MUSLIM BERMENTAL TEGAS, TOLAK PLURALISME

 

Oleh: Inge Oktavia Nordiani


Fenomena praktik salam lintas agama, doa bersama lintas agama telah menjadi pemandangan yang menjamur ibarat bunga di musim semi. Tidak peduli hukum halal dan haramnya yang terpenting adalah konsep hidup damai dan harmonis. Fenomena di atas merupakan variasi dari pembahasan panjang terdahulu terkait dengan bentuk-bentuk toleransi yang menuai pro dan kontra. Yaitu, ucapan selamat kepada hari besar agama lain. Ya, beberapa kalangan mendefinisikan hal tersebut adalah bagian dari toleransi.


Dalam Islam sungguh telah jelas memposisikan antara masyarakat yang plural (majemuk) dengan pluralisme. Mengenai masyarakat yang plural sudah tentu akan kita temui di manapun. Kita berbeda agama, suku, warna kulit dan lain-lain. Dibutuhkan sebuah pengaturan untuk dapatnya hidup secara harmonis. Sementara sebagai seorang muslim, tentunya kita tidak boleh terjebak dengan paham pluralisme. Salah satunya menggambarkan bahwa semua agama adalah benar, sehingga menuai sikap bahwa tidak boleh ada monopoli atas klaim kebenaran. Artinya, kebenaran menjadi relatif. Ini adalah bagian dari perang pemikiran yang terus bergulir. 


Seorang muslim tentu harus tetap teguh dengan prinsip aqidah Islam. Sebagaimana dalam Qur'an Surat Ali Imran ayat 19:


اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ

Artinya: "Sungguh agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam " 


Begitupula dalam Qur'an Surat Ali Imran ayat 85:


وَمَنۡ يَّبۡتَغِ غَيۡرَ الۡاِسۡلَامِ دِيۡنًا فَلَنۡ يُّقۡبَلَ مِنۡهُ‌ ۚ وَهُوَ فِى الۡاٰخِرَةِ مِنَ الۡخٰسِرِيۡنَ

Artinya: "Siapa saja yang mencari agama selain Islam sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari dirinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi)."

 

Dalil ini bukan lantas menunjukkan secara semena-mena menjadikan pribadi muslim mudah menghina bahkan mencaci-maki agama lain. Tentu saja tidak, melainkan ada ranah dakwah Amar ma'ruf nahi mungkar yang harus ditegakkan di sana. Sehingga hadits Nabi terkait dengan Islam merupakan rahmatan lil 'alamiin benar-benar bisa sampai kepada manusia secara umum dengan tidak ada paksaan. Hal ini akan terjadi bila dakwah islam tidak hanya dilakukan oleh kalangan individu saja. Dibutuhkan ranah masyarakat dan juga negara dalam mengemban dakwah Islam.


Negara yang bertanggung jawab untuk mendefinisikan makna dari toleransi yang sebenarnya. Sesungguhnya toleransi telah gamblang dicontohkan oleh Baginda Nabi, dalam QS al-Kaafirun ayat 6:


لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ

Artinya: "untukmu agamamu dan untukku agamaku."


Ayat di atas menunjukkan bahwa untuk masalah ibadah tidak boleh dicampuradukkan. Apabila ada upaya memaksakan harus mengucapkan sesuatu yang berhubungan dengan ibadah agama lain, maka hal tersebut termasuk kebablasan dalam bertoleransi.


Sejarah telah mencatat bukti ketinggian toleransi dalam Islam. Tidak diragukan lagi. Bahkan oleh intelektual Baratpun diakui. TW Arnold, seorang orientalis dan sejarahwan Kristen memuji toleransi beragama dalam negara Khilafah. Dalam bukunya "The Preaching of Islam: A History of Propagation of The Muslim Faith" (halm.134), dia antara lain berkata, "Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khalifah Turki Usmani --selama kurang lebih 2 abad setelah penaklukan Yunani-- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa."


Dari masa ke masapun dalam masa kejayaan Islam selalu tampak keluhuran toleransi yang dibangun. Jauh sebelum PBB merumuskan Declaration of Human Rights (deklarasi HAM), Islam telah mengajarkan jaminan kebebasan beragama melalui Watsiqah Madinah (Piagam Madinah) pada 622 M. Rasulullah saw telah meletakkan dasar-dasar bagi keragaman kehidupan antarumat beragama, mengakui eksistensi nonmuslim sekaligus menghormati peribadatan mereka.


Pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab ra sampai ke wilayah Kisra Persia, di Ctesiphon pasca perang Khadisiah, Khalifah Umar ra memperlakukan orang-orang majusi dengan baik termasuk memuliakan putri-putri Kisra Persia dengan menikahkan mereka dengan para putra terbaik dari kalangan para sahabat Nabi.


Pada masa pemerintahan Khalifah Umayah yang berkedudukan di Damaskus, Suriah, toleransi kepada pemeluk nonmuslim tetap berlangsung harmonis. Tercatat dalam sejarah bahwa pasca perang Qurbush Pada 655 M, kaum muslim memasuki kepulauan Cyprus dan memperlakukan penduduknya dengan baik. Saat mereka memasuki kepulauan Sardinia dan Sicilia di Italia Selatan, pasukan Islam juga tidak memaksa penduduknya menjadi muslim.


Hal ini jauh berbeda dengan bagaimana perlakuan orang-orang nonmuslim ketika memimpin. Tidakkah kita telah menyaksikan dalam catatan sejarah bagaimana ketika Andalusia dikalahkan oleh kepemimpinan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Seluruh umat baik Muslim maupun Yahudi di Andalusia (kini Spanyol) kemudian hanya diberi dua pilihan, memeluk Kristen atau pergi dari wilayah itu. Tidak hanya itu. Bagi yang terbukti kembali pada agamanya, maka akan berhadapan dengan Mahkamah Inkuisisi.


Berdasarkan semua hal di atas maka sudah saatnya setiap muslim memiliki mental dan sikap yang tegas di dalam memposisikan makna dari toleransi. Cukuplah Rasulullah saw dan kepemimpinan sesudahnya menjadi keteladanan yang nyata. Sungguh hanya dengan mengikuti Syariat Sang Pencipta yang akan memberikan wujud toleransi yang hakiki. Wallahua'lam bissshawab.[]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak