Kriminalitas Makin Kronis, Butuh Solusi Komprehensif
Oleh: Wiwik Afrah, S.Pd (Aktivis Muslimah)
Bocah laki-laki berinisial MA (6 tahun) asal Sukabumi menjadi korban pembunuhan, tidak hanya dibunuh anak yang baru mau duduk disekolah dasar ini juga menjadi korban kekerasan seksual sodomi. Di Provinsi Jambi, seorang santri (13) sebuah pondok pesantren menjadi korban pembunuhan. Pelakunya ialah senior korban sendiri. (Sukabumiku, 02/05/2024)
Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, jumlah anak yang berkonflik dengan hukum menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020—2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sedangkan 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana. Jika kita bandingkan dengan data tiga tahun lalu, jumlah anak yang terjerat hukum belum pernah menembus angka 2.000. Mencermati data pada 2020 dan 2021, angka anak tersandung kasus hukum 1.700-an orang.
Lalu meningkat di tahun berikutnya menjadi 1800-an anak. Data di atas menambah panjang pekerjaan rumah seluruh pihak, terutama keluarga. Pendidikan keluarga akhirnya “kena mental” akibat sistem sekularisme yang makin mendegradasi moral dan kepribadian generasi.
Anak tidak terdidik dengan benar lantaran kurangnya perhatian orang tua terhadap pendidikan mereka. Faktor apa saja yang memengaruhi kurangnya perhatian dan peran orang tua dalam mendidik anak mereka?
Pertama, orang tua terlalu sibuk bekerja. Ada anggapan bahwa peran ayah adalah mencari nafkah, sedangkan peran ibu adalah mengasuh anak. Anggapan ini bisa benar dan juga salah, tergantung paradigma yang dibangun. Jika dibangun dengan paradigma kapitalisme, orang tua hanya memenuhi kebutuhan materi anak.
Alhasil, ayah bertugas mencari nafkah sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan materi anak. Sementara ibu mendidik dengan menjejali anak dengan segala yang berbau materi tanpa diimbangi pendidikan agama sejak dini. Kedua, keluarga broken home. Memang, tidak semua anak-anak yang berada dalam kondisi kedua orang tua bercerai memiliki perangai buruk.
Akan tetapi, jika kita telusuri, kebanyakan anak-anak yang bermasalah dengan hukum berasal dari keluarga yang tidak utuh. Mereka cenderung berulah dan bertingkah untuk menarik perhatian kedua orang tuanya yang telah berpisah. Biasanya, anak-anak dalam kondisi ini sangat haus kasih sayang dan perhatian orang tua.
Ketiga, keterbatasan ekonomi menjadi salah satu faktor orang tua kurang memperhatikan pola asuh dan pendidikan anak. Keterbatasan ekonomi juga kerap menjadi alasan kesibukan orang tua mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Imbasnya, anak telantar dan tidak terdidik dengan benar. Keempat, kurangnya kesadaran orang tua dalam pendidikan. Minimnya literasi dan pengetahuan seputar pola asuh dalam mendidik anak menjadi salah satu faktor mengapa pendidikan keluarga mandul. Mengapa orang tua kurang memiliki kesadaran? Bisa jadi karena kurangnya pendidikan orang tua dalam memahami Islam dengan benar. Orang tua pun minim ilmu dalam mendidik anak.
Penddikan keluarga memang memiliki peran vital dalam melahirkan generasi berkualitas. Bagaimanapun, penerapan sistem kapitalisme memberi dampak dan pengaruh bagi berjalannya pendidikan hari ini. Sistem ini secara tidak langsung membentuk keluarga berfokus pada pemenuhan materi semata.
Kebutuhan anak terpenuhi, tetapi pemahaman ilmu agamanya minim. Pada akhirnya, anak mudah terpengaruh hal-hal negatif di sekitarnya karena hilangnya perisai agama (Islam) dalam kehidupan mereka. Lalu bagaimana Islam menyolusi secara fundamental untuk mencegah anak berperilaku kriminal? Mendidik generasi ibarat kita sedang mempersiapkan lahirnya peradaban mulia.
Generasi emas tidak lahir dari pendidikan yang sarat capaian-capaian duniawi semata, apalagi yang terlibat perbuatan kriminal. Generasi emas hanya lahir dalam sistem pendidikan yang bervisi membentuk kepribadian mulia. Sistem yang mampu menciptakan generasi semacam ini hanyalah sistem pendidikan berbasis islam. Bukti nyatanya adalah peradaban islam yang agung mampu berdiri kokoh selama lebih dari 13 abad mewujudkan generasi brilian, beriman, dan bertakwa. Apa rahasia kesuksesan tersebut?
Pertama, sistem pendidikan islam berbasis akidah islam diselenggarakan oleh negara dan menjadi kurikulum inti di sekolah-sekolah. Tujuan kurikulum berbasis akidah islam adalah membentuk generasi yang memiliki pola pikir dan sikap yang sesuai dengan Islam. Negara menjadikan pendidikan sebagai layanan gratis yang dapat dinikmati seluruh anak di pelosok negeri. Dengan pendidikan gratis, fasilitas yang memadai, tenaga guru profesional, dan kurikulum berasas akidah Islam, tentu akan menjadi perpaduan apik dalam menciptakan generasi unggul dalam imtak (iman dan takwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi).
Kedua, menerapkan sistem sosial dan pergaulan islam. Di antara ketentuan islam dalam menjaga pergaulan di lingkungan keluarga dan masyarakat ialah: (1) kewajiban menutup aurat dan berhijab syar’i; (2) larangan berzina, berkhalwat (berduaan dengan nonmahram), dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan); (3) larangan mengeksploitasi perempuan dengan memamerkan keindahan dan kecantikan saat bekerja; (4) larangan melakukan safar (perjalanan) lebih dari sehari semalam tanpa disertai mahram.
Ketiga, optimalisasi lembaga media dan informasi dengan menyaring konten dan tayangan yang tidak mendukung bagi perkembangan generasi, seperti konten porno, film berbau sekuler liberal, media penyeru kemaksiatan, dan perbuatan apa saja yang mengarah pada pelanggaran terhadap syariat Islam.
Wallahualam bii showab.
Komentar
Posting Komentar