Menyoal Kembali Lemahnya Mitigasi Bencana di Indonesia



Oleh: Dewi Putri, S.Pd

Dikutip dari surabaya.kompas.com.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lumajang merilis perkembangan terbaru bencana banjir dan longsor di Kabupaten Lumajang. Diberitakan sebelumnya, Kabupaten Lumajang diterjang banjir dan tanah longsor pada Kamis (18/04/2024).

Data BPBD Lumajang, terdapat sembilan kecamatan di Lumajang yang terdampak bencana banjir dan longsor. Sebagai informasi, banjir yang terjadi pada Kamis (18/04/2024) tidak hanya berupa banjir lahar hujan Gunung Semeru.

Banjir merupakan fenomena alam yang datang berulang di wilayah Indonesia. Salah satu penyebabnya ialah bisa diprediksi dengan curah hujan yang tinggi pada musim hujan, bahkan dengan kecanggihan teknologi sudah bisa memperkirakan waktu terjadinya hujan dengan curah yang tinggi sehingga masyarakat dapat mengantisipasi dan pemerintah siap siaga berjaga-jaga. Akan tetapi kenapa banjir masih belum bisa diantisipasi sehingga akan berdampak besar bagi masyarakat.

Adanya mitigasi bencana banjir itu hal penting dan diutamakan. Karena mitigasi ialah upaya untuk mengurangi adanya resiko bencana. Mitigasi bencana banjir pun akan dilakukan sebelum terjadi,  saat terjadi serta sesudah terjadinya bencana.

Mitigasi bencana banjir juga meliputi aspek pembangunan fisik atau struktural serta adanya peningkatan kemampuan masyarakat untuk menghadapi bencana. Salah satu yang termasuk mitigasi sebelum bencana ialah pembangunan yang bisa mencegah adanya perluasan banjir. Misalnya adanya peringatan bahwa tidak boleh adanya pembangunan permukiman pada wilayah yang rawan banjir. Juga akan melakukan revitalisasi sungai dengan mengeruk bagian segimen sehingga mampu menampung air dengan cara optimal. 

Sebelum adanya bencana pun masyarakat juga hendaknya mendapatkan informasi yang akurat. Bukan hanya terkait datangnya bencana banjir dan bencana lain yang mengikuti (longsor), akan tetapi juga adanya upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk meninimalisir resiko banjir. Misalnya  adanya jalur evakuasi terhadap kalangan fisik, baik dari balita, orang sakit dan lansia.

Adapun mitigasi yang dilakukan ketika bencana ialah adanya informasi tempat pengungsian, kapan harus mengungsi, dimana dan bagaimana cara menuju tempat pengungsian serta barang apa saja yang perlu dibawa. Mitigasi setelah bencana dilakukan guna untuk mengembalikan warga ke rumah masing-masing juga pembersihan dan perbaikan rumah, gedung, sarana publik dan lain sebagainya.

Dengan adanya mitigasi yang profesional dan bersungguh-sungguh untuk mengurus kemaslahatan masyarakat, maka akan diupayakan untuk menghindari berbagai resiko bencana banjir. Adanya korban jiwa yang bisa dicegah, bahkan yang terkena dampak banjir pun bisa diminimalkan agar tidak meluas. Penyelesaian juga lebih cepat sehingga warga tidak perlu mengungsi lama-lama. Serta aktivitas perekonomian warga pun bisa kembali normal.

Sayangnya hal demikian tidak kita jumpai di negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Negara selalu lambat dan gagap dalam menangani bencana banjir. Negara juga menjadikan keterbatasan dana sebagai penyebabnya. Bisa jadi karena kecilnya alokasi dana untuk menanggulangi bencana banjir. Hal ini terlihat dengan negara tidak ada upaya serius mengurusi dan menanggulangi adanya bencana banjir.

Akibat dari kelambanan pemerintah ini, masyarakatlah yang terkena dampak.  Masyarakat harus kehilangan harta benda, kerusakan bahkan kehilangan nyawa. Setelah bencana mereka juga harus mengeluarkan dana yang cukup besar untuk memperbaiki rumah, perabot dan alat elektronik yang terkena banjir. Ditambah lagi fasilitas-fasilitas yang disediakan di tempat pengungsian masih jauh dari kata terpenuhi. Dari segi kesehatan pun di tempat pengungsian kerap mengalami sakit diare dan lain-lain.

Pemerintah pun tidak menjamin kebutuhan pangan pengungsi. Sering kali yang berperan besar ialah masyarakat swadaya. Adanya para relawan yang rela bersusah payah demi menolong korban banjir. Sedangkan bantuan dari pemerintah justru tidak optimal. Hal ini membuktikan bahwa tidak adanya fungsi negara dalam mengurus dan meriayah, akhirnya rakyatlah yang menyolusi masalah yang mereka hadapi. Kondisi demian hanya dijumpai di negara yang menerapkan aturan buatan manusia yakni kapitalisme sekuler.

Tentu berbeda dengan sistem Islam. Di dalamnya kepengurusan rakyat menjadi tanggung jawab negara (penguasa). Negara bersungguh-sungguh dalam melakukan mitigas bencana banjir serta meminimalisir resiko akibat bencana banjir. Negara juga akan mengerahkan segala sumber daya yang ada demi terselesaikanya bencana banjir.

Tak hanya itu, negara menjamin serta menyediakan fasilitas dalam penanggulangan bencana banjir. Negara tidak akan melimpahkan tanggungjawabnya pada swadaya masyarakat. Berapa pun dana yang dibutuhkan, negara akan memenuhinya. Hal ini mudah dilakukan karena khilafah memiliki sumber pemasukan yang banyak, bukan didominasi dengan utang dan pajak sebagaimana yang diterapkan oleh sistem kapitalisme saat ini.

Khilafah memiliki pos khusus untuk keperluan bencana alam. Ada bagian belanja negara untuk mengurusi urusan darurat bencana alam, ada seksi yang memberikan bantuan kepada kaum muslim atas setiap kondisi darurat yang menimpa masyarakat.

Dalam negara islam yakni khilafah islamiyah ketika ada kebutuhan dana untuk kepentingan rakyat negara akan menyediakan secara langsung dari berbagai pos penerimaan yang ada. Demikianlah bagaimana kepengurusan sistem islam dalam menanggulangi bencana.

Wallahu'alam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak