Fenomena Caleg Gagal, Potret Buram Sistem Demokrasi




Oleh : Dian Safitri

Setiap lima tahun sekali, penduduk negeri ini disibukkan dengan pemilu serentak. Mulai dari calon legislatif hingga presiden.

Tentu yang tidak kalah menarik perhatian dari pemilu ini adalah sikap para calon dan tim sukses masing-masing yang harus berusaha keras untuk memenangkan para kandidat unggulannya. Jika para kandidat caleg itu gagal, mereka akan mendapatkan tekanan yang besar. Ada yang sampai stress, seperti yang terjadi di kabupaten Cirebon, Jawa barat, dua tim sukses mengalami tekanan hebat hingga harus meminta dan mengambil kembali amplop yang sebelumnya sudah dibagikan kepada warga. Kekalahan sejumlah caleg membuat tim sukses ikut stress karena mereka dituntut untuk mengambil kembali uang dari suara rakyat yang dibeli. Para ketua timses mengalami depresi hebat karena calon yang digadang-gadang dapat meraih suara tinggi justru suaranya anjlok.
(tvone.com, 18/02/2024).

Tidak bisa dipungkiri, pasca pemilu,  akan ada berbagai fenomena Caleg yang gagal terpilih dan timses yang kecewa. Mulai dari yang menderita stress, tidak malu lagi mengambil kembali pemberian untuk rakyat hingga ada yang mengakhiri hidup.

Berbagai fenomena tersebut menggambarkan lemahnya kondisi mental para caleg atau tim suksesnya, yang hanya siap menang dan tidak siap untuk kalah dalam kompetisi. Fenomena ini menggambarkan betapa jabatan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan dan dikejar sampai dapat. Bagaimana tidak, keuntungan, fasilitas yang menggiurkan dan nyaman dirasakan membuat mereka rela mengeluarkan uang sebanyak mungkin untuk membeli suara rakyat. Di sisi lain, ini juga sekaligus menggambarkan betapa tingginya biaya pemilu.

Berbagai kerusakan di atas, tidak bisa lepas dari hasil penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang bathil di negeri ini. Sistem bathil ini membuat politik jadi kotor dan keji. Sebab mereka melakukan segala cara untuk mendapatkan jabatan. Legalitas kekuasaan politik dan demokrasi kapitalisme dilihat dari suara terbanyak atau mayoritas. Akhirnya meniscayakan pemilu berbiaya tinggi.

Buruknya sistem bathil ini harus disadari oleh umat. Mereka harus mencari sistem terbaik untuk menyelesaikan akar masalah dalam perpolitikan yang sudah dianggap hina tersebut. Islam adalah sistem terbaik dan menyelesaikan masalah itu semua.

Politik dalam Islam dipandang sebagai sebuah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT. Bukan sebagaimana hari ini untuk kepentingan keluarga dan segolongan orang. Politik dalam Islam memiliki makna mengurusi urusan umat dan hanya orang yang memiliki kapabilitas mumpuni yang dapat melaksanakannya. Bahkan sekelas sahabat Rasulullah Saw, Abu Dzar tidak diperbolehkan oleh beliau karena beratnya urusan itu. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya :

"Wahai Abu Dzar, Engkau adalah pribadi yang lemah, sedangkan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan itu akan menjadi penyesalan dan kehinaan di hari akhirat, kecuali bagi mereka yang dapat menjalankannya dengan baik." (HR. Muslim)

Kekuasaan dalam Islam digunakan untuk menerapkan Islam bukan untuk memperkaya diri dan golongan. Imam Al Ghazali mengatakan dalam kitabnya :

"Agama dan kekuasaan itu ibarat saudara kembar. Agama adalah pondasinya. Sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap."

Islam juga menetapkan cara-cara yang ditempuh untuk meraih kekuasaan yang sesuai dengan hukum syariat. Islam memiliki metode baku untuk mengangkat seorang khalilfah yaitu dengan bai'at. Meskipun demikian, Islam juga menjadikan pemilu, adalah uslub untuk memilih calon khalifah dan tidak boleh selama tiga hari terjadi kekosongan seorang khalifah.

Dengan batas itulah Majelis umat dan Mahkamah madzolim akan bekerja siang dan malam untuk menyeleksi para calon khalifah sesuai dengan syarat yang harus ada pada seorang calon khalifah. Setelah terseleksi, umat boleh melakukan pemilu untuk memilih khalifah.

Mekanisme itu pernah terjadi pada pemilihan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib untuk menjadi khalifah. Hasil pemilu itu, Utsman bin Affan yang terpilih menjadi khalifah. Selanjutnya beliau di bai'at oleh kaum muslim untuk mengemban amanah pemerintahan.

Mekanismenya sungguh sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi dan penuh kejujuran tanpa tipuan atau pun janji-janji. Para calon yang dipilih juga adalah orang yang memiliki kapabilitas yang mumpuni dan juga kepribadian Islam, dan hanya mengharapkan Ridho Allah semata dalam tugasnya.

Wallahu a'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak