PPN Naik Lagi, Beban Rakyat Kian Berat

 

PPN Naik Lagi, Beban Rakyat Kian Berat

Oleh: Sarlin, Amd.Kep

Rencana kenaikan PPN menjadi 12% ini kembali mengemuka di tengah masa transisi pemerintahan. Sejumlah pihak meresponnya dengan pro maupun kontra. Pada 8 Maret 2024, Mentri koordinator (menko) Bidang Perekonomian Air langga Hartarto menyampaikan bahwa kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 akan terus berlanjut. Kenaikan PPN ini juga akan dilakukan pada masa pemerintahan yang akan datang.

Airlangga menyatakan, ketentuan kenaikan tarif PPN ini akan berlanjut pada tahun 2025, karena sudah merupakan keputusan masyarakat yang memilih pemerintahan baru dengan program-program yang masuk dari presiden Joko Widodo (Jokowi). METROTVNEWS, Minggu (17/3/2024). Menurut cara pandang kapitalisme, cara terbaik mengurangi utang yang sudah segunung itu adalah dengan menaikkan tarif pajak atau mencari apa saja yang bisa dikenai tarif pajak. Alhasil, kenaikan tarif pajak adalah kebijakan yang pasti terjadi, siapa pun pemimpinnya.

Kalaulah tidak naik, kenaikannya akan beralih pada sektor lain yang sekiranya bisa menambah pendapatan negara. Ini karena dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan sumber pendapatan negara. Setiap negara yang menganut ideologi kapitalisme pasti memungut pajak dari rakyat. Bahkan, rakyat akan dikejar pajak hingga pemasukan negara bertambah. Hal ini juga berlaku bagi Indonesia yang notabene menerapkan sistem kapitalisme.

 Negara memperoleh pemasukan dari retribusi (pungutan/semacam pajak yang berlaku di tingkat daerah), keuntungan BUMN, pencetakan uang kertas, dan hadiah (hibah). Secara substansi, pajak dalam sistem kapitalisme diterapkan pada perorangan, badan usaha, dan lembaga-lembaga masyarakat, tanah dan bangunan, barang produksi, perdagangan dan jasa sehingga masyarakat dibebankan pajak secara berganda, semisal pajak penghasilan, pertambahan nilai, pajak bumi bangunan. Kebijakan menaikkan pajak akan membebani rakyat, tetapi menutupi defisit anggaran negara. Menurunkan tarif pajak akan mengurang beban rakyat, tetapi negara mengalami defisit keuangan. Oleh karena itu, langkah logis yang diambil oleh negara pengemban kapitalisme adalah dengan berutang. Negara juga melakukan pengurangan dan penghapusan subsidi, pengurangan anggaran untuk rakyat, serta privatisasi BUMN dalam rangka liberalisasi ekonomi.

Negara yang memiliki utang hingga ribuan triliun seperti Indonesia sulit untuk tidak berutang. Negeri ini kaya dengan sumber daya alam, tetapi tersia-siakan lantaran tidak dimanfaatkan dengan benar dan malah dikapitalisasi sesuai kepentingan pemilik modal. Saat negara kehilangan pendapatan, pajak pun diberlakukan meski harus menambah beban rakyat.


Kebijakan Pajak dalam Islam

Dalam sistem Islam, sumber penerimaan negara yang masuk ke baitulmal (kas negara) diperoleh dari (1) fai (anfal, ganimah, khumus), (2) jizyah, (3) kharaj, (4) ‘usyur, (5) harta milik umum yang dilindungi negara, (6) harta haram pejabat dan pegawai negara, (7) khumus rikaz dan tambang, (8) harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan (9) harta orang murtad. Pajak yang diberlakukan dalam baitulmal sangat berbeda dengan sistem pajak hari ini, baik ditinjau dari aspek subjek pajak, objek pajak, maupun tata cara pemungutannya. Kalaupun ada kesamaan penggunaaan istilah pajak, ini karena sama-sama dipungut dari negara semata. Pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dharibah. Ia adalah jalan terakhir yang diambil apabila baitulmal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam kondisi ini, pajak diberlakukan atas kaum muslim saja. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup), dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang makruf.

Pajak dipungut berdasarkan kebutuhan baitulmal dalam memenuhi kewajibannya. Pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Apabila kebutuhan baitulmal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, pungutan pajak harus dihentikan. Dalam Islam, pajak diterapkan atas individu (jizyah dan pajak atas kaum muslim), tanah kharaj, dan cukai atas barang impor dari negara yang mengenakan cukai terhadap pedagang kaum muslim. Alhasil, tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat.

Artinya, pajak dalam Islam hanya diterapkan secara temporal, bukan menjadi agenda rutin sebagaimana yang kita rasakan hari ini. Dalam sistem ekonomi Islam, masih ada dua sumber penerimaan negara, yaitu bagian kepemilikan umum dan sedekah. Syekh An-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu adalah sebagai berikut.

Pertama, fasilitas/sarana umum yang jika tidak ada pada suatu negeri/komunitas akan menyebabkan banyak orang bersengketa untuk mencarinya, seperti air, padang rumput, dan jalan-jalan umum. Kedua, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas (sangat besar), seperti tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia lainnya, timah, besi, uranium, batu bara, dan lain-lainnya.

Ketiga, sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu, seperti laut, sungai, dan danau. Sumber penerimaan dari kepemilikan umum inilah yang berpotensi besar memberikan pendapatan terbesar bagi negara. Negara mengelola kepemilikan ini secara mandiri. Menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara hanya akan memperburuk kondisi ekonomi negara. Berpotensi pula terhadap peningkatan angka kemiskinan.

Oleh karena itu, sudah saatnya negeri ini berbenah secara sistemis. Dengan penerapan sistem Islam secara kafah, kebijakan negara akan mengacu pada hukum-hukum syariat sehingga negara tidak akan bingung mencari sumber pendapatan negara. Negara juga tidak akan mudah menjerat rakyat dengan pajak. Wallahualam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak