Pajak THR Bikin Tekor ?
Pajak THR Bikin Tekor ?
Oleh : Risnawati (Pegiat Literasi)
Menjelang lebaran, seperti biasa tunjangan hari raya senantiasa diberikan, namun tahun ini potongan pajak THR dinilai lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Seperti dilansir dalam laman tirto.id - Potongan pajak tunjangan hari raya (THR) karyawan pada 2024 disebut-sebut lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini lantaran adanya dampak penerapan penghitungan pajak dengan metode tarif efektif rata-rata (TER). Metode TER sendiri mulai digunakan sejak 1 Januari 2024. Hal tersebut cukup ramai dibicarakan di media sosial X sejak Selasa (26/3/2024)
Telaah Akar Masalah
Skema pajak yang baru makin memberatkan rakyat karena bonus,THR dan tambahan penghasilan lain terkena pajak. Karena penerapan pajak merupakan praktik perekonomian sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai pemasukan utama negara. Bahkan apa saja bisa ditetapkan pajaknya. Hal ini tampak pada besarnya porsi penerimaan pajak dibandingkan dengan penerimaan dari sumber lainnya. Ironisnya lagi, hasil uang pajak berupa pembangunan dan layanan publik juga ternyata tidak leluasa dinikmati rakyat. Terbukti, layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan nyatanya makin mahal. Untuk menikmati hasil pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, kereta cepat, dan sebagainya pun rakyat harus merogoh kantong dalam-dalam.
Dalam sistem kapitalisme, negara tidak mempunyai peranan penting atau terbatas dalam pengelolaan dan pengawasan perekonomian. Sistem kapitalisme saat ini juga sangat menganut sistem ekonomi pasar, dimana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh swasta atau pemilik modal dengan tujuan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dalam ekonomi pasar.
Pajak dalam sistem kapitalisme, inilah salah satu fakta dari kebobrokan paradigma sistem ekonomi neoliberal yang menjadikan pajak sebagai penopang pendapatan negara. Negara menyasar seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali, dan mewajibkan pajak atas segala transaksi. Seperti pajak bangunan, tanah, motor, mobil dan lain sebagainya tanpa pandang bulu, baik kaya maupun miskin akan menanggung pajak tersebut. Hal ini jelas akan merugikan bahkan mendzalimi semua masyarakat. Karena masyarakat akan dibayang-banyangi dengan kewajiban pajak tersebut, dan apabila tidak membayar pajak, maka mereka akan mendapatkan sanksi yang telah ditetapkan. Padahal memunggut pajak tanpa alasan yang syar’i sama halnya dengan tindakan memungut cukai (al-maksu), yang telah jelas dilarang oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai”. (HR. Ahmad, ad-Darami dan Abu Ubaid).
Pandangan Islam
Berbeda dengan tata kelola keuangan dalam sistem Islam. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama kas negara (baitulmal). Pajak dalam Islam disebut dharibah, praktiknya sangat jauh berbeda dengan pajak dalam sistem demokrasi kapitalisme. Dharibah tidak menjadi tumpuan kas negara, tidak pula dibebankan kepada seluruh rakyat, melainkan hanya kaum muslim yang kaya yang dipungut dharibah. Skema ini bersifat sementara, dilakukan jika kas negara kosong dan saat butuh dana yang mendesak saja, serta berakhir setelah keperluan tersebut selesai atau kas negara sudah terisi kembali. Meski demikian, sangatlah jarang mendapati kondisi baitulmal yang kosong. Ini karena baitulmal memiliki sumber pemasukan melimpah, yaitu dari fai dan kharaj, juga kepemilikan umum dan sedekah. Kepemilikan umum, misalnya, haram untuk dikuasai swasta. Dari sini, pemasukan akan mengalir deras untuk baitulmal.
Maka dalam Islam, pajak tidak boleh diwajibkan untuk seluruh warga negara sebagaimana sistem kapitalisme saat ini yang seluruh aspek kehidupan tidak lepas dari pajak. Sehingga kalau pun diberlakukan dharibah atau pajak, maka digunakan untuk membiayai sektor-sektor yang penting. Misalnya untuk pembiayaan ketika negara dalam kondisi perang yakni untuk pembiayaan jihad, pembiayaan industri perang, pembiayaan fakir miskin dan ibnu sabil ketika pos zakat tidak bisa memenuhi, dan biaya penganggulangan bencana alam.
Selain itu, Imam Taqiyuddin an Nabhani juga menyatakan bahwa pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat, misalnya menyantuni fakir miskin. Jika kewajiban finansial ini hanya menjadi kewajiban negara saja, misalnya membangun jalan atau rumah sakit tambahan yang tak mendesak, pajak tak boleh ditarik.
Karena itu, setelah kita mengetahui begitu besarnya perbedaan pengelolaan pajak dalam Islam dan kapitalisme, maka nampak perbedaan yang cukup besar di antara keduanya. Dengan kejelasan konsep sistem ekonomi Islam juga, negara tidak akan salah arah dalam mengambil kebijakan ekonomi. Penopang ekonomi bukan lagi pada pajak yang sangat mendzholimi rakyat, karena rakyat telah memiliki harta yang telah diatur di dalam Alqur'an maupun Hadist. Walhasil, dengan sistem Islam sajalah umat akan mendapatkan kesejahteraan yang hakiki, rakyat pun tidak akan terbebani lagi oleh pajak, Insyaa Allah. Wallahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar