Desa Wisata, Mampukah Menyejahterakan Rakyat?
Oleh: Yeni Sri Wahyuni
Pemkab Ciamis menetapkan 11 desa menjadi Desa Wisata. Kabid Destinasi Wisata Dinas Pariwisata Ciamis, Dian Kusdiana menjelaskan bahwa bertambahnya 11 desa itu, maka Ciamis kini memiliki 57 desa wisata. Penetapan dilakukan sudah tiga kali sejak 2021, 2022 dan 2023. Dengan diterbitkannya SK (surat keputusan) Bupati Ciamis tentang penetapan desa wisata itu diharapkan pengembangan pariwisata di Kabupaten Ciamis lebih meningkat. (Detik.com, 27/02/2024)
Desa wisata adalah area pedesaan yang menyajikan suasana desa yang asli, termasuk aspek ekonomi, sosial budaya, tradisi, kehidupan sehari-hari, hingga gaya arsitektur bangunan. Dengan adanya desa wisata akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat, sehingga dapat mengurangi pengangguran dan bisa meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Pengelolaannya diserahkan kepada kelompok masyarakat, bisa juga dikelola oleh pemerintah daerah, badan usaha, atau pihak ketiga yang ditunjuk pemerintah daerah sebagai pihak yang bertanggung jawab mengelola desa wisata.
Desa wisata yang sedang dikembangkan oleh pemerintah belum dapat dipastikan memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Nyatanya, sampai saat ini masih banyak masyarakat pedesaan yang tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Selain itu, jika pembangunan fasilitasnya dilakukan tanpa perencanaan yang tepat, maka akan menimbulkan dampak pada kerusakan lingkungan, merusak keseimbangan alam, semakin sempitnya lahan pertanian, dan sebagainya.
Di samping itu, desa wisata yang mengandalkan budaya, ekonomi, ataupun wisata alam, juga rentan terhadap berbagai ancaman sosial. Misalnya, saat ini budaya nenek moyang kembali marak dilaksanakan. Ada banyak tradisi yang sebenarnya bertentangan dengan agama namun menjadi bagian penting dari desa wisata. Tanpa disadari, kegiatan tersebut menimbulkan dampak yang sangat serius, yaitu menggerus akidah umat. Mereka lebih percaya takhayul, khurafat, hingga animisme dan dinamisme.
Bahaya lainnya adalah bidang sosial. Secara tidak langsung, tatanan kehidupan sosial masyarakat lambat laun juga akan terpengaruh dan berubah. Aktivitas wisatawan seperti pacaran, seks bebas, beredarnya khamar, dan gaya hidup bebas akan dibiarkan demi mendatangkan wisatawan ke daerah tersebut. Hal ini bisa terjadi karena sekularisme, materialisme, dan kapitalisme yang masuk dan mengubah cara berpikir masyarakat. Akibatnya, semua budaya atau aktivitas yang bertentangan dengan agama tetap boleh dilakukan.
Berbeda dengan Islam, Islam memandang pariwisata bukanlah salah satu sumber penghasilan negara. Dalam Islam, wisata merupakan jalan dalam mensyukuri nikmat alam untuk bertafakur kepada Allah. Tujuan utamanya adalah agar umat manusia mengenal Al Khalik (Pencipta) melalui keindahan ciptaan-Nya. Objek wisata di dalam Islam berupa keindahan alam yang indah, natural, dan merupakan sebuah anugerah dari Allah Sang Pencipta kehidupan. Contohnya seperti alam pegunungan yang membentang luas, keindahan panorama pantai, air terjun, dan destinasi wisata alam lainnya. Atau bahkan berbagai peninggalan sejarah yang lahir dari peradaban Islam pada masa kejayaannya. Objek wisata yang seperti ini dapat dijadikan sarana untuk memperkenalkan dan menanamkan pemahaman Islam kepada wisatawan yang datang berkunjung ke berbagai situs sejarah Islam.
Bagi wisatawan nonmuslim, keindahan alam bisa memicu timbulnya keimanan akan keberadaan Sang Pencipta, yang sudah diberikan Allah kepada setiap manusia. Dan peninggalan peradaban Islam bisa menjadi propaganda untuk nonmuslim. Bahwa, peradaban Islam itu memang betul-betul pernah berjaya pada masa lampau, dengan bukti peninggalan-peninggalan yang masih ada.
Kemudian, negara akan memakai aturan Islam dalam mengelola objek wisata yang ada. Sehingga pemikiran-pemikiran di luar Islam yang berpotensi merusak akidah umat Islam tidak akan bisa memengaruhi tatanan kehidupan masyarakat. Mereka tidak akan mudah terjebak pada khurafat, takhayul, dan semacamnya.
Dengan demikian, masyarakat desa maupun kota tidak perlu membentuk desa wisata hanya demi meraup untung. Kalaupun ada, tempat wisata itu hanya dipakai sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, bukan malah menjauhkan. Maka, sudah saatnya menerapkan Islam secara menyeluruh (kaffah) agar kesejahteraan terwujud tanpa melanggar syariat Islam serta membahayakan akidah umat.
Wallahu a’lam bisshawwab.
Komentar
Posting Komentar