Pupuk Langka, Bukti Bobroknya Sistem Ekonomi Kapitalisme

 



Oleh. Asma dzathin nithaqoin

Pupuk merupakan kebutuhan pokok bagi petani untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Petani sangat mengharapkan mudah dalam mengakses pupuk. Namun harapan tinggallah harapan. Sebab mengakses pupuk sangat sulit bahkan cenderung mahal. Bahkan tidak sedikit pula petani membutuhkan waktu yang berbulan-bulan untuk bisa mendapatkan pupuk. Ada yang harus menempuh jarak yang jauh untuk mendapatkannya seperti yang dialami oleh petani di Manggarai.

Dilansir dari media beritasatu.com (23/06/24) Petani di Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT)  harus menempuh jarak sekitar 80 kilometer (km) untuk mendapatkan pupuk bersubsidi. Hal itu terungkap dalam temuan tim Satgassus Pencegahan Korupsi Polri saat memantau penyaluran pupuk subsidi di NTT pada 18-22 Juni 2024.

Di sisi lain, pemerintah tercatat memiliki utang subsidi pupuk kepada PT Pupuk Indonesia (Persero) sebesar Rp12,5 triliun. Direktur Utama Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi menyebut, utang tersebut terdiri atas tagihan berjalan April 2024 sekitar Rp 2 triliun dan sisanya merupakan tagihan subsidi pupuk pada 2020, 2022, dan 2023 yang belum dibayarkan pemerintah. (ekonomi.bisnis.com 20/06/24)

Ketika mengakses pupuk, petani harus bekerja keras untuk mendapatkannya. Sebab pupuk yang disediakan oleh pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan petani di lapangan. Ketersediaan pupuk yang tidak mencukupi membuat petani terpaksa membeli pupuk yang dijual oleh para agen-agen yang harganya sangat tinggi. Hal ini tentu menambah beban bagi petani.

Banyaknya persoalan dalam mengakses pupuk subsidi bagi petani adalah buah dari kapitalisasi pupuk dan lepas tangannya negara dalam memenuhi kebutuhan pupuk bagi petani. Pemerintah seharusnya mensurvei kebutuhan pupuk bagi petani, baru kemudian mendistribusikan sesuai yang dibutuhkan di lapangan. Pemerintah juga seharusnya yang menjadi distributor pupuk, bukan malah menyerahkan kepada perusahaan, sehingga membuka peluang terjadinya kecurangan yang akibatnya petani pun terzolimi.

Negara dalam sistem kapitalisme hanya sebagai regulator dan fasilitator. Buktinya, negara terjerat hutang pupuk kepada PT Pupuk Indonesia. Inilah realita yang ada, negara memiliki hutang pada perusahaan yang sejatinya adalah BUMN sendiri. Semua itu menjadikan akses pupuk makin sulit dan semakin jauh dari cita-cita terwujudnya kedaulatan pangan serta  ketahanan pangan.

Disinilah bukti bobroknya sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi yang diharapkan mampu memberikan kesejahteraan, malah membawa kesengsaraan. Rakyat menjadi pihak yang terzolimi oleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan.

Berbeda dengan sistem Islam. Islam menjadikan pertanian sebagai bidang strategis. Oleh karena itu, negara akan mendukung penuh para petani, termasuk dalam  mengakses sarana produksi pertanian dengan mudah. Di sisi lain, negara juga memiliki mekanisme dalam memberikan bantuan pada petani.

Negara akan menyiapkan lahan dan modal yang mencukupi untuk dikelola oleh petani jika dia tidak memiliki modal. Negara juga akan berusaha mensejahterakan rakyatnya dengan menjadi distributor bahan pangan yang dibutuhkan oleh rakyatnya. Sehingga terwujudnya kedaulatan pangan dan ketahanan pangan.

Kesuksesan negara Islam dalam pengembangan pertanian bisa dilihat dari sejarah kejayaan Islam pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab, dimana pada saat itu ada tiga fokus utama umar bin Khattab dalam kebijakan sektor pertanian. Yang pertama mendorong peningkatan produktivitas lahan pertanian. Kedua ialah menjamin pembangunan infrastruktur pertanian seperti pembentukan irigasi, serta akses transportasi di wilayah produksi pertaniannya. Ketiga, dalam sektor pertanian adalah mengolah lahan-lahan mati serta memberikan insentif pemodalan.
Inilah contoh nyata bagaimana semestinya pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya. Bahkan Negara Islam akan memberikan modal secara gratis.

Wallahu'alam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak