Efek Pariwisata, Liberalisme Meradang
Oleh: Devi Ramaddani
(Pemerhati Sosial)
Indonesia merupakan tempat berbagai pesona alam dan keindahan yang didalamnya anugerah dari Allah. Wajar jika pesona dan keindahan alamnya selalu menarik para wisatawan untuk berkunjung menikmati alam negeri ini.
Namun sayang dibalik potensinya tersebut menimbulkan dampak negatif salah satunya Warga Kelurahan Nipah-Nipah, Kecamatan Penajam, Penajam Paser Utara (PPU) resah dengan keberadaan kafe di Pantai Sipakario yang diduga menghadirkan perempuan-perempuan penghibur dari luar daerah dan menjual minuman keras (miras).
Salah seorang warga, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan bahwa kafe tersebut telah menimbulkan trauma karena di kawasan Pantai Sipakario sering kali terjadi kriminalitas, bahkan sampai terjadi tindak pembunuhan. Penyebabnya, disebut-sebut dampak dari peredaran miras. (https://kaltimpost.jawapos.com/kaltim/2384202608/warga-resah-dengan-kafe-di-sipakariodiduga-tawarkan-wanita-penghibur-dan-miras-dibahas-hari-ini)
Sektor pariwisata diharapkan untuk menambah devisa negara. Setiap daerah berusaha memajukan hal tersebut, dengan menggandeng pihak swasta dalam pengelolaannya. Namun sayang, beginilah jadinya jika obyek pariwisata bertemu dengan kepentingan pengusaha/swasta. Pesona dan keindahan alam menjadi bisnis yang menggiurkan.
Padahal efek buruknya luar biasa dari pengembangan wisata. Salah satunya liberalisme kian meradang menjangkiti warga sekitar. Seperti yang terjadi di kecamatan Penajam. Sudah sampai tahapan meresahkan warga hendaknya segera disikapi pemerintah dengan tindakan yang tegas dan menutup cafe bukan mencari solusi lain misalnya cafe tersebut sudah memiliki izin atau tidak.
Tak hanya itu, pariwisata pastilah identik dengan miras. Tak ada yang mengelak bahwa miras adalah biangnya kejahatan. Miras haram membuat candu, jika mengkonsumsinya akan membuat fungsi akalnya mengalami kerusakan yang berpotensi menimbulkan kejahatan misalnya berbuat kemaksiatan, protistusi yang membuat kehidupan semakin buruk, belum lagi berbuat zina yang akan dapat menyebarkan penyakit HIV/Aids.
Pemerintah dalam sistem kapitalisme sekuler semua dibiarkan, tidak perduli apakah bisnis tersebut menyebabkan kemudharatan atau tidak, selama ada permintaan dan penawaran akan terus dilakukan apalagi sudah berizin dan menghasilkan materi tidak masalah.
Berbeda dengan Islam, Islam terdapat aturan yang sempurna dan menyeluruh yang mengatur disemua lini kehidupan termaksud pariwisata didalamnya, memiliki aturan yang jelas terkait pariwisata.
Hiburan dan pariwisata dalam Islam tidak akan bertentangan dengan syariat. Ketika bertentangan dengan hukum syara maka tidak boleh dilakukan misalnya seperti pariwisata pantai yang mengarah mempertontonkan pakaian minim atau lekuk tubuh, cafe yang menjajakan miras dan prostitusi yang semuanya ini diharamkan oleh Islam.
Adapun dalam Islam mengharamkan Miras dan pemelacuran/zina. "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan dan jangan (pula menghampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub). Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." Q.S A-Nisa Ayat 43.
Islam menetapkan sanksi hukuman bagi orang yang meminum miras berupa cambukan 40 kali atau 80 kali. Ali bin Abi Thalib ra. menuturkan, “Rasulullah Saw. mencambuk (peminum khamr) 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunah. Ini adalah yang lebih aku sukai.” (HR Muslim)
Untuk pihak yang sekalian meminum khamr, maka sanksinya berupa sanksi ta’zir. Bentuk dan kadar sanksi itu diserahkan kepada Khalifah atau qadi, sesuai aturan syariat. Tentu sanksi itu harus memberikan efek jera bagi siapa saja yang berhubungan dengan hamr tersebut.
Dan penguasa dalam Islam menyikapi keresahan warga langsung ditindak secara tegas. Lebih dari itu, tujuan utama pariwisata adalah sebagai sarana dakwah dan di’ayah (propaganda). Menjadi sarana dakwah, karena manusia biasanya akan tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam.
Tafakur alam akan menjadi sarana untuk menumbuhkan atau mengokohkan keimanan pada Allah SWT. Menjadi sarana propaganda (di’ayah), untuk meyakinkan siapapun tentang bukti-bukti keagungan dan kemuliaan peradaban Islam.
Wallahu a'lam bish shawab.
Komentar
Posting Komentar