Bangun Ibu Kota menambah kezaliman Kapitalisme pada Rakyat

 


Bangun Ibu Kota menambah kezaliman Kapitalisme pada Rakyat

Oleh Hartatik

Pemerhati Sosial


Saat menghadiri proses pembayaran santunan tahap ke-IV untuk sisi udara pembangunan Bandara VVIP di Kelurahan Gersik dan Pantai Lango, Kecamatan Penajam, Kabupaten PPU, Penjabat (Pj) Bupati Penajam Paser Utara (PPU), Makmur Marbun mengungkapkan bahwa warga sekitar bandara VVIP IKN jangan hanya jadi penonton (prokal.co, 17/05/2024)

Kekhawatiran lain yang disampaikan Pj Bupati PPU adalah pengelolaan santunan atau ganti rugi yang diberikan. Menurutnya, walaupun jumlah pembayaran pada tahap akhir ini besar, namun jika tidak dikelola dengan baik, uang ganti rugi tersebut dapat habis dengan cepat.  

Dengan pemindahan ibukota negara IKN maka akan ada dampak positif dan negatifnya. Untuk dampak positifnya bertujuan agar proses pembangunan agar dapat lebih merata di seluruh wilayah Indonesia yaitu meningkatnya perekonomian nasional. Sumberdaya potensial di luar Jawa ini masih banyak yang belum dimanfaatkan secara baik. Dengan dekatnya lokasi pemerintahan dan letak sumberdaya ini diharapkan bisa memaksimalkan pemanfaatannya untuk kesejahteraan masyarakat. Bisa meningkatkan perekonomian nasional perdagangan antar wilayah semakin tinggi, pemerataan pembangunan untuk wilayah luar Pulau Jawa dan mengurangi kepadatan penduduk di Jakarta.

Namun, yang juga perlu menjadi perhatian adalah dampak negative IKN. Pembangunan IKN memakan anggaran yang sangat banyak. Pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp 466 triliun untuk pemindahan ibukota. Membutuhkan lahan yang sangat luas, yaitu sekitar 300.000 hektar.  Dari laporan Bapenas diketahui bahwa kondisi hutan di kawasan IKN juga tidak  berada dalam kondisi baik. Dari 256 ribu hektare kawasan hanya 43 persen saja yang berhutan. Artinya, terjadi deforetasi yang cukup besar yakni pada 57% kawasan. Pemerintah mengusung konsep IKN kota maju, pintar, hijau, forest city dimana 75% IKN merupakan kawasan hijau. Namun, menjadi pertanyaan kritis karena status 256 ribu hektare itu hutan, jika 75% kawasan hijau berarti melakukan deforestasi sebesar 30% untuk pembangunan infrastruktur dan sebagainya. 

Belum lagi Masyarakat sekitar IKN hanya  menjadi penonton dan menjadi buruh kasar di IKN. Kemiskinan ekstrim akan meningkat khususnya warga lokal. Tata kelola ibu kota yang tidak memperhatikan rakyat, akibat kezaliman kapitalisme rakyat menjadi korban.

Pembangunan IKN terkesan dipaksakan berbagai regulasi dimudahkan demi menarik minat investor tanpa peduli dampak negatif berupa kapitalis swasta dan asing yang makin berkuasa. Bahaya yang nyata yang wajib dihindari yaitu IKN disandera kepentingan oligarki. Bayangkan jika pembangunan dan pengelolaan infrastruktur penunjang, seperti bidang properti, perumahan, teknologi, industri hijau, ekonomi hijau, instalasi listrik, air, dan sebagainya, diserahkan kepada swasta/asing, berapa banyak keuntungan yang akan mereka dapatkan? Kongkalikong penguasa dan pengusaha sudah biasa terjadi di sistem kapitalisme liberal.

Di masa peradaban Islam, setidaknya ibu kota negara Khilafah mengalami perpindahan sebanyak empat kali. Yang pertama dari Madinah ke Damaskus. Kedua, dari Damaskus ke Baghdad. Ketiga, pasca hancurnya Baghdad akibat serangan tentara Mongol, ibu kota Khilafah berpindah ke Kairo. Terakhir, dari Kairo ke Istanbul. Model ideal yang seharusnya menjadi contoh pembangunan kota baru untuk menjadi IKN adalah pembangunan Kota Baghdad yang menjadi ibu kota Khilafah Abbasiyah. Kota yang dibangun oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur ini memenuhi semua aspek kelayakan kota, mulai dari perencanaan, pertimbangan politik, pertahanan keamanan, arsitek dan tata kota, kemaslahatan rakyat, ekonomi, bahkan pendanaan pembangunannya. Hasilnya, Baghdad menjadi kota dengan desain terbaik di masanya. 

Setiap bagian kota yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. 

Sebagian besar warga tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.

Negara dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara sehingga selalu tersedia dengan cukup tanah-tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum. Namun, perencanaan kota juga memperhatikan aspek pertahanan terhadap ancaman serangan. 

Begitulah prinsip pemindahan dan pembangunan kota di sistem Khilafah. Segala aspek akan dipertimbangkan demi mencapai kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Bukan sekadar mengejar ambisi dan prestise di mata dunia. Wallahualam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak