetus munculnya penyakit lain seperti penyakit gagal jantung, gangguan pernapasan, dll.


Dilansir dari BBC Indonesia (19/2/2024), yang paling banyak menyebabkan kematian pada korban adalah penyakit jantung sebanyak 24 orang, hipertensi 9 orang, kasus kecelakaan 9 orang, gangguan pernapasan akut 7 orang. Kemudian disusul oleh penyakit serebrovaskular ada 6 orang, syok septik 5 orang, Diabetes Melitus (DM) 4 orang, kegagalan multiorgan 2 orang, gagal jantung 2 orang, dan masing-masing satu kejadian yang menimpa korban dengan kasus TB Paru, sesak napas, asma, dehidrasi, serta penyakit ginjal kronis.  


Setelah BBC menggabungkan data dari KPU, pusat hingga daerah, dinas kesehatan dari berbagai wilayah di Indonesia dan informasi dari beberapa media lokal serta nasional, diketahui jumlah korban jiwa mencapai 100 orang. Selain itu, petugas yang mengalami sakit pasca pemilu adalah sebanyak 7.163 petugas.  


Sebelumnya hal ini juga pernah terjadi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu. Melansir dari kompas (22/1/2020), Arief Budiman selaku Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) menuturkan bahwa total petugas yang meninggal dunia adalah sebanyak 894 orang dan petugas yang mengalami sakit sebanyak 5.175 orang. 

  
Pemilu Tidak Efektif Dalam Sistem Demokrasi 

  

Di Indonesia, Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana bagi masyarakat yang digunakan sebagai hak rakyat dalam memilih pemimpin di negara yang menerapkan sistem demokrasi ini. Proses Pemilu merupakan upaya dalam memilih seseorang untuk mengisi jabatan politik tertentu di mana jabatan tersebut banyak ragamnya seperti, pemilihan presiden, wakil rakyat pada setiap instansi pemerintahan dengan berbagai jenjang tingkatan, hingga kepala desa. Pemilu pertama kali di adakan pada tahun 1955 di mana ketentuan dan peraturan telah di atur dalam bentuk perundang-undangan.


Dasar hukum Pemilu tertuang pada UU No 7 tahun 1953 tentang pemilihan anggota dewan konstituante dan anggota dewan perwakilan rakyat (DPR). Kemudian setelah itu mengalami perubahan menjadi Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 secara umum mengatur tentang  penyelenggaraan, pelaksanaan, pelanggaran serta tindak pidana Pemilu.  Tujuan Pemilu itu sendiri adalah untuk menyeleksi pemimpin-pemimpin baik eksekutif ataupun legislatif serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis dengan dukungan maksimal dari rakyat agar tujuan nasional dapat terwujud sesuai dalam UUD 1945. 

  

Penerapan sistem demokrasi dengan kegiatan Pemilu Sejatinya tidaklah efektif di lakukan sebab jika di tinjau dari segi biaya sangat berlebihan karena penyelenggaraannya yang terkesan boros. Di kutip dari Detik finance (13/2/2024) dana yang di alokasikan oleh Menteri Keuangan untuk Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2024 adalah sebanyak 71,3 triliun. Sangat disayangkan, sungguh angka yang terbilang cukup fantastis terkait dana yang di gelontorkan sebagai persiapan pesta demokrasi. Padahal dana tersebut masih bisa di gunakan untuk mengatasi masalah ekonomi yang terjadi saat ini di mana masih banyak warga negara yang memerlukan bantuan dan belum sempat terjangkau oleh negara untuk memenuhi kebutuhannya. Dilansir dari Good News, (2/3/2023) Ada beberapa daerah di Indonesia yang masih berada di garis kemiskinan yang cukup tinggi, antara lain Papua (26,80%), Papua Barat (21,43), Maluku (16,29%), NTT (20,23%), dan Gorontalo (15,51). 


Sistem kepemimpinan di bawah naungan demokrasi dengan mengatasnamakan rakyat, tidaklah benar dilakukan sesuai fungsinya untuk hari ini. kekuasaan tertinggi yang katanya berada ditangan rakyat tetapi faktanya kekuasaan hanya dimanfaatkan oleh oligarki untuk melanggengkan kekuasaannya.  

  

Selain itu, Pemilu yang diadakan secara serentak dengan sistem sentralistik melalui metode perhitungan suara cepat yang dilakukan dalam kurun waktu sehari tidaklah efektif sebab sangat menguras tenaga para anggota yang bertugas hingga mengakibatkan banyaknya korban yang berjatuhan pada saat pesta demokrasi tersebut berlangsung ataupun setelahnya.  

  

  

Pemilu Efektif Dalam Islam 

  

Dalam Islam, pemilihan kepala negara dilakukan dengan penuh pertimbangan disertai etika.  

  

Adapun dalam pemilihan serta pengangkatan kepala negara, maka pengangkatan tersebut dilakukan dengan tiga tahapan yakni, 

Pertama, Membatasi jumlah calon Khalifah 

Yaitu dalam pemilihan kepala negara calon khalifah akan dibatasi oleh ahlul halli wal 'aqdi atau majelis syura. Hal demikian dilakukan untuk menyeleksi setiap calon khalifah yang tidak masuk dalam kriteria atau tidak memenuhi syarat-syarat in'iqad. 

  

Kedua, pemilihan kepala negara dilakukan oleh sebagian dari umat bagi sosok calon khalifah yang akan menempati jabatan kepala negara. Seperti halnya yang dilakukan oleh Abdurrahman Bin Auf saat setelah Umar bin Khattab terbunuh. 

  

Ketiga, calon pemimpin yang mendapatkan suara terbanyak maka akan dilakukan baiat kepadanya untuk menjadi khalifah yang selanjutnya meneruskan dan menjalankan kepemimpinan sesuai dengan Al-Qur'an dan As-sunnah. 

  

Kemudian, dalam pemilihan kepala negara atau sosok pemimpin maka hanya ada satu pemimpin yang berhak memimpin umat. Maka setelah dilakukan pengangkatan kepala negara, akan dilakukan pembaiatan. Tetapi, baiat hanya dapat di lakukan pada satu sosok pemimpin jika ada dua pemimpin, maka yang lainnya wajib di bunuh. 

  

"Jika didapati ada dua orang imam, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." (HR Muslim)

  

Oleh karena itu, baiat adalah momen terpenting dalam kepemimpinan Islam. Sebab pemimpin yang terpilih harus melalui pembaiatan bagi yang telah memenuhi syarat untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang khalifah. 

  

Sebagai muslim, melaksanakan dan menerapkan Sistem Syariat Islam merupakan bentuk dari ketaatan. Sudah sepatutnya Sistem Islam dirindukan oleh setiap muslim yang menginginkan hidup indah, selamat, sejahtera, tenteram dan penuh berkah. Akan tetapi, semua itu hanya bisa di raih jika Sistem Islam secara kaffah di tegakkan di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah.   

Wallahu A'lam Bisshowab.[] 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak