Penetapan Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional, Menguatkan Sekulerisme?

 



Oleh : Ummu Aniisah ( Pemerhati pendidikan dan Generasi)


Kurikulum Merdeka resmi ditetapkan sebagai Kurikulum Nasional mulai tahun ajaran baru 2024/2025. Penetapan ini mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 12/2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah.

Peluncuran Permendikbudristek yang menjadi payung hukum diberlakukannya Kurikulum Merdeka menjadi Kurikulum Nasional ini dilakukan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim pada acara “Kurikulum Merdeka untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran di Jakarta”, pada Rabu (27-3-2024). Menurut Nadiem, Permendikbudristek ini memberi kepastian arah kebijakan pendidikan nasional dengan menetapkan Kurikulum Merdeka secara nasional.

Setelah Permendikbudristek Kurikulum Merdeka nantinya diterapkan, satuan pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah tetap dapat menggunakan Kurikulum 2013 maksimal hingga Tahun Ajaran 2025/2026. Meski sudah ditetapkan, implementasinya tetap bergantung pada kesiapan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, hingga pendidikan menengah. Ada masa transisi hingga maksimal tiga tahun ke depan.


Penguatan Pendidikan Sekuler

Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam. Konten akan disampaikan lebih optimal supaya peserta didik mempunyai cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi diri. Dalam pelaksanaannya, guru memiliki keleluasaan untuk memilih berbagai perangkat ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik.

Melansir dari instagram resmi @dirjen.gtk.kemdikbud, prinsip utama dari Kurikulum Merdeka adalah berorientasi pada murid dengan memprioritaskan tumbuh kembang anak secara utuh, mementingkan pengembangan kompetensi dan karakter murid.

Kurikulum Merdeka memudahkan dan mendorong guru untuk berorientasi kepada murid, misalnya berfokus pada materi esensial, jadi materi tiap mata pelajaran lebih sedikit sehingga guru tak perlu terburu-buru dalam mengajar. Bahkan, guru bisa menggunakan metode yang lebih interaktif, mendalam, dan menyenangkan.

Selain itu, Kemendikbudristek RI juga menyediakan Platform Merdeka Mengajar (PMM). Platform ini menyediakan berbagai modul pelatihan bagi guru dan kepala sekolah yang dapat diakses secara gratis dan mandiri menggunakan akun email yang berakhiran belajar.id atau madrasah.kemenag.go.id.

Kurikulum Merdeka diklaim lebih holistik karena memuat penilaian karakter, dan diyakini mulai membawa kebahagiaan belajar bagi peserta didik. Nuansa belajar lebih dinamis, tidak sekaku kurikulum sebelumnya. Hal itu tampak, terutama dalam mengimplementasikan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang merupakan bentuk penerjemahan tujuan pendidikan nasional. Profil pelajar Pancasila terdiri dari enam dimensi, yaitu: 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, 2) mandiri, 3) bergotong-royong, 4) berkebinekaan global, 5) bernalar kritis, dan 6) kreatif.

Jika kita menyoroti menyoroti enam dimensi pada Program P5. Sepintas keenam dimensi ini tidak bermasalah. Namun, penerjemahan semua dimensi tersebut akan berbeda tergantung asas yang mendasari kurikulum. Beriman dan bertakwa menurut asas sekularisme, tentu bukanlah ketakwaan totalitas kepada Allah dan keterikatan kepada hukum syariat sepenuhnya. Demikian pula dengan dimensi lainnya. Tentu akan disikapi secara sekuler kapitalistik. Karakter atau berkarakter Pancasila hanyalah identitas output pendidikan dengan pola pikir dan pola sikap sekuler sebagaimana dituntut kompetensi global. Ini terlihat dari elemen pembentuk profil pelajar Pancasila, khususnya elemen “berkebinekaan global” yang mengharuskan adanya penghargaan terhadap budaya global. Sebagai ideologi yang mendominasi dunia hari ini, budaya global yang dimaksud tidak lain dan tidak bukan adalah budaya sekuler kapitalisme itu sendiri. Dinyatakan, “Elemen dan kunci kebinekaan global meliputi mengenal dan menghargai budaya, kemampuan komunikasi interkultural dalam berinteraksi dengan sesama, dan refleksi serta tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan. Kalaupun pada elemen pertama termaktub frasa “iman dan bertakwa”, tetapi tetap dimaknai dengan sudut pandang Barat ketika Islam direduksi sebagai akidah ruhiah semata.

Kerangka dasar kurikulum, paradigma yang membangunnya, hingga tujuan dan target yang hendak diraih dari implementasi kurikulum adalah perkara paling mendasar dari sebuah kurikulum. Oleh karenanya, kesuksesan atau kebaikan bukan dilihat dari penerimaan (kebahagiaan belajar) peserta didik dalam proses pembelajaran karena itu semua hanya penampakan luar atau aksesoris. 

Titik rawan Kurikulum Merdeka karena dunia pendidikan akan makin sekuler kapitalistik akibat dikendalikan oleh asas sekularisme kapitalisme. Juga dipayungi oleh sistem sekuler kapitalisme di semua lini kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya yang akan membawa pendidikan pada muara yang keliru

Kurikulum Merdeka sejatinya merupakan implementasi dari paradigma pendidikan yang mengacu pada sistem pendidikan Barat yang sekuler kapitalistik. Hal ini terlihat dari napas Kurikulum Merdeka berupa standar mutu kapitalistik, yakni penilaian PISA (Programme for International Student Assessment) yang diimplementasikan melalui Asesmen Nasional. PISA merupakan standar kualifikasi pendidikan yang dirancang oleh negara-negara kapitalis OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia yang sesuai bagi kebutuhan pasar industri kapitalis. Oleh karenanya, standar kualitas literasi, numerasi, dan sains menjadi acuan penilaiannya. Mandat OECD juga menjelaskan alasan mengapa mata pelajaran standar PISA adalah membaca, matematika, dan sains. Mata pelajaran ini dipandang sebagai elemen kunci untuk daya saing dalam ekonomi dunia yang didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yakni globalisasi agenda KBE (Knowledge Based Economy). Dengan acuan kompetensi ini, potensi mereka justru diarahkan untuk lebih terserap sebagai mesin penggerak industri kapitalis.

Penting dicatat, kompetensi global sebagai tujuan pendidikan dalam rangkaian MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) bukanlah kemampuan sains dan teknologi yang bersifat umum bagi semua umat, melainkan bersifat khas sudut pandang kehidupan sekuler. Bahkan, ia merupakan agenda politik Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang berdedikasi bagi sistem sekuler kapitalisme, yakni untuk kebebasan individu, demokrasi dan pasar bebas, serta norma global tata kelola ekonomi. Konsekuensinya, perspektif sekuler harus digunakan pada dimensi pengetahuan ketika melakukan pengkajian terhadap isu-isu lokal, global, maupun antarbudaya.

Dengan konsep kurikulum yang seperti ini, semua yang terjadi di lapangan—meskipun terkesan pembelajaran menjadi lebih membahagiakan dibandingkan sebelumnya—tetap saja tidak akan menghasilkan output yang diharapkan sesuai dengan misi pendidikan Islam yang sahih. Oleh karenanya, sangat layak disangsikan, kurikulum baru ini akan memenuhi hak pendidikan. Sebab, persoalannya bukan hanya di proses pembelajaran, ataupun banyaknya satuan pendidikan yang mengadopsi, namun pada paradigma, landasan, dan target kurikulum. 

Pro-kontra pemberlakuan Kurikulum Merdeka sebenarnya masih terus berlangsung, di tengah penetapan kurikulum tersebut sebagai Kurikulum Nasional yang mengikat semua satuan pendidikan. Penetapan menjadi Kurikulum Nasional yang baru dicobakan selama tiga tahun pun, dinilai sebagian pihak terburu-buru meski pemerintah mengklaim sudah 80% sekolah menerapkan Kurikulum Merdeka.Penetapan itu terjadi di tengah persoalan guru yang belum tuntas, baik masalah kesejahteraan maupun kompetensi. Padahal ujung tombak pemberlakuan kurikulum tentunya adalah guru. Dampaknya pun sudah amat terasa, yakni kualitas peserta didik ataupun output pendidikan saat ini. Karakter kepribadian islami siswa tidak terbentuk dengan benar. Perundungan dan kekerasan, termasuk kekerasan seksual, yang menimpa para pelajar dan dilakukan oleh pelajar, masih terus menjadi PR, bahkan kondisinya makin mengkhawatirkan.


Mengembalikan Penerapan Sistem Pendidikan Islam

Satu-satunya solusi yang bisa kita harapkan sekarang adalah kembali menerapkan sistem Pendidikan islam yang sudah terbukti berhasil menopang peradaban Islam selama 13 abad lamanya. Tujuan sistem pendidikan Islam (sebagaimana dasarnya adalah akidah Islam) adalah satu-satunya pemikiran yang sahih dan tertunjuki cahaya ilahiah; bersumber dari mata air kebenaran Al-Qur’an serta Sunah dan apa-apa yang ditunjukkan keduanya untuk mewujudkan fungsi ilmu sebagai pencerdas akal pikiran bani insan sehubungan kedudukannya sebagai khalifatullah fil ardh. Sampainya potensi ini—akal dan khalifatullah fil ardh—pada puncaknya akan mampu mengantarkan manusia pada kedudukan mulia.

Konsep kurikulum seharusnya mampu mewujudkan target pendidikan Islam yaitu : pertama, membangun kepribadian islami, yakni pola pikir (akliah) dan jiwa (nafsiah) bagi anak-anak umat. Keharusan ini karena akidah Islam adalah asas kehidupan setiap muslim sehingga harus dijadikan asas berpikir dan berkecenderungan. Kedua, mempersiapkan anak-anak kaum muslim agar di antara mereka menjadi ilmuwan dan ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu keislaman (ijtihad, fikih, atau peradilan), maupun berbagai bidang sains (teknik, kimia, fisika, atau kedokteran).

Di pundak para ilmuwan, pakar, dan ahli kelaklah, ada kesanggupan untuk membawa Negara dan umat Islam menempati posisi puncak di antara bangsa-bangsa dan negara-negara lain di dunia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak