Benarkah PPKS Solusi Jitu Mencegah Kekerasan Seksual?


Oleh. Ririn Arinalhaq


Sudah hampir tiga tahun permendikbud mengesahkan UU no 30 tahun 2021 yang berisi aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di perguruan tinggi. PPKS diakui sebagai kerangka hukum yang mengikat bagi seluruh civitas academica.


Aturan itu dirancang khusus untuk menangani dengan tegas dan mencegah kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi di perguruan tinggi. Namun benarkah adanya PPKS ini kasus kekerasan seksual bisa diberantas atau bahkan dicegah?


Pertanyaan di atas terjawab oleh fakta yang sangat mengejutkan di mana Oktober tahun 2023 lalu ternyata masuk aduan beberapa korban kekerasan seksual ke tim satgas PPKS Universitas Mulawarman. Total ada 10 mahasiswi yang menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah seorang mahasiswa universitas tersebut yang berinisial AP (24). Hingga pada Desember 2023 akhirnya AP diskor satu semester oleh pihak kampus. (BontangPost, 28/02/2024)


Naas melihat fakta di atas ternyata PPKS tidak mampu mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan bahkan tim PPKS dinilai lamban memproses laporan yang masuk, hal ini disampaikan langsung oleh tim LBH Samarinda Fathul Huda (BontangPost, 28/02/2024). 


Artinya PPKS bukan solusi jitu dan tidak menyentuh akar masalah banyaknya kekerasan seksual di perguruan tinggi. Maka terlebih dahulu pemerintah harusnya menyadari akar masalah dari kasus kekerasan yang seperti gunung es sehingga pemerintah mampu mengambil kebijakan yang jitu untuk memberantas dan mencegah adanya kasus tersebut.


Dengan disadari atau tidak banyaknya kekerasan seksual disebabkan oleh ideologi sekulerisme yang dianut oleh hampir seluruh negara di belahan dunia termasuk Indonesia. Ideologi ini meniscayakan agama terpisah dari kehidupan. Dari ideologi ini pulalah lahir paham liberalisme yang mengusung kebebasan bagi setiap individu masyarakat, akhirnya mereka bebas melakukan apa saja misalnya saja para  wanita yang bebas memakai busana yang tidak menutup aurat, atau banyaknya orang yang membuat dan menyebarkan video porno di sosial media yang bisa menyebabkan naluri seksual seseorang itu bangkit dan sayang untuk memenuhi kepuasan nalurinya itu mereka tidak memperhatikan nilai-nilai agama. 


Terbukti juga dalam isinya Permendikbudristek ini liberalismenya sangat jelas terlihat, karena menurut Permen ini yang dinamakan kekerasan seksual itu jika dilakukan tanpa persetujuan korban, sehingga jika perbuatan tersebut mendapatkan persetujuan korban maka tidak dikatakan kekerasan seksual serta perbuatan tersebut boleh dilakukan dan pelakunya tidak akan dihukum. 


Berbeda sekali dalam Islam yang tegas mengharamkan perzinahan bahkan mendekatinya pun sangat dilarang. Allah Swt tegas berfirman dalam Qur'an surat Al Isra ayat 32:



‎وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلً


Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32).


Sistem Islam pun akan berusaha menutup celah paham liberalisme berkembang di tengah masyarakat yaitu dengan senantiasa menguatkan akidah individu masyarakat melalui sistem pendidikan Islam. Di mana akidah dijadikan sebagai kurikulum pendidikan, sehingga masyarakat dalam Islam akan senantiasa berbuat baik bahkan berlomba-lomba dalam kebaikan. Tidak akan ada masyarakat yang melalukan perbuatan menyimpang termasuk perzinahan, pelecahan ataupun kekerasan seksual.


Selain itu hukum yang berlaku dalam sistem Islam pun bersifat tegas serta memiliki fungsi sebagai pencegah dan membuat efek jera. Hal ini pernah dipraktikkan pada masa Rasulullah Saw di mana ada seorang bangsa Yahudi dari bani Qainuqa melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan dari golongan Anshar yang akhirnya mengakibatkan Rasulullah Saw memerangi mereka. 


Kasus itu jadi alarm kuat di mana saat itu seorang perempuan dari kaum Anshar mendatangi seorang tukang perhiasan di pasar untuk meminta membuatkan perhiasan untuknya. Ketika perempuan itu duduk di sampingnya, tukang perhiasan dari golongan Yahudi Bani Qainuqa itu segera mengambil peralatan besinya. 


Lalu ia ikatkan besi tersebut ke bagian bawah pakaian perempuan itu tanpa disadarinya. Ketika perempuan itu berdiri sontak pakaiannya terbuka sehingga membuat orang-orang yang ada di pasar melihat auratnya. Kemudian tragedi pelecehan seksual yang dilakukan tukang perhiasan itupun sampai kepada Rasullullah Saw, dan beliau segera mengambil tindakan tegas. 


Rasulullah Saw mendeklarasikan perlawanan secara terang-terangan terhadap Bani Qainuqa dan menjadikan kasus pelecehan seksual itu sebagai pelanggaran besar atas perjanjian damai yang telah disepakati.  


Di kemudian hari, keputusan Rasulullah Saw yang membatalkan perjanjian damai dan tidak memberi perlindungan kepada kelompok pelaku pelecehan seksual terhadap perempuan juga diikuti oleh Khalifah Umar bin al-Khattab ra. Yaitu saat ada seorang Yahudi memerkosa seorang perempuan. 


Penuh ketegasan Umar ra berkata: “Siapa saja dari mereka (konteks waktu itu adalah sekelompok Yahudi) yang melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan maka tidak ada perjanjian damai atau jaminan keamanan baginya.” (Abu Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, Ma’rifatus Sunan wal Atsâr, [Aleppo-Kairo, Dârul Wa’yi: 1411 H/1991 M], juz XIII, halaman 381-382). 


Oleh karena itu, jika pemerintah menginginkan kasus kekerasan seksual ini hilang dan lenyap maka caranya dengan menyelesaikan akar masalahnya yaitu dengan mengganti sistem sekulerisme liberal yang saat ini berlaku dengan sistem Islam dalam naungan Khilafah. Wallahu'allam...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak