SETELAH SERANGAN FAJAR, TERBITLAH SERANGAN MENTAL
Setelah Serangan Fajar, Terbitlah Serangan Mental
Oleh : Anggun Pribadi
Pesta demokrasi telah usai, tapi banyak menyisakan problematika dari banyaknya kegagalan caleg yang tidak memperoleh suara. Padahal mereka telah banyak mengeluarkan biaya kampanye yang tidak sedikit. Namun, itulah realitas yang terjadi dalam demokrasi. Setelah mencari dukungan suara dari rakyat, tidak berhasil maka serangan mental pun terjadi.
Seperti yang terjadi pada
Caleg yang berinisial AR yang melakukan teror petasan disiang dan malam hari di menara salah satu masjid di Desa Tambakjati Kec.Patokbeusi, Subang. Naasnya satu orang tewas bernama Dayeh (60 tahun) karena serangan jantung akibat suara petasan tersebut. (source : Okezone.com).
Dan percayalah masih ada banyak lagi fenomena akan sisi gelap pasca pemilihan umum dari tahun ke tahun. Bahkan RSJ (rumah sakit jiwa) sudah pasang badan untuk menampung pasien-pasien baru pasca pemilu. Ya begitulah setelah serangan fajar maka terbitlah serangan mental.
Sungguh memprihatinkan. Pemilu kerap diklaim sebagai pesta demokrasi, ramai orang menyeru untuk menyambutnya dengan sukacita. Namun setelahnya, tak sedikit berujung pada konflik, perpecahan antar keluarga dan kerabat hingga memburuknya kesehatan mental. Khusus yang disebut terakhir bahkan sudah seperti tradisi.
Jika ditanyakan mengapa sampai harus gagal terpilih bisa merembet ke kesehatan mental, jawabnya sudah dapat diduga. Tentu kebanyakan karena pengorbanan, utamanya dari segi materi sering kali tak sebanding dengan hasil yang diharapkan. Bukankah serangan fajar sudah menjadi rahasia umum yang bukan sekedar omon-omon?
Fenomena diatas menggambarkan lemahnya mental dari para caleg maupun para timsesnya. Mereka mentalnya lebih mempersiapkan kemenangan dibandingkan mempersiapkan mental apabila kalah. Pada musim pemilu sekarang banyak kandidat juga sangat berambisi akan jabatan, jabatan adalah suatu yang didambakan bahkan suatu prestasi. Mengingat keuntungan materil dan tanggungan setelah dapat kursi.
Padahal dalam islam, jabatan adalah beban yang sangat berat di pikul. Baik di dunia maupun di akhirat sangatlah besar pertanggung jawabannya.
Rasulullah Saw bersabda" sesungguhnya kalian akan berambisi mendapatkan jabatan/kekuasaan, dan itu akan menjadi penyesalan di akhirat “ (HR.Bukhari dari Abu Huraira ra).
Semisal seseorang jadi penjabat dan memiliki pangkat, itu artinya ia dibawah rakyat bukanya malah diatas rakyat. Karna sejatinya pemimpin adalah pelayan yang mengurusi rakyatnya bukan sebaliknya. Jabatan itu bukan suatu momok yang menakutkan, jabatan itu perlu, bagi orang yang amanah lagi shalih. Orang yang shalih ialah orang yang tidak gila akan jabatan. Namun jika diminta untuk menjabat atau berkuasa ia tidak menolaknya.
Alkisah Abu Bakr tidaklah mau menjadi Khalifah (pengganti) Rasul semenjak kematian Rasulullah SAW. namun pada saat itu para sahabat yang bersepakat untuk menunda pemakaman Baginda Rasulullah untuk meminta dan menunjuk orang yang paling dekat dalam persahabatan dengan Rasulullah yaitu Abu Bakar untuk bersedia menggantikan Rasul untuk mengurusi rakyat dan daulah islam pada masa itu. Dan Abu Bakar atas desakan para sahabat pun bersedia menjadi khalifah dengan satu syarat saja yaitu rakyat harus “taat” pada beliau.
Dan mengenai pemilu dalam islam itu hukumnya adalah mubah (boleh) sebagai uslub untuk memilih pemimpin. Hanya saja pastinya pemilu dalam daulah islam yang sah pastinya bertolak belakang dengan pemilu zaman ini. Mekanismenya sederhana, praktis dan tidak berbiaya tinggi serta penuh kejujuran tanpa adanya aktivitas serangan fajar ataupun kecurangan lainnya. Dipastikan juga para kandidat yang ikut pemilu ialah orang-orang yang telah lolos syarat rukun pemimpin dalam islam yaitu Muslim, Laki-laki, Baligh, Merdeka, Mampu. Dan mesti memiliki visi misi melanjutkan kehidupan islam.
Wallahu’alam
Komentar
Posting Komentar