Anak Pelaku Kriminal, Peran Negara Mandul?
Oleh: Tri Lusiana, S.Pd (Aktivis Muslimah)
Setiap hari berita kriminal muncul seakan tak pernah habis. Namun fenomena yang muncul saat ini adalah kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak semakin marak. Kasusnya bermacam-macam dari penganiayaan, pelecehan seksual hingga pembunuhan. Bagaimana seorang anak sudah menjadi pelaku kejahatan keji?
Semakin meningkatnya kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak dengan beragam kasus yang menyertainya menjadi keprihatinan dan pekerjaan rumah bersama untuk mengatasinya. Kasus anak yang berkonflik dengan hukum, menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana.
Anak-anak yang menjalani masa tahanan ditempatkan pada beragam fasilitas pemasyarakatan. Saat ini tahanan anak ditampung di lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) sebanyak 1190. Ada juga yang bertempat di lembaga pemasyarakatan (lapas) 234 orang, rumah tahanan negara (rutan) 53 orang, dan lembaga pemasyarakatan perempuan (LPP) sejumlah 7 orang.
Apabila dibandingkan dengan data tiga tahun yang lalu, jumlah anak yang terjerat hukum belum pernah menembus angka 2.000. Menilik keadaan pada 2020 dan 2021, angka anak tersandung kasus hukum 1.700-an orang. Kemudian meningkat di tahun berikutnya menjadi 1800-an anak. Tren yang cenderung meningkat menjadi alarm bahwa anak-anak Indonesia sedang tidak baik-baik saja dan cenderung menuju pada kondisi yang problematis.
Merujuk dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 bahwa kelompok usia yang digolongkan sebagai anak dalam ranah perkara hukum yaitu berusia 12-17 tahun. Kemudian kategori anak yang bersinggungan dengan proses hukum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu anak berhadapan dengan hukum dan anak berkonflik dengan hukum.
Mengacu pada perundang-undangan yang sama, pada Pasal 1 Ayat 2 disebutkan bahwa ”Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”.
Sementara itu, pada Ayat 3 dari pasal yang sama menjelaskan bahwa anak berkonflik dengan hukum adalah anak yang diduga melakukan tindak pidana (kompas).
Sungguh miris, jika pelaku kriminal anak sudah mencapai ribuan, ini bukan lagi masalah kasuistik melainkan sudah menjadi masalah sistemis yang perlu ada penyelesaiannya.
Penyebab maraknya tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak-anak hari ini adalah diterapkannya sistem sekularisme. Inilah harga yang harus dibayar ketika menerapkan sistem yang jauh dari aturan Islam yang bersumber dari Sang Pencipta.
Sistem sekularisme yang diterapkan hari ini mengakibatkan kehidupan keluarga yang tidak stabil, kurangnya perhatian orang tua dan pola asuh yang salah sehingga berdampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak. Dalam sistem hari ini pola pikir orang tua serba sekuler sehingga menciptakan generasi sekuler yang tidak paham agama. Jika kita menginginkan anak yang salih salihah, harus dimulai dari orang tua yang salih salihah pula.
Selain itu, sistem pendidikan hari ini juga tidak mampu menghalau rusaknya generasi meskipun banyak sekolah yang berbasis agama. Hal ini disebabkan kurikulum pendidikan yang ada selama ini berasas pada akidah sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan.
Sehingga mau sebaik apapun orang tua mengasuh dan mendidik anak dengan suasana iman dalam lingkungan keluarga, akan tetap berbahaya jika sang anak berada dalam lingkungan sekolah yang sekuler.
Di sisi lain, peran negara yang hari ini menerapkan sistem sekularisme tampak mandul, negara gagal membendung berbagai hal yang dapat merusak generasi, seperti konten porno, kekerasan, perundangan, penyimpangan seksual, seks bebas dan sebagainya. Dan ditambah dengan sistem sanksi bagi pelaku kriminal yang tidak menjerakan apalagi jika pelaku anak-anak (usia kurang dari 18 tahun) ada peradilan anak.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini bukan lagi hanya diselesaikan dengan perbaikan pola didik keluarga semata, melainkan perlu adanya penyelesaian secara sistemik. Jika masalahnya sudah ranah sistem negara, maka solusinya hanya satu yaitu dengan mengganti sistem sekularisme hari ini dengan sistem shahih yang bersumber langsung dari Allah SWT, yaitu Sistem pemerintahan Islam.
Islam mampu menyelesaikan berbagai problematika, misalnya terkait tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak.
Solusi Islam
Pertama, keluarga dalam Islam memiliki peran kunci dalam pembentukan kepribadian anak. Kesalehan dapat terwujud tatkala pola pendidikan keluarga merujuk pada Islam. Nilai-nilai keislaman harus menjadi pedoman dalam pendidikan keluarga. Nilai-nilai sekular-liberal harus dicampakkan. Orang tua patut mewaspadai tontonan, bacaan dan penggunaan gawai pada anak-anak. Ini sebagai salah satu bentuk pelaksanaan firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا...
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari siksa api neraka… (QS. At-Tahrim: 6).
Kedua, sekolah dalam membentuk kepribadian, salah satunya melalui pendidikan. Sistem pendidikan harus dikembalikan pada asas akidah Islam yang akan menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar-mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru serta budaya sekolah tempat anak-anak belajar di dalamnya. Sehingga pendidikan Islam akan menghasilkan peserta didik yang berkepribadian Islam bukan kriminal.
Ketiga, negara dalam sistem Islam peran negara sangat penting. Mulai dari penyusunan kurikulum, sistem pendidikan, hingga pengawasan digital semua menjadi tugas negara. Karena peran paling penting dan strategis dalam membentuk kepribadian generasi adalah melalui negara. Negara wajib mengontrol dan menindak tegas hal-hal yang bisa merusak generasi terutama media yang memberi pengaruh buruk dalam pendidikan dan pembinaan anak.
Selain itu terhadap pelaku tindakan kriminal, Islam menetapkan adanya sanksi tegas dan tidak membedakan usia selama sudah baligh atau dilakukan dalam keadaan sadar.
Peran negara yang seperti ini tentu tidak akan terwujud dalam tatanan sistem yang sekularisme. Hanya negara yang menerapkan Islam secara kaffah-lah yang mampu melaksanakan peran strategis ini.
Oleh karena itu, untuk mengatasi berbagai problematika saat ini maka harus dengan tatanan terbaik dari sang Maha Pencipta, Allah SWT. Yaitu hanya dengan tatanan Islam dalam sistem pemerintahan Islamiyah
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Komentar
Posting Komentar