Proyek Sawah Cina, Solusi Ketahanan Pangan Indonesia?
Oleh : Dian Safitri
Guru Besar Insitut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengkritik rencana penggunaan lahan sebanyak 1 juta hektare di Kalimantan Tengah untuk penerapan adaptasi sawah padi dari Cina. Dia memberi masukan, lahan itu terlalu luas untuk rencana awal, dan kesulitan nanti siapa yang akan menggarap, baiknya menggunakan lahan sedikit dulu, jika berhasil baru ditambah.
Andreas mengatakan dari pengalaman food estate sejak zaman pemerintahan Soeharto pada 25 tahun lalu sampai pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga presiden yang sekarang, luas tanah yang dipakai juga berjuta hektare. Akhirnya gagal juga, kalau pun pemerintah ingin melakukan pembenahan harus konsisten. Untuk teknologi apa yang bakal diterapkan dalam adaptasi yang dilakukan Indonesia dari sawah Cina, belum pasti menggunakan benih atau irigasi, dan produksi padi di Indonesia sebenarnya lebih baik dari negara lain.
(tempo.co, 24/04/2024)
Sungguh ironi, urusan pangan diserahkan kepada negara luar, padahal kita punya sumber daya manuasia yang luar biasa juga ada IPB dengan jurusan pertanian yang mendukung kedaulatan pangan negeri ini sebenarnya. Selain itu, Indonesia adalah negara agraris, lantas kenapa buka lahan baru?
Bukankah ini sama saja mematikan para petani lokal dan menggeser para ahli bidang pertanian?
Negara berdalih rencana proyek sawah Cina diadakan sebagai solusi menyediakan lumbung pangan. Padahal faktanya, banyak program serupa sebelumnya yang mengalami banyak kegagalan. Seandainya pun berhasil siapa yang akan diuntungkan? Apakah rakyat?
Jelas tidak, melainkan para pemilik modal. Karena sistem yang diemban oleh negara hari ini meniscayakan pengelolaan termasuk pangan diserahkan kepada asing juga pemilik modal. Merekalah yang diuntungkan. Negara hanya menjadi regulator yang memuluskan keinginan penjajah tersebut. Selama sistem bathil kapitalisme ini terus diemban, jangan harap kedaulatan pangan bisa dirasakan oleh warga pribumi. Inilah dampak penerapan sistem bathil itu.
Alih-alih negara melakukan mitigasi kegagalan membangun pangan dan memberi solusi bagi petani lokal, justru sebaliknya melakukan kesalahan yang sama dengan Impack yang semakin besar.
Jangan ditanya mengapa mitigasi kegagalan membangun lumbung pangan justru tidak dilakukan, dan memberi solusi untuk petani lokal? Padahal banyak petani yang mengalami kegagalan dan meninggalkan lahan, dijual dan akibatnya petani makin malas bahkan pensiun sebagai petani. Lagi-lagi karena penerapan sistem kapitalisme yang tidak memperdulikan kebutuhan dan kesejahteraan para petani.
Berbeda jauh dengan penyelesaian Islam. Islam bukan sekedar agama, tetapi juga ideologi yang memiliki aturan dalam menyelesaikan setiap problem yang dihadapi oleh manusia.
Islam menyelesaikan persoalan pangan dari akar masalah. Tidak sekedar mewujudkan ketahanan pangan saja, namun juga kedaulatan pangan.
Negara hadir untuk bertanggung jawab penuh membantu petani, apalagi pertanian adalah persoalan strategis, dan jika pun akan menjalin kerjasama dengan asing, politik luar negeri daulah dijadikan sebagai pedoman, negara tidak akan ergantung pada modal swasta atau asing.
Islam menyelesaikan pangan secara tuntas melalui politik pertanian yang dilandaskan pada syariah yakni terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat termasuk petani.
Negara akan hadir sebagai raa'in di tengah rakyatnya.
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda yang artinya:
" Iman atau khalifah adalah raa'in (pengurus) dan dia bertanggungjawab atas kepengurusan rakyat yang dipimpinnya".
Idealnya seperti itulah pemimpin, hadir sebagai perisai untuk rakyatnya. Pemimpin seperti ini hanya lahir dari sistem terbaik yakni khilafah.
Wallahu 'alam.
Komentar
Posting Komentar