Perempuan Berdaya Secara Ekonomi di Sektor Pariwisata, Jaminan Sejahtera?

 
Oleh: Tri Lusiana, S.Pd (Aktivis Muslimah)

Saat menyampaikan pengantar di hadapan wakil sekira 40 negara partisipan dalam The 2nd UN Tourism Regional Conference on the Empowerment of Women in Tourism in Asia and The Pacific, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf) mengenalkan tentang tokoh kesetaraan gender Tanah Air. Serta menyatakan pentingnya peran kaum Hawa dalam bisnis pariwisata. 

Dikutip dari kantor berita Antara, Director of the Regional Department for Asia and the Pacific UN Tourism menyatakan rasa sukacita karena Konferensi Pariwisata PBB Kedua digelar di Bali. Sebuah destinasi pariwisata dengan alam dan budaya yang terkenal. 

Ia memaparkan bahwa UN Tourism sendiri adalah badan khusus Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan misi mempromosikan pariwisata yang bertanggung jawab, berkelanjutan dan dapat diakses secara universal. 

"Berdasarkan agenda 2030 PBB untuk tujuan pembangunan berkelanjutan dan kode etik pariwisata global, kami memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa pariwisata memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dan lelaki dalam berkontribusi terhadap pencapaian kelima, yaitu mencapai kesetaraan gender".

Dalam Konferensi Pariwisata PBB Kedua tentang Pemberdayaan Perempuan di Asia dan Pasifik itu, ia menyampaikan ingin agar diskusi yang mereka gelar dapat menginspirasi seluruh kaum perempuan.

"Kami berharap pelajaran yang dapat dipetik dari diskusi tiga panel akan membantu untuk mendobrak hambatan bagi generasi mendatang dan menginspirasi semua perempuan muda yang hadir untuk memulai karier yang cemerlang di sektor pariwisata," ucapnya, Kabupaten Badung, Bali, Kamis (2/5/2024).

Dalam The 2nd UN Tourism Regional Conference on the Empowerment of Women in Tourism in Asia and the Pacific itu, terdapat tiga panel diskusi utama yang diisi pakar dari negara-negara peserta. 

Topiknya adalah: Pertama, membahas peran perempuan dalam mempromosikan pariwisata berkelanjutan.

Kedua, menelaah bagaimana pendidikan dan pelatihan berdampak kepada partisipasi perempuan di sektor pariwisata.

Ketiga, mengatasi kekhawatiran terkait keselamatan dan menciptakan peluang perjalanan yang lebih mudah diakses bagi perempuan.

Agar hal tadi terwujud, Director of the Regional Department for Asia and the Pacific UN Tourism ini meminta delegasi dari sekitar 40 negara peserta agar mendengarkan, belajar dan berbagi satu sama lain tentang solusi yang memungkinkan pariwisata menjadi wadah untuk pemberdayaan seluruh perempuan.

"Kita berkumpul di sini dengan tujuan yang sama yaitu untuk masa depan sektor kita, pariwisata yang menawarkan peluang yang lebih banyak dan lebih baik untuk pemberdayaan perempuan dan anak, serta lingkungan pariwisata yang mewujudkan kesetaraan gender".

Ia mengharapkan bahwa dalam mencapai tujuan pemberdayaan perempuan, dari seluruh sesi diskusi lahir upaya kolektif, peningkatan kesadaran yang berkelanjutan, serta serangkaian ide dan teknologi inovatif (suara).

Hal ini menunjukkan bahwa dalam sistem sekuler-kapitalis hari ini, dunia mendorong keterlibatan perempuan dalam dunia pariwisata sebagai upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender. Dalam sistem kapitalisme hari ini, sebagian para perempuan berupaya memiliki kedudukan sejajar dengan laki-laki. Atas nama kesetaraan gender, para perempuan berlomba-lomba untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan kaum laki-laki. 

Jika laki-laki mempunyai hak untuk berbicara di depan orang banyak, maka atas nama gender para perempuanpun menuntut hak yang sama. Begitupun jika laki-laki mendapatkan hak-hak tertentu dalam masyarakat, maka para perempuanpun meminta hal yang sama. Selain itu, dalam isu gender perempuan didorong untuk berdaya dalam sektor publik. Artinya seorang perempuan dianggap bermanfaat ketika dia mampu meninggalkan aktivitas rumahnya dan lebih menghabiskan banyak waktu di sektor publik. Misalnya dengan bekerja dan aktivitas semacamnya.

Padahal, jika ditelaah lebih jauh isu gender sebenarnya bukan menjadikan perempuan berdaya tapi justru  hanya memperdayakan perempuan. Bagaimana tidak, dengan alasan kesetaraan gender para perempuan harus meninggalkan rumah dan lebih rela menghabiskan waktunya bekerja di luar rumah. Itu artinya waktu berkumpul bersama keluarga akan berkurang dan berefek pada terkikisnya keharmonisannya rumah tangga. Waktu yang seharusnya dihabiskan untuk berkumpul dengan keluarga akhirnya terbeli dengan sedikit lembaran yang didapatkan. Anak-anak menjadi tidak begitu terurus dan peran wanita sebagai seorang ibu terpinggirkan begitu saja.

Dari sini, jelas akan banyak hal yang harus dikorbankan oleh perempuan ketika dia memenuhi tuntutan gender. Mulai dari pengorbanan tenaga, hilangnya hak anak untuk mendapatkan perhatian lebih, hak rumah yang harus diurus dengan baik. Terlebih penjagaan keharmonisan rumah tangga seorang perempuan bisa jadi akan terancam karena memenuhi tuntutan tersebut.

Sejatinya perempuan menjadi tumbal kegagalan Sistem Ekonomi Kapitalisme dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, sehingga harus melibatkan perempuan sebagai penggerak ekonomi. Padahal upaya tersebut justru merusak fitrah perempuan. 

Negara pun juga diarahkan dunia untuk mengembangkan sektor non strategis termasuk pariwisata, sementara sektor strategis seperti penguasaan SDA dikuasai oleh negara penjajah. Padahal hal ini bisa menimbulkan dampak buruk pariwisata yaitu berpotensi menimbulkan perang budaya ketimuran, karena sektor pariwisata dalam aturan Sekuler Kapitalisme berpotensi besar adanya pelanggaran syariat seperti minuman keras, dan pergaulan bebas yang bisa menghantarkan pada tindak kriminal. Tak jarang perempuan juga yang terkena imbasnya.

Hal ini tentu sangat berbeda dalam Islam. Dalam Islam perempuan dijaga fitrahnya dan dijamin kesejahteraannya oleh negara. Fitrah seorang perempuan adalah sebagai al-ummu wa rabbatul bait (Ibu dan pengatur rumah tangga). Konsep peran ini sangat mulia dan tidaklah seperti anggapan kaum feminis. Jabatan al ummu warobbatu bait merupakan jabatan perempuan yang berasal dari fitrahnya. Artinya jabatan yang telah tersematkan sejak mulai diciptakannya sebagia makhluk oleh Sang pencipta, Allah SWT. Maka peran inilah yang seharusnya diutamakan untuk dimainkan oleh perempuan dalam kancah kehidupan.

Selain itu dalam Islam, selain peran sebagai al ummu wa rabbatul bait, seorang perempuan juga bisa menempati peran strategis dalam kaitannya dengan pendidikan. Seorang perempuan boleh mengamalkan ilmu yang dimiliki dalam bidang pendidikan dengan tetap menjaga perannnya sebagai Ibu dan pengurus rumah tangga. 

Sehingga para perempuan bisa bergabung dalam lembaga-lembaga pendidikan untuk turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti yang telah dicontohkan Ummul Mukminin Aisyah binti  Abu Bakar, beliau mempunyai ilmu yang sangat luas mulai ilmu fikih, kesehatan serta syair Arab. Bahkan beliau tercatat menjadi wanita yang paling banyak meriwayatkan hadist. Setidaknya ada 1.210 hadist yang Beliau riwayatkan dan disepakati oleh Al Bukhari dan Muslim. 

Sangat menakjubkan bukan? Oleh karenanya, peran strategis perempuan hanya bisa didapatkan ketika dikembalikan kepada fitrahnya.

Islam memandang perempuan yang mulia bukan diukur dari jumlah materi yang dihasilkannya tapi bagaimana ia menempatkan diri sebagai hamba Allah SWT yang bertakwa, serta mampu memberi contoh dan pelajaran bagi putra-putrinya menjadi hamba-hamba Allah SWT yang sholih-sholihah.

Banyak nash maupun hadist dalam memuliakan perempuan. Seperti kutipan nash berikut; ”Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (TQS. Al Ahqaf:15)

Tentu masih ingat kisah ditaklukkannya kota Amuria oleh Khalifah Al-Mu’tashim billah karena ada seorang kafir yang melecehkan seorang muslimah.

Di sisi lain, Islam memiliki sistem ekonomi tangguh yang akan menjamin kesejahteraan rakyat termasuk perempuan dengan berbagai mekanisme, diantara yaitu dalam Islam laki-laki berkewajiban memenuhi nafkah orang-orang yang berada dalam tanggungannya. 

Kemudian negara akan mem-back up peran ibu secara tidak langsung dengan cara penguasaan sektor strategis SDA dan menjamin tersedianya lapangan kerja, serta memudahkan akses kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar setiap warga negara tanpa terkecuali. Dengan demikian peran ibu dapat dimaksimalkan tanpa harus bersusah payah memikirkan segala hal yang membebaninya. Ia akan fokus mendidik anak-anaknya dengan akidah Islam yang kokoh, bervisi akhirat. 

Oleh karenanya, hanya dengan negara yang menerapkan sistem Islam lah perempuan bisa berkiprah di ranah publik tanpa harus meninggalkan fitrah keperempuanannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. 

Maka jika perempuan serius menghendaki perannya mulia dan menghantarkan pada sejahtera. Tiada jalan lain selain harus berjuang bersama untuk mewujudkan penerapan syariah Islam yang kaffah.


Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak