Gaji Dosen Rendah, Kemuliaan Pendidik Diabaikan

 



Oleh: Wiwik Afrah, S.Pd (Aktivis Muslimah)

Sejumlah dosen mengungkapkan gaji mereka yang masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR) di media sosial, disertai dengan tagar #JanganJadiDosen. Pengamat pendidikan menyebut gaji dosen rendah dapat berdampak buruk pada kualitas pendidikan di perguruan tinggi. (BBC News Indonesia, 24/02/2024)

Pemerintah sendiri sudah membuat beberapa aturan mengenai gaji dosen, yakni diberikan sesuai pangkat dan lama mengajarnya. Menurut Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, gaji dosen PNS dimulai dari golongan pangkat III sampai IV. Nominal gajinya minimal Rp2,7 juta—Rp6,3 juta. 

Sayangnya, angka ini hanya berlaku bagi dosen perguruan tinggi negeri (PTN). Bagi dosen PT swasta (PTS), jumlahnya berbeda, tergantung besar kecilnya PTS dan sumber daya di PT yang bersangkutan. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), setidaknya ada 4.004 PT yang tercatat pada 2022, yakni 184 PTN dan 3.820 PTS.

Jumlah dosen di Indonesia sendiri pada tahun tersebut mencapai 316.912, terdiri dari 108.630 dosen PTN dan 208.282 dosen PTS. Dari jumlah tersebut, kelompok dosen yang mendapat gaji sesuai aturan, jelas lebih sedikit.  Hanya saja, bagi dosen PTN pun, meski gajinya mungkin lebih tinggi dari dosen PTS, tetapi mereka tetap berhadapan dengan situasi ekonomi yang sama, yakni kondisi ekonomi yang makin melilit, belum lagi biaya pendidikan anak-anaknya, serta kebutuhan yang makin bertambah. Ini tentu menambah pikiran para dosen juga.

Gaji dosen yang lebih kecil dibandingkan pegawai BUMN lainnya ini tentu sangat memprihatinkan. Mereka harus berjibaku memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan gaji seadanya. Bahkan, banyak pula yang justru mengalami kesulitan karena gajinya besar pasak daripada tiang.

Jadinya mereka mencari penghidupan di tempat lain, misal menambah pemasukan dari proyek-proyek yang nilainya bisa jadi lebih besar daripada gaji seorang dosen. Pekerjaan sampingan itu yang akhirnya justru lebih diperhatikan apabila dibandingkan dengan Tridharma PT. Kondisi semacam ini sejatinya memperlihatkan bahwa negara gagal menjamin kesejahteraan dosen. Apalagi untuk mendapatkan kenaikan gaji atau mendapatkan tunjangan, para dosen harus bekerja ekstra. Mereka harus memenuhi setiap tugas agar bisa naik jabatan dan mendapat sertifikasi, juga wajib menghasilkan jurnal internasional berindeks Scopus agar keberadaannya diakui. 

Sementara itu, biaya untuk melakukan penelitian dan memasukkan jurnal terbilang cukup mahal. Tidak semua dosen pun bisa mendapatkan kesempatan memperoleh hibah. Di sisi lain, biaya pendidikan S2 dan S3 juga cukup tinggi, sedangkan tidak semua dosen bisa mendapatkan beasiswa. Pengorbanan dosen yang sebesar ini akhirnya hanya mampu dihargai dengan ucapan “pengabdi masyarakat”.

Walhasil, gagalnya negara dalam menyejahterakan dosen sebagai pemilik ilmu yang mendidik calon pemimpin bangsa adalah akibat penerapan kapitalisme dengan sekularisme sebagai asasnya. Alhasil, dosen dipandang sebagai sekadar profesi. 

Kapitalisme juga menjadikan materialisme sebagai acuan sehingga segala sesuatu dilihat secara materi. Pemilik ilmu tidak lagi dipandang sebagai orang yang perlu dihormati. Hanya mereka yang punya kedudukan dan uang yang berhak dijunjung tinggi.

Islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna sangat menghormati ilmu. Apalagi kepada pemilik ilmu, kedudukan mereka sangat tinggi dalam Islam. Bahkan, Islam mengatur adab seorang murid kepada gurunya. 

Terkait dosen, Islam tidak memandang profesi ini sebatas pekerjaan, melainkan mereka berperan sebagai pencetak generasi pemimpin sehingga sangat dimuliakan dan wajib dihormati. Untuk memberikan penghargaan yang besar sekaligus agar para dosen bisa fokus mendidik calon pemimpin bangsa, Islam mewajibkan negara memberikan penghargaan yang layak. Sebagai gambaran, pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab, misalnya, guru digaji hingga 15 dinar/bulan (1 dinar = 4,25 gram emas) per bulan. Mengacu harga emas saat ini (Mei 2024, ed.), yakni 1 gram emas adalah Rp1,308 juta, maka gaji guru Rp83,385 juta per bulan.

Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, penghargaan bagi orang berilmu pun sangat besar. Gaji pengajar kala itu mencapai 1.000 dinar/tahun. Khalifah juga memberikan gaji dua kali lipat bagi pengajar Al-Qur’an. Bahkan, ketika pengajar atau ilmuwan menghasilkan buku, mereka akan mendapatkan penghargaan sesuai berat buku tersebut (dalam dinar). Ini adalah bukti bahwa Islam sangat menghargai ilmu dan orang yang berilmu.

Dengan nominal tersebut, para pengajar (termasuk setingkat dosen) tidak perlu lagi mencari pekerjaan sampingan, apalagi Khilafah telah mencukupi semua kebutuhan pokok rakyatnya. Alhasil, para dosen bisa fokus mendidik sekaligus mengembangkan ilmunya. Bagaimana negara bisa menggaji dengan nominal sebesar itu? Mengenai hal ini, Islam punya konsep sendiri dalam mengelola keuangan, yakni melalui baitulmal. Pemasukan baitulmal berasal dari jizyah, fai, kharaj, ganimah, dan pengelolaan seluruh SDA.

Semua pemasukan tersebut akan dikelola oleh negara untuk mengurusi kebutuhan pokok rakyatnya, termasuk gaji para pendidiknya. Dukungan penuh negara ini akan menjadikan dosen hidup sejahtera. Negara juga aman karena para calon pemimpin bangsa akan dididik dengan sungguh-sungguh. 

Hasilnya, mereka menjadi pembelajar yang berkepribadian Islam, yaitu punya pola pikir dan sikap Islam. Ketika sudah lulus, mereka akan mempraktikkan ilmunya. Bukan sekadar cari uang, melainkan agar ilmunya bermanfaat di tengah masyarakat.

Jadi, hanya sistem Islam yang akan membuat dosen tenang. Mereka tidak akan dilema lagi karena Islam telah memberikan penghargaan setimpal dengan perannya.

Wallahu ‘alam bisshowab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak