Dibalik Sampah Makanan Ada Penderitaan Berkelanjutan
Di Balik Sampah Makanan Ada Penderitaan Berkelanjutan
Oleh. Susi Ummu Musa
Sebagai makhluk hidup yang diciptakan Allah Swt kita sebagai manusia memiliki dua hal yang secara alami merupakan fitrah yaitu Naluri (gorijah) dan kebutuhan jasmani,
Dari kedua inilah maka kemudian akan berkembang dan bercabang cabang untuk kita jalani sebagaimana kehidupan normal seperti saat ini.
Namun yang ingin saya ulas terkait yang kedua yaitu kebutuhan jasmani, ada apa saja dalam memenuhi kebutuhan jasmani ini?
Yang sifat pemenuhannya harus dan jika tidak akan mengalami kerusakan bahkan kematian, misalnya Makan, minum, tidur, dll. Nah, dari contoh ini ada hal yang sangat pasti yaitu makan.
Sebab jika manusia tidak makan maka akan mengalami kelemahan bahkan bisa mati.
Namun saat ini dalam kebutuhan makan ternyata ada sesuatu hal penting yang harus diketahui dan harus ada tindakan, ya! Sampah makanan
Menurut tirto.id - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mencatat potensi kerugian negara akibat susut dan sisa makanan (food loss and waste) mencapai Rp213 triliun-Rp551 triliun per tahun. Angka ini setara dengan 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Selain itu, total emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari timbulan sampah sisa makanan mencapai 1.072,9 metrik ton (MT) CO2 -ek.
Atau 7,3 persen emisi gas rumah kaca Indonesia tahun 2019," kata Menteri PPN/Bappenas, Suharso Monoarfa, dalam Green Economy Expo, di Jakarta, Rabu (3/7/2024).
Ternyata dari hal kebutuhan makanan yang kita konsumsi dengan tidak bijak akan mengalami dampak seperti efek rumah kaca dan kemubadjiran,
Sedangkan Pada tahun 2020, Indonesia sudah memasuki sinyal darurat sampah makanan. Bahkan pada tahun 2019, telah ditunjukkan bahwa Indonesia merupakan penghasil sampah makanan terbesar nomor 2 di dunia setelah Saudi Arabia. Pada tahun 2021, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional mencatat sampah sisa makanan Indonesia mencapai 46,35 juta ton dalam skala nasional. Jumlah ini menduduki komposisi terbesar dari total sampah yang dihasilkan bahkan melebihi sampah plastic yaitu 26,27 ton. Ironinya, masalah sampah tidak hanya menjadi isu lingkungan, namun juga menjadi isu ekonomi dan sosial.
Dari segi ekonomi, sampah makanan tersebut setara dengan kerugian Rp 213 – Rp 551 triliur per tahun. Dari segi sosial, kita menemukan banyak masalah stunting pada balita yang mencapai lebih dari 8 juta anak. Emisi GRK yang dihasilkan oleh Indonesia selama 20 tahun terakhir mencapai 1.702,9 Megaton CO2 ekuivalen atau setara dengan 7,29% rata-rata emisi GRK per tahun. Rata-rata emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari 1 ton food waste besarnya 4,3 kali lipat dari left over. Lebih persisinya, dari kelima tahapan rantai pasok pangan, penyumbang terbanyak emisi gas berasal dari tahap konsumsi.
Dari permasalahan ini ada hal yang membuat miris lagi yaitu Sampah makanan berupa bahan pokok beras dan jagung atau seperti susu formula yang dibuang karena tak layak konsumsi, coba kita bayangkan berapa juta orang yang saat ini sedang dalam penderitaan.
Mereka sulit untuk sekedar mendapatkan sesuap nasi atau bahkan anak anak yang terkena stunting atau kurang gizi.
Namun pemandangan lain kita temukan ada jutaan ton sampah makanan yang dibuang, lalu bagaimana upaya selanjutnya akan hal ini?
Jelas ini adalah kapitalisasi kehidupan mereka lebih rela melihat makanan dibuang daripada diberikan kepada masyarakat miskin.
Tak hanya itu kapitalis sekulerisme ini juga melahirkan manusia yang tidak berempati atau menghargai makanan, dari restoran restoran mereka akan membuang sisa makanan ataupun secara individu mereka kerap kali membuang makanan.
Padahal Allah telah melarang sikap berlebihan lebihan atau kemubadjiran.
Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS Al-Isra [17]: 26—27).
Tak hanya secara individu tapi dalam hal ini negara telah melakukan tindakan serupa negara yang menerapkan sistem kapitalis sekuler hanya memikirkan bagaimana terus memproduksi namun tidak berfikir untuk pendistribusiannya hasilnya Indonesia juara nomor 2 dalam hal membuang makanan.
Dan ini akan terus berkelanjutan jika tidak segera dihentikan.
Sudah selayaknya negara harus segera berbenah agar sampah makanan yang semakin bertambah ini segera berakhir dan menyudahi penderitaan rakyat miskin akibat kelaparan.
Satu satunya jalan agar keluar dari masalah ini adalah penerapan islam kaffah dalam institusi khilafah islamiah.
Dengan adanya negar islam ini maka segala pengaturan sistem akan sesuai dengan hukum Allah swt bukan hukum manusia.
Khilafah akan mengawasi industri makanan agar tidak terjadi praktik membuang buang makanan dan akan diproduksi secukupnya sesuai kebutuhan pasar yang diprediksi secara cermat dan akan ada sanski tegas bagi yang menyalahi aturan negara.
Khilafah akan menyalurkan bantuan makanan jika menemukan rakyatnya yang membutuhkan hingga tidak ada lagi rakyat yang menderita kelaparan dan dipastikan rakyat makan dengan makanan yang layak.
Dengan konsep baitul mal maka negara akan Sangat mudah melakukan pengelolaan negara untuk menyalurkannya kepada rakyat.
Tak hanya itu negara juga akan memberikan pengetahuan dan ilmu kepada rakyat agar berakhlak baik dengan tidak membuang buang makanan dan bersikap sederhana dengan gaya hidup sesuai porsinya.
Semua akan terwujud secara sistematis dalam bingkai khilafah islamiah.
Wallahu a lam bissawab
Komentar
Posting Komentar