PUNCAK PERHELATAN 2024, ISLAM PEMILIK OPININYA


Oleh: Ibnu Rusdi (Pemerhati Sosial dan Politik)


Sepertinya Pilpres 2024 tidak berjalan mulus. Diawali dengan banyak pelanggaran verbal, Pemilu akhirnya tetap digelar. Wacana Presiden Tiga Periode adalah opini yang cacat konstitusional. Begitupun opini yang menyusul berikutnya, yakni perpanjangan jabatan presiden. Kemudian ada yang lainnya, semisal putusan MK ketika membuka jalan bagi Gibran bisa diterima dalam bursa calon wakil presiden. Padahal usianya belum genap 40 tahun.

Bukan perkara aneh hadirnya opini dan keputusan nirlogika dalam habitat Demokrasi. Politik yang dipersepsi sebagai seni meraih dan atau mempertahankan kekuasaan, telah menunjukkan jatidiri Demokrasi sejak di tataran teorinya. Cacat bawaan yang dikandung sejak fase kelahirannya.

Di antara keanehan yang lain, bisa disebut hak pilih bagi orang tua renta. Memahami dirinya sendiri saja sudah susah, apalagi buat mengenal calon pemimpin. Lalu, bagaimana pula dengan hak pilih yang disediakan bagi warga yang mengidap gangguan jiwa?

Orang awam yang buta politik di kampung-kampung, pedalaman, wilayah pesisir dan pegunungan, jumlahnya boleh jadi berjuta-juta. Dan mereka 'dipaksa' memberikan pilihan dalam jargon manis semisal "Pilihlah Profil yang Paling Merakyat!" Yang demikian itu, apa bisa lolos dari vonis mustahil?

Demokrasi memang menyimpan sejuta masalah. Maka, produk Pemilupun akan menurunkan sejuta masalah. Pemilu di negara maju, negara terbelakang, atau negara berkembang. Pemilu masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Tidak akan jauh berbeda daruratnya.

Di Indonesia, teropong khusus Pemilu 2024 dipandang paling buruk sepanjang sejarah Pemilihan Umum terselenggara. Bahasan khusus Pilpres, membiakkan polemik sekelam diskripsi oleh kacamata Islam berikut.

Satu, hak suara yang diajarkan Islam diperuntukkan para pemuka umat dan tokoh-tokoh perkumpulan, komunitas, dan para figur representasi keterwakilan rakyat. Baik skala wilayah maupun para pemuka dari kelompok masyarakat. 

Orang awam, lanjut usia, remaja "halu dan gaul", termasuk warga penderita depresi ringan hingga berat, tidak layak diberikan ruang aspirasi politik. Mereka adalah golongan warga yang patut mendapatkan perhatian 'plus' dari hasil mekanisme politik.

Dua, para calon yang ditetapkan sebagai peserta kontestasi memiliki rekam jejak paling brilian tsaqafahnya, para terbaik kuision emosinya, serta terbebas dari pengetahuan publik cedera moral dan perilaku kriminal yang belum diselesaikan dengan proses hukum.

Sementara ruang dunia maya mempublish berbagai cacat moral dan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan dari banyak figur. Narasi yang dirasionalkan dengan cukup fakta-fakta peristiwa. Sebagian dari mereka lolos dari bursa penetapan kontestasi calon pemimpin beserta wakilnya.

Tiga, Proses pemilihan penguasa dalam Islam, hingga penetapannya dibutuhkan waktu paling lama 3 x 24 jam. Bisa tertunda beberapa jam sebagai angka toleransi manakala terjadi gangguan seperti bencana alam, tersendatnya saluran informasi, kesalahan penghitungan di suatu wilayah yang berpengaruh pada hasil penghitungan terakhir, dan lain-lain.

Apa susahnya dengan kemajuan teknologi informasi, menentukan hasil pengumpulan suara di panitia kecamatan 1 jam setelah laporan dari TPS terakhir seluruh desa? Apa susahnya 1 jam berikutnya diumumkan tingkat kabupaten? Satu jam berikutnya tingkat propinsi, lalu 1 jam terakhir di penyelenggara tingkat nasional? Tidak susah seandainya mekanisme berbelit oleh Demokrasi tidak dirancang untuk  terbukanya peluang rekayasa dan transaksi politik.

Alhasil, Pemilu 2024 adalah pelajaran kesekian dari berbarisnya proses Pesta Demokrasi yang tidak pernah satu kalipun bebas dari masalah. Tidak patut warga Muslim jatuh dalam masalah yang sama hingga dua kali, apalagi berulang kali, lebih-lebih setiap kali.

Islam telah menyediakan bagi mereka konsepsi pemilihan pemimpin dengan keunggulan tanpa konsepsi pesaingnya. Memenuhi fitrah dan naluri insaniah. Berbiaya sangat murah, proses cepat, dan menghasilkan profil pemimpin dengan kapabilitas teladan umat.

Ujung perhelatan Suksesi 2024 dan bertumpuk-tumpuk silang sengkarut di dalamnya, memungkinkan efek politik yang khas. Bukan sekedar Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Melainkan opini Syariat Islam untuk menggantikan rapuhnya Demokrasi, akan semakin jelas perwujudannya.@
•••••••••••

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak