Turunnya Angka Pernikahan, Perlu Penyelesaian Sistemik

 Oleh : Haura

Pegiat literasi


Angka Pernikahan Turun

Tren angka pernikahan menurun telah terjadi di beberapa negara termasuk Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka perkawinan di Indonesia terus mengalami penurunan. Berdasarkan laporan Statistik Indonesia 2024, penurunan paling drastis terjadi selama tiga tahun terakhir. Dari tahun 2021 hingga 2023, angka pernikahan di Indonesia terus menyusut. Jika dirinci berdasarkan data BPS, angka pernikahan pada 2021sebesar 1.742.049 kemudian pada tahun 2022 turun menjadi 1.705.348 dan pada 2023 kembali turun 1.577.255 sedangkan pada 2024 dilaporkan angka perkawinan di Indonesia tercatat terus menurun. Penurunan angka pernikahan ini hampir terjadi di setiap wilayah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dan daerah lainnya.

Penyebab Angka Pernikahan Turun

Menurunnya angka pernikahan ini merupakan fakta yang terjadi di kalangan anak muda di tengah bonus demografi tinggi. Kekhawatiran para kaum muda untuk menikah dipengaruhi berbagai faktor penyebab. Beberapa kalangan menyebut turunnya angka pernikahan diantaranya disebabkan oleh pergaulan bebas, alasan ekonomi, karir, trauma dan biaya pesta pernikahan atau mahar yang mahal. 

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr.Hasto Wardoyo   menyoroti rata-rata umur melakukan hubungan seks pertama kali pada remaja di usia15-19 tahun yang semakin meningkat. Persentase perempuan berusia 15-19 tahun yang telah melakukan hubungan seksual tercatat 59 persen, sedangkan laki-laki 74 persen. Menikah nya rata-rata 22 tahun, tetapi hubungan seksnya 15-19 tahun. (antaranews.com). 

Menikah ada tuntutan untuk memenuhi nafkah keluarga, maka setelah menikah beban ekonomi menjadi tinggi. Apalagi di tengah himpitan kehidupan ekonomi  saat ini sementara gaya hidup materialis semakin tinggi, menganggap kebahagiaan rumah tangga diukur dengan standar materi, memiliki semua fasilitas yang diinginkan dan keberlimpahan harta sehingga memaksa kalangan muda sibuk mencari pekerjaan/karir yang akhirnya nyaman dengan kondisi yang ada dan menganggap ikatan perkawinan tidak penting.

Fenomena keluarga broken home, sarat dengan KDRT dan perkawinan yang berujung perceraian telah banyak menghiasi layar kaca kehidupan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka perceraian setiap tahunnya. Berita-berita KDRT, keretakan rumah tangga dan perceraian yang hampir setiap hari disuguhkan media sosial telah memantik kalangan anak muda ketakutan untuk menikah, ada kekhawatiran mendalam di benak anak muda ketika kelak menikah mengalami hal yang serupa.

Di samping itu, adanya anggapan mewah atau tidaknya pesta pernikahan sebagai ukuran prestise keluarga. Ini pun memberi kesan menikah itu mahal. Bagi kalangan tertentu menggelar pesta pernikahan harus dibuat mewah dan meriah merogoh uang ratusan juta rupiah malah tidak jarang paska pesta pernikahan digelar menuai banyak masalah hingga hutang piutang. Adat kebiasaan seperti ini menjadi beban bagi kalangan muda sehingga lebih baik menunda menikah jika biaya belum ada. 

Kapitalisme, Akar Masalah Turunnya Angka Pernikahan

Berbagai permasalahan dalam realitas pernikahan menjadi bayang-bayang kekhawatiran anak muda untuk menikah padahal menikah adalah fitrah. Sejatinya, ini sebagai akibat dari penerapan sistem liberal-kapitalistik. Arus budaya liberal telah merasuki kalangan anak muda, hidup hedonis, bebas berekspresi, bebas berbuat tanpa batas-batas agama dianggap lumrah maka wajar di usia belasan tahun muda mudi berani melakukan hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan, yang kemudian mendatangkan persoalan baru yang lebih berbahaya seperti hamil di luar nikah, aborsi, putus sekolah dan persoalan-persoalan lainnya yang menjadi beban berat keluarga dan negara.  

Hubungan seksual yang dilakukan sebelum menikah telah merusak tatanan dan kehormatan mahligai perkawinan yang agung, hal ini juga diperparah dengan perkembangan homoseksual dan LGBT yang semakin masif, terbuka dengan promosi dan narasi besar-besaran, seolah ada anggapan pernikahan tidak penting lagi karena hubungan seksual dapat dilakukan tanpa pernikahan sekalipun .

Di sisi lain Penerapan sistem kapitalis telah mengedukasi masyarakat termasuk kalangan muda menjadi materialis. Materi menjadi standar dalam setiap aktifitas termasuk pernikahan. Sedari prosesi lamaran, pesta pernikahan hingga hidup berumah tangga menyandarkan materi sebagai ukuran kebanggaan dan kebahagiaan. Maka ada istilah “menikah itu mahal”.

Paradigma materialis ini pun didukung dengan realitas kehidupan yang dirasakan masyarakat semakin berat, beban hidup tinggi, mahalnya barang pokok, pendidikan, kesehatan dan mahalnya biaya tempat tinggal karena negara mengabaikan pengurusan terhadap rakyatnya, berbagai kebijakan liberal kapitalistik seakan perlahan mencabut fitrah manusia, salah satunya ditandai dengan menurunnya angka pernikahan karena manusia terjebak dengan kesibukan mencari materi. 

Turunnya angka pernikahan selama tiga tahun berturut-turut perlu diwaspadai dan perlu adanya penyelesaian secara sistemis. Sebab, Jika dibiarkan tanpa ada penyelesaian menyebabkan persoalan yang lebih madarat.  

Pernikahan dalam Pandangan Islam

Allah menciptakan manusia sepaket dengan garizah an-nau’, yang menuntut adanya pemenuhan aspek seksualitas sebagaimana pula menuntut adanya pemenuhan aspek keibuan, kebapakan atau ke-anakan. Untuk memenuhi itu semua Allah pun menetapkan seperangkat peraturan pernikahan. Pernikahan merupakan peraturan hubungan interaksi antara dua jenis kelamin yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan. Pernikahan dalam Islam memiliki peraturan yang khusus. Sebab sebagai akibat hukum dari pernikahan melahirkan berbagai hukum lainnya. Maka Islam mewajibkan keturunan dihasilkan hanya dari hubungan pernikahan saja. Melalui hubungan pernikahan tersebut Perkembangbiakan umat manusia terealisasi. 

Perintah menikah datang dari hadits Rasulullah SAW, "Wahai para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu menikah maka hendaklah segera menikah, karena hal itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa belum mampu maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu menjadi tameng baginya (meredam sahwat nya) 

Islam mendorong kaum muda untuk menikah. Inti dari pernikahan adalah akad, terpenuhi rukun dan syarat pernikahan telah cukup menjadi prosesi yang agung tanpa harus dirayakan dengan pesta mewah yang menghabiskan rupiah. Islam mengajarkan cukup dengan mengundang tetangga dan kerabat terdekat meskipun sekedar dengan menyembelih seekor kambing. 

Kehidupan suami istri adalah hubungan persahabatan yang dapat memberikan kedamaian dan ketentraman. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Islam menetapkan Laki-laki sebagai pemimpin keluarga mempunyai tugas mencari nafkah dan mendidik istri. Wanita melaksanakan berbagai aktifitas sesuai predikatnya sebagai wanita seiring dengan karakter kemanusiaan nya bertugas menjadi ibu dan pengatur rumah tangga. Ini semata demi kemaslahatan manusia bukan karena superioritas.

Firman Allah SWT dalam surah An-Nur 32 

وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya: Dan kawinkan lah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahaya mu yang lelaki dan hamba-hamba sahaya mu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Jangan takut menikah karena miskin, sebab Allah pasti memampukan dengan karunia-Nya. Mencari karunia Allah tentu harus didukung dengan sistem yang kondusif. Sistem yang kondusif memberikan kemudahan dan kemurahan bagi umat manusia meraih karunia Allah tanpa harus mengabaikan peraturannya serta didukung oleh pemahaman manusia yang benar terhadap konsep pernikahan. Sehingga memahami menikah adalah ibadah dan yang dilakukan dalam berumah tangga merupakan wujud ketaatan kepada Allah SWT. Semua itu hanya ada dalam sistem yang dibangun oleh Islam.  Wallaahu a'lam bish-shawwab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak