Pelecehan Anak Berulang, Islam Solusi Menyeluruh




Oleh: Mial, A.Md.T (Aktivis Dakwah)

Kasus orang tua mencabuli anak sendiri makin banyak, termasuk seorang ibu. Orang tua yang seharusnya menjadi tempat berlindung paling aman dan nyaman, justru terlibat dalam kejahatan seksual. Sosok yang seharusnya menyayangi dan melindungi malah mencemari diri dengan merusak anak sendiri.

Kasus perbuatan vidio vulgar bersama anak kandung marak akhir-akhir ini. Sejauh ini, total ada dua ibu muda yang ditetapkan sebagai tersangka. Adapun, mereka adalah AK (26) dan R (22). (Liputan 6, 09/06/2024)

Seorang Ibu berinisial R (22) tega berbuat asusila terhadap putra kandungnya sendiri berusia 10 tahun, di kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Kejadian memilukan itu bermula pada 28 Juli 2023 ketika pemilik sebuah akun Facebook membujuk tersangka mengirim foto tanpa busana dengan iming-iming akan dikirimkan sejumlah uang. Tidak hanya itu, R diminta mengirimkan video saat “berhubungan” dengan suaminya, tetapi R menolak lantaran sang suami tidak berada di rumah. (DetikNews, 09/06/2024)

Setelah videonya viral di media sosial, sang ibu pun menyerahkan diri ke polisi. Tersangka R dijerat dengan pasal berlapis atas perbuatannya, yaitu Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 tentang Perubahan Kedua UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; UU Pornografi, yaitu Pasal 29 jo Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008; serta Pasal 76 UU 35/2014 tentang Perubahan UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Peristiwa ini mencerminkan gagalnya sistem pendidikan dalam mencetak individu berkepribadian Islam dan siap mengemban amanah sebagai ibu. Di sisi lain juga menunjukkan lemahnya negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, sehingga membuat ibu tergoda melakukan maksiat demi sejumnlah uang. Pendidikan keluarga yg berbasis sekulerisme membuat ibu kehilangan fitrah. Uang menjadi pilihan saat kesejahteraan tidak menjadi prioritas Negara.

Fakta menyesakkan ini bukan sekali terjadi, kasus orang tua mencabuli anak sendiri makin banyak. Orang tua yang seharusnya menjadi tempat berlindung paling aman dan nyaman, justru terlibat dalam kejahatan seksual. Ada ibu mencabuli anaknya, ada bapak merudapaksa anak perempuannya, ada anak mencabuli ibunya, dan masih banyak kasus lainnya. 

Banyak Faktor maraknya perbuatan asusila/pelecehan seksual dengan pelaku dari keluarga atau kerabat sendiri tidak terlepas dari faktor yang mempengaruhinya. Ada beberapa faktor penyebab seorang ibu seperti R melakukan perbuatan asusila kepada anak kandungnya sendiri.

Pertama, faktor ekonomi. Kedua, faktor lingkungan dan sosial masyarakat. Tidak bisa kita pungkiri, sistem kehidupan sekuler telah mendegradasi keimanan individu secara drastis. Hari ini kehidupan masyarakat semakin jauh dari nilai-nilai Islam. Tontonan, tayangan, film, konten berbau seksual dan tidak senonoh, lebih banyak menghiasi layar HP dan media sosial. Jika hal ini terus dibiarkan, generasi kita akan terancam dan malapetaka rusaknya moral generasi tidak terelakkan. 

Ketiga, kesiapan fisik, psikis, dan ilmu sangat dibutuhkan dalam membina rumah tangga. Menikah bukan sekadar bicara cinta dan kesiapan lahiriah, tetapi yang lebih penting adalah kesiapan ilmu yang terbangun saat pernikahan itu terjadi.

Pertanyaannya, apakah dalam sistem sosial sekuler saat ini dapat membenahi pola pikir dan pola sikap individu yang minim edukasi, literasi, dan tsaqafah Islam seputar rumah tangga?

Menikah muda memang tidak salah. Yang salah adalah menikah muda tanpa kesiapan ilmu dalam rumah tangga. Alhasil, ilmu seputar pernikahan dan rumah tangga harus dimiliki sebagai bekal dalam membina rumah tangga sakinah, mawadah, dan penuh rahmat. 

Ibu R adalah contoh ibu muda yang minim edukasi dan ilmu dalam berumah tangga sehingga mengalami kebimbangan dalam memainkan perannya sebagai seorang istri dan ibu. Ibu R juga merupakan contoh kecil betapa seharusnya pendidikan pranikah harus dimiliki bagi calon ibu.

Merebaknya kasus asusila terhadap anak sejatinya karena tidak adanya perlindungan berlapis untuk anak. Hal ini disebabkan oleh tereduksinya pemahaman tentang kewajiban negara, masyarakat, dan keluarga, serta tidak diberlakukannya aturan baku di tengah-tengah masyarakat.

Inilah akibat kegagalan sistem menyolusi berbagai persoalan, karena kesalahan merumuskan akar masalah. Maraknya kasus asusila pada anak adalah buah penerapan sistem sekuler liberal. Keimanan terkikis, peran agama makin terpinggirkan, dan sanksi hukum yang tidak memberikan efek jera menjadikan kejahatan seksual makin beragam.

Akibat sekularisme, kaum muslim kehilangan gambaran nyata tentang kehidupan Islam yang sesungguhnya. Islam hanya terbatas pada ibadah ritual. Aturan Islam tergantikan dengan hukum sekuler buatan manusia. Aturan inilah yang mendominasi tata pergaulan sosial di masyarakat, padahal Islam sudah memiliki solusi tepat dalam mengatasi maraknya perbuatan asusila dan pelecehan seksual.

Islam memiliki sistem Pendidikan yang menyeluruh dalam menyiapkan manusia berperan sesuai dengan fitrahnya. Pendidikan dalam keluarga pun dilandaskan kepada ketakwaan. Islam juga memiliki sistem ekonomi yang baik termasuk kemampuan untuk memberikan jaminan kesejahteraan bagi para pencari nafkah.

Islam memiliki sejumlah perlindungan berlapis dalam mengatasi kejahatan seksual.

Pertama, lapisan prefentif, yaitu pencegahan. Islam mengatur secara terperinci batasan-batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan, yakni (1) mewajibkan perempuan menutup aurat dengan berhijab syar’i (2) kewajiban menundukkan pandangan bagi laki-laki dan perempuan; (3) larangan berkhalwat, tabaruj dan berzina; (4) memerintahkan perempuan didampingi mahram saat melakukan safar dalam rangka menjaga kehormatannya; dan (5) memerintahkan untuk memisahkan tempat tidur anak.

Kedua, lapisan kuratif, yaitu penanganan. Dalam hal ini, penegakan sistem sanksi Islam wajib terlaksana. Terdapat dua fungsi hukum Islam, yakni sebagai zawajir dan jawabir (penebus dosa) bagi pelaku tindak kejahatan. Ketika hukum Allah berjalan, tidak ada istilah tawar-menawar bagi manusia untuk menangguhkan hukuman tersebut. Hukum Islam sangat adil memberi ganjaran dan balasan pada pelaku maksiat.

Ketiga, lapisan edukatif, yaitu pendidikan dan pembinaan melalui sistem pendidikan dengan kurikulum berbasis akidah Islam. Individu dan masyarakat akan terbina dengan Islam. Syariat Islam sebagai standar perbuatan. Pendidikan Islam juga akan membentuk kepribadian Islam pada generasi. Alhasil, mereka menjadi generasi yang imannya kuat, pemikirannya matang, dan cakap akan ilmu dan amalnya. Laki-laki akan terdidik sebagai pemimpin masa depan dan calon kepala rumah tangga yang bertanggung jawab. Sementara itu, perempuan akan terdidik sebagai calon ibu yang memahami peran domestik dan publik.

Keempat, peran negara. Semua lapisan tersebut tidak akan bisa berjalan tanpa peran negara. Negaralah pihak yang paling bertanggung jawab melaksanakan dan mewujudkan perlindungan dan keamanan bagi rakyat. Sistem pendidikan dan tata pergaulan Islam tidak bisa terlaksana tanpa kehadiran negara sebagai pelaksana dan penerap syariat secara kafah.

Negara bisa melakukan kontrol terhadap media serta propaganda yang mengajak pada kemaksiatan. Sudah menjadi tugas negara untuk menjaga generasi agar berkepribadian Islam serta mencegah mereka melakukan kemaksiatan, baik dalam skala individu maupun komunitas.

Demikianlah, Islam memiliki paket lengkap dalam menyiapkan generasi cerdas, keluarga bertakwa, masyarakat terbina, dan negara yang meriayah. Semua ini hanya bisa terwujud dalam penerapan syariat Islam secara kafah dalam bingkai khilafah. 

Wallahu’alam bish-shawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak