IRONI SAMPAH MAKANAN, DI TENGAH KEMISKINAN DAN KELAPARAN.!!
Oleh : Mial, A.Md.T (Aktivis Dakwah)
Orang Indonesia ternyata “juara” membuang makanan. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengungkapkan bahwa jumlah makanan yang terbuang di Indonesia sangat besar, bahkan terbesar se-ASEAN. Adapun provinsi yang penduduknya paling banyak membuang makanan adalah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. (tirto. 3/07/2024-22:22 WIB).
Perihal ini, dokumen Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045 menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat fenomena susut dan sisa pangan (food loss and waste) ini amat besar, yakni mencapai Rp551 triliun setiap tahun. Ini setara dengan 4-5% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. (tirto, 3/07/2024).
Makanan yang terbuang tersebut bahkan cukup untuk memberi makan 62% warga miskin di Indonesia yang mencapai 25,22 juta jiwa atau 9,03% dari seluruh penduduk. Jika masalah sisa makanan ini diselesaikan, akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 1.702,9 metrik ton CO2 atau setara dengan 7,3% emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2019. (Suara, Rabu/03/07/2024)
Jenis makanan yang paling banyak dibuang adalah beras/jagung. Penyusutan dan sisa beras/jagung yang terbuang mencapai 3,5 juta ton. Jika dibiarkan, beras/jagung yang terbuang pada 2045 bisa mencapai 5,6 juta ton.
Akibat Penerapan Kapitalisme
Upaya mengatasi sampah makanan tidak cukup dengan penyelesaian pada aspek hilir seperti memanfaatkan sisa makanan yang masih layak dikonsumsi. Namun, juga harus memperhatikan aspek hulu, yaitu penyebab banyaknya sampah makanan.
Tidak hanya itu, membludaknya sampah makanan ini tidak lepas dari sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia. Kapitalisme meniscayakan perusahaan produsen pangan melakukan produksi besar-besaran demi target perolehan profit yang besar varian produk baru juga terus dilakukan, nyatanya tidak semua produk yang diproduksi itu mampu terserap oleh pasar.
Seiring berjalannya waktu, produk yang tidak laku terjual akan kadaluwarsa dan ditarik dari peredaran. Produk makanan kadaluwarsa umumnya dimusnahkan alias dibuang. Ini sungguh suatu pemandangan yang menyedihkan, ketika di suatu tempat terjadi pemusnahan susu bayi kadaluwarsa, di tempat lain banyak anak Indonesia mengalami stunting karena kekurangan gizi.
Tidak hanya makanan kadaluwarsa yang dibuang, makanan sisa yang sejatinya masih layak makan juga dibuang karena tidak laku selama proses penjualan.
Buruknya Distribusi Pangan
Lebih miris lagi, mayoritas makanan yang terbuang adalah beras dan jagung, padahal keduanya bahan pangan pokok. Kita tahu pemerintah kerap melakukan impor beras bersamaan dengan momen panen raya di dalam negeri hingga akhirnya stok beras menumpuk di gudang dan beras menjadi berkutu dan mengalami susut.
Di satu sisi, banyak penduduk miskin dan miskin ekstrem yang tidak bisa makan nasi/jagung. Ini sungguh nyata mencerminkan buruknya distribusi pangan yang menjadi penyebab banyaknya sampah makanan.
Bagaimanapun, ini adalah konsekuensi dari penerapan kapitalisme. Kapitalisme memang hanya mementingkan produksi dan abai pada distribusi. Akibatnya, bahan dan produk pangan banyak diproduksi, tetapi distribusinya tidak merata sehingga masalah kemiskinan dan kemiskinan ekstrem tidak kunjung selesai.
Butuh Perubahan Sistemis
Faktor gaya hidup juga punya andil menghasilkan sampah makanan. Pemahaman sekularisme yang merupakan asas kapitalisme, diadopsi oleh masyarakat. Sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan, telah memunculkan perilaku masyarakat yang tidak bertanggung jawab terhadap makanan.
Terkait hal ini, pemerintah nyatanya juga abai mendidik rakyatnya agar menghargai makanan dan tidak menyia-nyiakannya. Sistem pendidikan hanya sibuk dengan hal-hal yang bersifat akademis hingga lalai membentuk manusia berkepribadian Islam yang salah satu wujudnya adalah menghargai makanan sebagai rezeki dari Allah Taala.
Khilafah Menyolusi Sampah Makanan
Islam memosisikan makanan sebagai rezeki dari Allah Swt. bagi manusia. Berkat adanya makanan, manusia bisa hidup dan beraktivitas dengan baik. Oleh karenanya, Allah Swt. memerintahkan kita untuk menghargai makanan dan tidak mencelanya.
Dari Abu Hurairah ra., “Nabi saw. tidak pernah mencela makanan sekalipun. Apabila beliau suka, beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun tidak memakannya.” (HR Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064).
Islam mengajarkan pada umatnya untuk bersikap zuhud yang salah satu wujudnya adalah tidak berlebih-lebihan dalam hal makanan. Allah Swt. berfirman, “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-A’raf [7]: 31).
Islam juga mengajarkan untuk tidak bersikap mubazir terhadap makanan. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS Al-Isra [17]: 26—27).
Semua syariat terkait makanan tersebut tertuang dalam penerapan syariat Islam secara kafah melalui tegaknya Khilafah. Khilafah akan menanamkan kepribadian Islam melalui kurikulum pendidikan sehingga zuhud menjadi gaya hidup masyarakat. Masyarakat juga akan terpola untuk makan secukupnya, tidak berlebih-lebihan.
Khilafah berperan penting untuk membentuk kebiasaan tersebut di masyarakat agar mereka tidak menyia-nyiakan makanan.
Khilafah juga akan mengawasi industri agar tidak ada praktik membuang-buang makanan. Di dalam Khilafah, makanan diproduksi secukupnya, sesuai dengan kebutuhan pasar yang dihitung secara cermat. Jika ada industri atau pelaku usaha yang terbukti membuang-buang makanan, Khilafah akan memberikan sanksi tegas.
Selanjutnya, Khilafah akan segera mendistribusikan bahan makanan pada warga yang membutuhkan hingga tidak ada lagi rakyat yang miskin dan tidak bisa makan. Pada saat yang sama, Khilafah menyediakan dana yang besar dari baitulmal, untuk memastikan tiap-tiap rakyat bisa makan secara layak.
Tidak lupa, Khilafah akan memfasilitasi warga yang memiliki kelebihan makanan untuk menyedekahkannya pada orang-orang yang membutuhkan. Praktik ini pernah terjadi pada masa Khilafah Utsmaniyah. Saat itu, khalifah memberikan teladan pada rakyatnya dengan tidak berlebih-lebihan dalam jamuan kenegaraan. Jauh pada masa sebelumnya, hal semacam ini juga pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ketika beliau menolak makan daging karena rakyatnya sedang mengalami krisis pangan. Dengan semua mekanisme syar’i ini persoalan susut dan sisa makanan akan terselesaikan secara tuntas, Insyaallah.
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar