Pemberdayaan Perempuan di Sektor Parekraf, Solusi atau Eksploitasi?


Oleh: Sofia (Aktivis Dakwah Kampus)


Dunia mendorong keterlibatan Perempuan dalam dunia pariwisata sebagai upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender. Pada tanggal 2-4 Mei 2024, UN Tourism dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (Kemenparekraf) bekerja sama dengan Politeknik Pariwisata Bali untuk menyelenggarakan Konferensi Regional Pariwisata PBB ke-2 (The 2nd UN Tourism Conference on Women Empowerment in Tourism in Asia and The Pacific). (Suara.com, 2-5-2024)

Berlangsung di kawasan Nusa Dua, Badung, Bali, konferensi ini mengusung tema tentang Pemberdayaan Perempuan dalam Pariwisata di Asia dan Pasifik. Tujuan The 2nd UN Tourism Conference on Women Empowerment in Tourism in Asia and The Pacific sendiri adalah untuk mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam industri pariwisata. (Suara.com, 2-5-2024)

Konferensi ini ditargetkan menjadi momentum untuk memperkuat peran perempuan dan kesetaraan gender dalam sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. (Okezone, 3-5-2024). Sebagaimana pernyataan Wamenparekraf, Angela Tanoesoedibjo, bahwasanya pemberdayaan perempuan bukan sekadar soal pencapaian kesetaraan dan hak asasi manusia, namun pemberdayaan perempuan harus menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan. (INews.id, 3-5-2024)

Sekilas program ini tampak peduli terhadap nasib perempuan. Namun, betulkah pemberdayaan perempuan yang tengah digencarkan saat ini dapat menjamin kesejahteraan?

Sejak lama, program pemberdayaan perempuan terus digalakkan demi harapan dan masa depan kehidupan yang lebih baik. Perempuan diyakini dapat mendongkrak perekonomian keluarga, daerah, hingga perekonomian negara. Bahkan keterlibatan perempuan dalam ruang publik, seperti bekerja, kerap menjadi tolok ukur keberhasilan pemberdayaan perempuan. 

Hal ini dapat disimpulkan bahwa  pemberdayaan perempuan dalam sistem ini adalah perempuan yang bekerja, mandiri, memiliki karier, dan memberi sumbangsih bagi pembangunan dengan menjadi pelaku ekonomi. Tolak ukur kontribusi adalah seberapa besar materi yang dihasilkan.  Adapun perempuan yang tidak berkontribusi materi kerap kali dituding menjadi salah satu penyebab problem kemiskinan negara.

Padahal hukum bekerja bagi perempuan sejatinya adalah mubah. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat perempuan adalah figur sentral dalam mendidik anak dan keluarganya. Perempuan memiliki tugas mulia untuk mendampingi suami dan mendidik anak-anak.

Ada sebuah nasihat yang mengatakan:

“Perempuan adalah tiang negara. Jika kaum perempuannya baik, maka baiklah negara dan sebaliknya jika kaum perempuan rusak maka hancur pula negaranya,”

Artinya perempuan memiliki peran penting dalam pembentukan karakter generasi penerus. Seorang ibu adalah lembaga pendidikan pertama dan utama bagi anak-anaknya. Maka sudah seharusnya ia menjalankan tugas dan peran mulianya di dalam rumah tangga dengan baik. Sehingga terbentuklah anak-anak yang kelak akan menjadi generasi penerus bangsa yang baik pula. Peran ini tidak akan maksimal jika para perempuan didorong untuk terlibat dalam dunia kerja. 

Namun, bukan berarti perempuan tidak boleh bekerja. Tentu saja perempuan boleh terlibat dalam dunia kerja dengan catatan tidak menanggalkan peran domestiknya dan sesuai ketentuan syari'at. Pasalnya keterlibatan perempuan dalam dunia kerja hari ini justru menjauhkannya dari peran domestiknya. Sehingga tidak jarang ditemukan anak tumbuh tanpa didikan orang tua dikarenakan sibuk bekerja.

Kegagalan sistem ekonomi kapitalisme telah menjadikan perempuan sebagai tumbal dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Jika tidak, untuk apa melibatkan perempuan sebagai penggerak ekonomi. Negara pun juga diarahkan dunia untuk mengembangkan sektor non strategis termasuk pariwisata, sementara sektor strategis seperti penguasaan SDA dikuasai oleh negara penjajah.

Padahal sumber daya yang ada di dunia sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap manusia, sebab  Allah (SWT) berfirman, " Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya." [TQS Fussilat 41 : 10]

Ketidakadilan pengelolaan sumber daya alam yang menganut kebebasan kepemilikan membuat kekayaan alam tersebut hanya tersedia untuk kalangan elit dan kaya. Sementara, kalangan miskin kelaparan dan sangat menderita.

Islam memiliki sistem ekonomi yang tangguh yang akan menjamin kesejahteraan rakyat termasuk perempuan dengan berbagai mekanismenya. Selain itu, dalam Islam, Perempuan dijaga fitrahnya dan dijamin kesejahteraannya oleh negara. Perempuan mulia bukan diukur dari jumlah materi yang dihasilkannya melainkan seberapa besar ketakwaannya kepada Allah Swt. Namun, hal ini tidak dapat dirasakan selama hukum Islam tidak diterapkan dalam lingkup negara, mulai dari ranah sosial, politik, ekonomi, sanksi/hukum.

Upaya melibatkan perempuan dalam dunia kerja salah satunya pada sektor parekraf atas nama pemberdayaan sejatinya justru merusak fitrah perempuan dan akan membahayakan nasib anak-anaknya baik karena ibu bekerja maupun dampak buruk pariwisata yang berpotensi menimbulkan perang budaya.

Jika kita menginginkan kesejahteraan di setiap lini tanpa harus mengorbankan perempuan atau memberdayakan perempuan tanpa memutuskan fitrah dan peran domestiknya, maka tidak ada pilihan lain kecuali kekuasaan itu menerapkan syariat Islam dalam setiap aspek kehidupan yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara kemaslahatan umat.


Wallahu'alam bisshawwab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak