Fenomena Caleg Gagal, Potrem Buram Penduduk Negeri
Tri Lusiana
(Aktivis Muslimah)
Tanggal 14 Februari 2024 bagi sebagian orang merupakan hari yang sangat bersejarah dan menegangkan bagi para Calon Anggota Legislatif (Caleg). Seluruh upaya yang telah dilakukan mulai dari tenaga, pikiran, bahkan uang pada masa kampanye untuk mengambil hati masyarakat ditentukan pada tanggal tersebut.
Bagi caleg yang berhasil mendapatkan kursi mungkin sejarah yang tercatat adalah momentum tidak terlupakan dalam hidupnya. Tapi bagi Caleg yang gagal?
Paska pemilu, terdapat berbagai fenomena caleg yang gagal terpilih dan timses yang kecewa. Mulai dari yang menderita stress, bahkan bunuh diri hingga menarik Kembali ‘pemberian’ pada Masyarakat.
Beberapa waktu ini terjadi beragam peristiwa, diantaranya timses depresi diminta ambil kembali amplop, timses yang nekat gantung diri, caleg tarik kembali bantuan paving karena di duga dapat suara kecil, dan lebih mirisnya caleg bongkar jalan dan ledakan petasan jumbo di masjid yang mengakibatkan adanya korban yang meninggal.
Berikut ringkasan berita tersebut:
1. Caleg di Banyuwangi Tarik Kembali Bantuan Paving, Diduga Dapat Suara Kecil
Warga Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, Jawa Timur dihebohkan dengan penarikan material paving oleh salah satu calon anggota legislatif (caleg). Paving blok tersebut ditarik kembali setelah sempat dikirim menggunakan truk untuk pembangunan salah satu sudut jalan Desa Jambewangi. Diduga, paving tersebut diambil kembali karena caleg itu tidak mendapatkan dukungan suara dari masyarakat desa seperti yang dikehendaki.
Dijelaskan, ada sejumlah titik yang ditarik kembali untuk dibongkar. Informasinya, ada tiga titik droping paving di tiga dusun yang sudah dieksekusi yaitu di Dusun Panjen, Krajan dan Sumberejo (kompas)
2. Bikin Gelang Kepala, Gagal Antar Caleg Raih Kursi, Timses Diduga Depresi hingga Serangan Fajar Ditarik Lagi
Dua orang timses salah satu caleg depresi usai gagal mengantarkan caleg jagoannya meraih suara. Padahal, caleg dimaksud digadang-gadang meraih suara tinggi untuk duduk di kursi legislatif tingkat kabupaten. Keduanya mengaku telah berjuang maksimal untuk memenangkan calon dewan yang didukungnya. Adapun bentuk upaya yang dilakukan, diantaranya gencar sosialisasi ke masyarakat hingga membagikan sembako serta uang tunai. Bahkan, satu diantaranya sampai nekat mengambil kembali amplop berisi uang yang telah ia bagikan saat menjelang pencoblosan di dapil 7 kabupaten Cirebon. Pasalnya, tebaran uang yang identik dengan serangan fajar itu justru berbanding terbalik dengan torehan suara yang didapat caleg bersangkutan (tvone)
3. Caleg Kalah, Tim Sukses di Pelalawan Nekat Gantung Diri di Pohon Rambutan
Seorang tim sukses calon anggota legislatif (caleg) WG alias Wagino alias Gundul, 56, warga Desa Sidomukti, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di pohon rambutan di kebun karet miliknya, sekitar pukul 11.00 WIB, Kamis (15/2) lalu. Kapolres Pelalawan Ajun Komisaris Besar (AKB) Suwinto membenarkan kejadian tersebut. Menurutnya WG diduga depresi lantaran caleg yang diusungnya tidak mendapatkan suara sesuai harapan atau kalah (tvone)
4. Caleg Gagal di Subang Bongkar Jalan dan Ledakan Petasan Jumbo di Masjid, Satu Orang Tewas
SUBANG- Seorang calon anggota legislatif (caleg) DPRD Kabupaten Subang, Jawa Barat, membongkar jalan yang sebelumnya ia bangun. Hal ini dilakukan karena ia mengalami kekalahan saat Pemilu 2024. Selain membongkar jalan, caleg yang diketahui bernama Ahmad Rizal itu menyalakan petasan di menara masjid di Tegalkoneng, Desa Tambakjati, Kecamatan Patokbeusi, Subang. Aksi teror petasan ini dilakukannya siang dan malam bersama pendukungnya di sejumlah titik yang perolehan suaranya anjlok. Akibat aksinya tersebut, seorang warga bernama Dayeh (60) meninggal dunia terkena serangan jantung (okezone)
Sungguh miris, berbagai fenomena tersebut menggambarkan lemahnya kondisi mental para caleg atau tim suksesnya, yang hanya siap menang dan tidak siap kalah. Fenomena ini juga menggambarkan betapa jabatan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan mengingat keuntungan yang akan didapatkan, sehingga rela ‘membeli suara’ rakyat dengan modal yang besar, dengan pamrih mendapat suara rakyat. Di sisi lain menggambarkan betapa model pemilu ini adalah pemilu yang berbiaya tinggi.
Hal ini sangat jauh berbeda dalam Islam, karena dalam Islam seseorang memandang jabatan adalah Amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah.
Rasulullah saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Khalifah, sebagai pemimpin yang akan diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak pada Hari Kiamat, apakah sebagai pemimpin telah mengurus rakyatnya dengan baik atau tidak.
Mengurusi kemaslahatan rakyat yang menjadi amanah seorang pemimpin tentu harus sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya (syariah Islam).
Rasulullah saw. juga bersabda:
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ و َهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan mereka, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim)
Imam Fudhail bin Iyadh menuturkan, “Hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang diserahi Allah SWT untuk mengurus urusan kaum Muslim, baik urusan agama maupun dunia, kemudian ia berkhianat. Jika seseorang berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepada dirinya maka dia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga. Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariah Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah dan mengabaikan hudûd (hukum-hukum Allah). Penelantaran itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang telah mengkhianati umat.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim).
Karena itu dalam islam menjadi seorang pemimpin umumnya khawatir bahkan takut dengan amanah kepemimpinan tersebut (kekuasaan).
Misalnya Pada masa lalu, sejumlah sahabat terkemuka, termasuk Khalifah Abu Bakar, pada masa kepemimpinannya sepakat mengusulkan Umar bin Khaththab menggantikan beliau yang sudah sakit-sakitan. Dari segala segi, Umar lah figur yang pantas untuk menjadi khalifah berikutnya. Namun, bukannya gembira, Umar malah keras menentang pencalonan dirinya seraya menyatakan apakah mereka semua akan menjerumuskan dirinya ke dalam neraka? Tentu karena Umar sangat menyadari bahwa jabatan bukanlah tempat empuk untuk meraup ketenaran, kekuasaan, harta apalagi wanita. Dalam pandangan Umar, jabatan dan kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT di Akhirat kelak. Dengan kata lain, jabatan sesungguhnya adalah beban, yang bila tidak ditunaikan dengan sebaik-baiknya, akan membawa pada kehinaan dan penyesalan (hizyun wa nadamah). Jadi bagaimana mungkin ada beban berat yang akan menindih justru membuat orang bergembira? Dari sinilah bisa dimengerti mengapa Umar tidak lantas bergembira dan menerima begitu saja tawaran itu.
Bukan kali itu saja Umar ra. menolak jabatan/kekuasaan yang ditawarkan kepada beliau. Di Saqifah Bani Saidah, ketika kaum Muhajirin dan Anshar berembug tentang siapa yang akan menjadi pemimpin sepeninggal Rasulullah, Umar menjagokan Abu Bakar. Sebaliknya, Abu Bakar justru menjagokan Umar. Alhasil, kedua sahabat mulia ini saling mengunggulkan satu sama lain untuk menjadi khalifah.
Sejarah pada akhirnya mencatat bahwa Umar bin Khaththab ra. memang bersedia menerima jabatan khalifah menggantikan Abu Bakar ash-Shiddiq. Sejarah mencatat pula bahwa Umar benar-benar menjalankan kepemimpinannya dengan sangat baik. Ia mengerahkan segenap kemampuan, waktu, tenaga dan pikirannya untuk melaksanakan amanah itu. Ia tidak menjadikan jabatan khalifah untuk mengeruk keuntungan material. Ia, yang sebelumnya termasuk orang kaya, justru setelah menjadi khalifah berubah menjadi miskin.
Demikianlah Umar bin al-Khaththab ra. yang memimpin umat Islam dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Namun, dalam waktu yang singkat itu, beliau berhasil mencapai kemajuan yang luar biasa. Kemakmuran melingkupi segenap negeri. Keamanan, ketenteraman dan kedamaian dirasakan oleh seluruh rakyat.
Selain itu dalam Islam, pemilu adalah uslub untuk mencari pemimpin/majelis umah, dengan mekanisme sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi dan penuh kejujuran, tanpa tipuan ataupun janji-janji. Para calon pun memiliki kepribadian Islam, dan hanya mengharap keridhaan Allah semata.
Wallahu a’lam bish-showab.
Komentar
Posting Komentar