Cacatnya Demokrasi Pemilu Curang Kembali Terulang
Oleh: Rokayah
(Pemerhati Sosial)
Terulang lagi, proses pemungutan suara di Kecamatan Sangatta Utara, Kutai Timur, berlangsung ricuh, Selasa (27/2). Tampak dalam pertemuan itu para saksi dan penyelenggara saling adu argumen. Kericuhan ini buntut perolehan selisih suara yang amat signifikan. https://kaltim.indeksmedia.id/saksi-partai-nasdem-sangatta-utara-tanggapi-alotnya-perhitungan-suara/
Kabar terkait kericuhan proses pemungutan suara yang terjadi hanyalah sebagian kecil dari ribuan kisah tragis, yang disebabkan oleh pelaksanaan PEMILU. Hal ini tidak hanya terjadi di kutim, tetapi merata hingga kepelosok negeri ini.
Bukan rahasia lagi, jika pelaksanaan PEMILU di negeri ini, banyak menimbulkan permusuhan dan perselisihan. Mulai dari kecurangan dalam perhitungan surat suara, sudah menjadi lagu lama Yang akan terus berulang.
Nampaknya masyarakat juga tidak pernah belajar dari kesalahan. Terbukti dalam proses pemilihan pemimpin tetap saja menggunakan sistem ini. Padahal sudah banyak Fakta yang menunjukkan cacatnya Pemilu dalam sistem demokrasi ini, sayangnya banyak masyarakat belum menyadari.
Seharusnya masyarakat bisa membuka mata, untuk tidak berharap lagi pada sistem saat ini (demokrasi). Sudah berapa kali gonta-ganti pemimpin toh keadaan negara sampai hari ini masih tetap sama, bahkan problematika yang dihadapi umat makin parah, mulai dari mahalnya harga pangan, BBM dan tingginya angka stunting serta persoalan yang lainnya yang masih banyak dan belum terselesaikan.
Itu Sebabnya berharap perubahan lewat pergantian pemimpin dalam PEMILU demokrasi tidak akan pernah bisa berhasil. Hal ini dikarenakan watak sistem demokrasi yang rusak bahkan cacat sejak awal kemunculannya.
Dimana dalam sistem demokrasi yang berakidahkan sekularisme yaitu memisahkan agama dari kehidupan, ini merupakan sistem kufur sebab asas dalam demokrasi kedaulatan ada ditangan rakyat, menjadikan manusia sebagai pembuat sumber hukum. Dan ini jelas bertentangan dalam Al Qur’an dimana“ Menetapkan Hukum itu adalah hak Allah “ ( Qs : Al An ‘am : 47 ).
Dalam demokrasi meniscayakan kemenangan didapat melalui suara terbanyak. Yang bisa diraih asalkan memiliki modal dana yang cukup besar, ketenaran serta pengaruh jabatan dan kekuasaan yang dimiliki. Oleh karena itu memilih pemimpin dalam sistem demokrasi merupakan hasil mutlak, dan ini sangat berbahaya.
Diperparah lagi dengan empat pilar asas kebebasan yang diadopsi Yang pertama yaitu kebebasan dalam hal beragama dimana setiap individu bebas bergonta- ganti agama bahkan tidak beragamapun bebas tidak ada larangan.
Yang ke dua bebas berekspresi setiap individu bebas melakukan apa saja yang ia sukai seperti bergonta -ganti kelamin. Dan Yang ke tiga Kebebasan berbicara atau berpendapat setiap individu bebas menghina, menghujat ulama, nabi bahkan kitab suci agama lain. Ke empat kebebasan kepemilikan. Setiap individu diberikan kebebasan untuk mengelolah dan menguasai SDA kita.
Berharap perubahan dalam sistem demokrasi hanyalah sebatas angan belaka. Sebab akar persoalan bangsa ini bukan terletak pada pergantian pemimpin tapi lebih kepada kerusakan sistem yang saat ini diadopsi dan diterapkan. Ini dikarenakan sistem demokrasi hanya akan melanggengkan kepentingan sekelompok golongan saja, yang mengatasnamakan rakyat.
Ditambah lagi biaya dalam pemilu hari ini pastinya membutuhkan modal yang cukup besar, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya praktek money politik untuk bisa menduduki kursi kekuasaan. Sistem ini wajib ditolak atau dibuang karena akan menimbukan banyak sekali kemudhorotan.
Ini karena orientasinya hanyalah dunia, berbagai cara dan upayapun akan dilakukan guna mendapatkan jabatan dan kekuasaan. karena dengan memiliki jabatan dan kekuasaan seseorang akan dengan mudah menetapkan suatu kebijakan, yang tujuannya untuk mengejar kebahagiaan duniawi. Tanpa lagi memikirkan apakah itu sesuai dengan hukum syara atau justru melanggarnya.
Dilain sisi bayang-bayang oligarki pun siap mengancam kesejahteraan rakyat, akibat kebijakan yang tak rasional. Padahal berdasarkan konstitusi negara, sebuah pemerintahan dibentuk untuk melindungi, melayani dan mensejahterakan rakyat. Bahkan demokratisasi politik itu sendiri menghendaki pembangunan kesejahteraan sosial oleh rakyat, dari rakyat untuk rakyat.
Namun itu hanyalah slogan semata tanpa bisa terealisasi dalam kehidupan nyata. Faktanya justru kesejahteraan hanyalah bagi mereka yang memegang Kendall kekuasaan. Ini merupakan bukti kongkrit bahwa demokrasi merupakan sebuah sistem yang utopis. Yang tak melahirkan kebijakan yang tidak benar-benar diperuntukan oleh rakyat.
Tentu hal ini berbeda dalam sistem pemerintahan Islam yang meniscayakan bahwa yang berhak melegalisasi atau menetapkan Undang-Undang adalah Allah SWT bukan manusia. Maka jika dipandang dalam sistem demokrasi saat ini penetapan hukum yang ditetapkan oleh manusia merupakan suatu tindak kejahatan yang cukup besar.
Karena sejatinya demokrasi dan Islam adalah dua sisi yang berbeda demokrasi menjadikan manusia sebagai pembuat aturan, sedangkan Islam mengajarkan bahwa Allah SWT yang menciptakan manusia dengan lengkap dengan aturanNya.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan Islam berbanding terbalik dengan sistem pemerintahan demokrasi. Dimana dalam sistem demokrasi meniscayakan terjadinya money politik sedangkan dalam Islam untuk memilih seorang pemimpin (kholifah) melalui proses pembaiatan yang dipilih langsung oleh umat.
Dalam Islam seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan dalam ketaatan serta mampu menerapkan hukum -hukum Allah sebagai acuhan dalam melaksanakan kepemimpinanya. Sebab, untuk menjadi seorang pemimpin didalam Islam tidaklah mudah , karena memikul beban berat dan tanggung jawab terhadap urusan umat.
Rasullullah SAW bersabda “Imam(kepala negara) itu laksana penggembala, dan dialah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya”. Kepemimpinan menurut sabda Rasulullah SAW ialah sebuah konsep periaayahan atau mengurusi terhadap urusan umat yang tidak hanya berorientasi dunia tetapi juga diakhirat.
Oleh karena itu, sudah sangat jelas perbedaan sistem demokrasi dengan sistem Islam. Dimana dalam sistem demokrasi kepemimpinan hanya bertujuan untuk melanggengkan sebuah kekuasaan demi sebuah kepentingan segelintir kelompok dan golongan, sedangkan dalam Islam kepemimpinan diciptakan untuk menciptakan kehidupan yang aman dan sejahtera bagi umat agar tercipta kehidupan yang Rahmatan lil A’laamiin.
Oleh karenanya sudah sangat jelas jika ingin melakukan sebuah perubahan bukan memilih pemimpin lewat jalur PEMILU (demokrasi) akan tetapi harus melalui metode pergantian sistem. Ibarat mobil yang rusak solusinya bukan dengan mengganti sopirnya tapi yang perlu diganti adalah mobilnya.
Lalu masihkah kita berharap pada kepemimpinan ala-ala demokrasi yang terbukti banyak sekali memberikan kerusakan dan kemudhorotan bagi kehidupan kita?. Wallahu A’lam Bishowabh.
Komentar
Posting Komentar