Judi Online Merajalela, Butuh Solusi Sistemik
Oleh: Wiwik Afrah, S.Pd (Aktivis Muslimah)
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa lebih dari 1.000 orang anggota legislatif setingkat DPR dan DPRD bermain judi online (judol). Hal ini diungkapkan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dalam rapat dengan DPR RI "Apakah ada legislatif pusat dan daerah (bermain judol)? Iya, kita menemukan lebih dari 1000 orang," kata ketua PPATK dalam rapat di kompleks parlemen, Jakarta. PPATK mencatat ada sekitar 63 ribu transaksi dengan pemain mencapai 1.000 orang. Pemain itu berada di lingkungan legislatif mulai anggota DPR, DPRD, hingga kesekjenan. Ia pun mengatakan angka transaksi pun mencapai miliaran. (Pikiran Rakyat/26/06/2024)
Ketagihan, kalah bikin penasaran. Judi sungguh telah meracuni kehidupan masyarakat. Ingin kaya secara instan, main judi menjadi jalan. Ingin punya uang tanpa usaha maksimal, judi menjadi pakar Masalah. Besarnya animo masyarakat untuk bermain judol jelas sangat memprihatinkan. Sejak dahulu, perbuatan judi memang menghancurkan segalanya. Yang beriman menjadi kalap, yang menang bisa menjadi jahat. Yang kalah bisa gelap mata, yang kaya bisa melarat, apalagi yang miskin. Yang senang bisa sengsara, apalagi yang susah.
Ditambah, kompleksitas masalah tersebab sistem kapitalisme makin tidak manusiawi. Siapa pun bisa terjebak judi jika menyangkut masalah ekonomi. Kebutuhan makin banyak, harga-harga melambung tinggi, sedangkan pendapatan tidak beranjak naik.
Pada akhirnya, masyarakat yang kalut dan buntu menemukan solusi, lebih memilih mengambil jalan pintas, yakni melakukan pinjaman atau judi secara online. Ini mengindikasikan bahwa kemiskinan bisa memicu seseorang berbuat haram yang berpotensi bertindak kriminal. Pembentukan satgas pemberantasan judol menunjukkan kesadaran pemerintah terkait kerusakannya.
Sayangnya, upaya ini tidak diimbangi dengan mencermati akar masalah yang terjadi. Terbaru, Menko PMK mengusulkan agar korban judol masuk ke dalam penerima bansos. Publik pun mencecar usulan tersebut. Bagaimana mau memberantas judi jika pelakunya dianggap korban? Sedangkan judi adalah tindakan seseorang dengan penuh kesadaran memilih melakukannya atau tidak.
Setelah memicu polemik, Menko PMK memberi penjelasan bahwa yang dimaksud korban judol bukanlah pelaku, tetapi keluarga pelaku yang terdampak atau jatuh miskin akibat perbuatannya. Inilah salah satu kelemahan negara melihat akar masalah. Menjamurnya judol tidak terlepas dari banyaknya permintaan judi. Dalam waktu singkat, judol telah menjadi mesin uang yang menggiurkan bagi masyarakat. Berdasarkan data Pusat pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sepanjang 2022-2023 perputaran uang judi daring di Indonesia mencapai Rp 517 triliun.
Mengapa banyak permintaan? Ini karena masyarakat menganggap bermain judi ibarat solusi menyelesaikan masalah. Apa masalah yang dimaksud? Kebanyakan, mereka yang terjebak judi karena kebutuhan finansial. Entah terdesak dalam memenuhi kebutuhan pokok atau kesenangan dalam mengumpulkan pundi-pundi uang dengan cara instan. Bahkan, tidak jarang mereka bermain judi lantaran ingin memenuhi gaya hidup hedonistik yang melekat dalam sistem kapitalisme.
Oleh karenanya, memberantas judi tidak cukup dengan pemblokiran situs, pembekuan rekening, edukasi yang sifatnya parsial, atau penindakan yang belum memberi efek jera bagi pelaku. Ini harus dilakukan secara komprehensif dengan mengubah paradigma masyarakat dan pemangku kebijakan.
Jika menggunakan paradigma kapitalisme, judi adalah perbuatan individu atas kehendaknya sendiri. Memang benar demikian. Akan tetapi, pernahkah kita menelisik lebih dalam mengapa masyarakat kerap bermain judi? Tentu ada faktor yang melatarbelakangi. Bisa karena tuntutan ekonomi, lingkungan yang memengaruhi, dan sanksi yang belum memberi efek jera. Semua ini menjadi tanggung jawab negara untuk menuntaskannya.
Fungsi negara tidak hanya melayani dan mengurusi berbagai urusan rakyat, tetapi juga melindungi serta mencegah warga negaranya dari perbuatan maksiat. Islam telah menerangkan bahwa apa pun bentuknya, perjudian adalah haram. Dengan paradigma ini, negara dalam sistem Islam tidak akan menoleransi segala kegiatan yang berbau judi. Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (TQS Al-Maidah: 90).
Khilafah akan menerapkan kebijakan secara preventif dan kuratif dalam mengatasi perjudian. Mekanismenya sebagai berikut.
Pertama, melakukan pembinaan dan penanaman akidah Islam kepada seluruh elemen masyarakat melalui sistem pendidikan Islam. Negara menyebarluaskan pemahaman keharaman judi beserta kerugiannya secara masif melalui dakwah dengan memanfaatkan media massa dan media sosial agar masyarakat meninggalkan aktivitas judi.
Kedua, memberdayakan pakar informasi dan teknologi untuk memutus seluruh jaringan judol agar tidak mudah masuk ke wilayah Khilafah. Negara memberi gaji yang sepadan agar mereka bekerja secara optimal.
Ketiga, bisa mengaktivasi polisi digital yang bertugas mengawasi kegiatan dan lalu lintas masyarakat di dunia siber sehingga dapat mencegah masyarakat mengakses situs judi.
Keempat, menindak tegas para bandar serta pelaku judi dengan hukuman yang berefek jera. Sanksi yang diberikan berupa sanksi takzir, sesuai kebijakan kadi dalam memutuskan perkara tersebut menurut kadar kejahatannya.
Kelima, menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat agar terwujud kesejahteraan. Negara membuka seluas-luasnya lapangan kerja serta memberi bantuan modal kerja bagi pencari nafkah. Bisa berupa pemberian modal usaha atau tanah mati untuk dikelola masyarakat sebagai sumber mata pencaharian. Dengan begitu, masyarakat akan tersibukkan mencari harta halal ketimbang memilih jalan instan yang diharamkan.
Demikianlah, Islam mampu menuntaskan segala keharaman (termasuk judi) dengan penegakan seluruh syariat Islam dalam sendi kehidupan. Tanpa aturan Islam secara kafah, perbuatan haram, seperti judi, miras, riba, narkoba, dan sebagainya, akan terus bermunculan. Ini karena negara yang berpegang pada prinsip kapitalisme demokrasi tidak menjadikan halal haram sebagai tolok ukur dalam memandang masalah.
Tolok ukur perbuatan baik atau buruk haruslah memakai paradigma Islam, bukan penilaian manusia. Dalam hal ini, judi termasuk perbuatan haram dan kejahatan yang akan diberi sanksi sesuai pandangan syariat Islam.
Wallahu'alam bishowab.
Komentar
Posting Komentar