JAMINAN MAKANAN HALAL & THAYYIB BAGI RAKYAT, APAKAH MUNGKIN??


Oleh >> Mial, A.Md.T (Aktivis Muslimah)

Media sosial tengah dihebohkan dengan puluhan anak-anak yang menjalani cuci darah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pihak rumah sakit pun angkat bicara. Konsultan nefrologi anak dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr. Eka Laksmi Hidayati, Sp.A.(K) mengatakan, meski ada anak-anak yang melakukan hemodialisis, kasus gagal ginjal pada anak di RSCM tidak mengalami lonjakan. Ia menjelaskan, pasien gagal ginjal di RSCM tidak hanya berasal dari Jakarta, tetapi juga luar Jawa sehingga terkesan banyak dan seolah mengalami peningkatan. (Jakarta, CNN Indonesia; 26/07/2024).

Saat ini terdapat sekitar 60 anak yang menjalani terapi pengganti ginjal di RSCM. Sebanyak 30 di antaranya menjalani hemodialisis rutin, sedangkan lainnya datang sebulan sekali. Terlepas dari adanya lonjakan kasus atau tidak, gagal ginjal pada anak memang mengancam. Terlebih, pola dan gaya hidup konsumtif terhadap makanan dan minuman tinggi gula kerap terjadi pada anak-anak dan generasi muda. Ini tentu mengkhawatirkan. (DetikHealth; 27/07/2024)

Berawal dari Gaya Hidup

Meski belum ada lonjakan kasus gagal ginjal pada anak, fenomena yang sudah telanjur viral ini perlu mendapat perhatian lebih. Saat ini gaya hidup serba instan sangat memengaruhi pola makan kita sehari-hari. Kita disuguhi aneka makanan dan minuman kemasan tinggi gula. Makanan dan minuman manis memang sangat digandrungi anak-anak.

Tidak bisa dipungkiri, menjamurnya berbagai produk makanan olahan cepat saji telah menjadi solusi praktis bagi para orang tua yang sibuk bekerja. Fast food, junk food, dan sejenisnya seakan menjadi “penolong” bagi mereka yang ingin menyiapkan makanan untuk anak tanpa menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Jadilah makanan cepat saji menjadi menu andalan keluarga.

Saat ini, kebiasaan mengonsumsi makanan olahan cepat saji lumrah di kalangan masyarakat. Meski produk makanan kemasan banyak mengandung pengawet dan bahan kimia yang membahayakan kesehatan, masyarakat tetap saja memburunya. Dokter Eka Laksmi Hidayati, Sp.A.(K) menuturkan bahwa pola hidup tidak sehat mendominasi penyebab gagal ginjal. Salah satunya adalah kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman tinggi gula.

Di sisi lain, faktor kemiskinan juga memiliki pengaruh dalam kesehatan masyarakat. Masyarakat yang hidupnya pas-pasan cenderung memilih makanan murah meriah asal mengenyangkan. 

Kebanyakan anak-anak dan generasi muda cenderung menyukai makanan cepat saji, semisal piza, burger, kentang goreng, sosis, dan sejenisnya, meski memiliki sedikit nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh.

Selama produk makanan dan minuman digemari masyarakat, mereka hanya perlu memproduksi sebanyak-banyaknya, meskipun mengabaikan aspek kesehatan dan keamanan masyarakat.

Benarkah Pemerintah Kurang Serius?

Meski ada regulasi dari pemerintah yang mengatur tentang kecukupan gizi, itu tidak berdampak signifikan pada pengurangan penyakit yang dialami generasi muda. Artinya, perlu ada evaluasi terkait kadar gula dalam makanan dan minuman yang diproduksi pelaku industri. Meskipun mengonsumsi pangan tinggi gula tidak serta-merta memicu kasus gagal ginjal, potensi gangguan pada ginjal pasti ada. Gangguan tersebut terjadi karena asupan gula yang terlalu banyak sehingga ginjal sulit untuk mencernanya. 

Negara harus serius dalam menangani masalah ini. Jangan sampai ketakseriusan pemerintah mengakibatkan penurunan kualitas generasi muda karena minimnya atensi negara dalam memastikan asupan makanan sehat. Bagaimana mau menjadi negara hebat jika generasi muda kita dihantui beragam penyakit dan gangguan kesehatan, seperti diabetes, obesitas, gagal ginjal, kolesterol, dan lainnya.

Menurut laporan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), peningkatan prevalensi diabetes melitus tipe 1 pada anak di bawah 18 tahun sebesar 70 kali lipat dari 2010 hingga 2023. Jumlah kasus mencapai 2 per 100.000 jiwa pada Januari 2023, naik dari 0,028 per 100.000 jiwa pada 2010. 

Sejatinya, negara berperan penting dalam memastikan anak-anak dan generasi muda kita memiliki kehidupan yang sehat dan produktif setelah mereka dewasa. Negara sebenarnya sudah menetapkan beberapa kebijakan, seperti program Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM), promosi gaya hidup sehat melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), cukai pada minuman manis, regulasi terkait label gizi pada makanan kemasan, pembatasan iklan makanan tinggi gula, dan regulasi mengenai kandungan gula, garam, dan lemak dalam produk makanan. Namun, apakah kebijakan ini efektif, sedangkan pola dan gaya hidup masyarakat tidak berubah?

“Lalu Bagaimanakah Konsep Pangan Halal dan Tayib”

Islam menganjurkan setiap individu memakan makanan halal lagi tayib. Allah Taala berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 88 yang artinya, “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepada kalian, dan bertakwalah kepada Allah yang kalian beriman kepada-Nya.”

Dalam ayat tersebut Allah Swt. dengan sharih menjelaskan bahwa memakan makanan dalam rangka memenuhi fitrah adalah wajib dan orang yang meninggalkannya atau melalaikannya akan berdosa. Perintah untuk memakan yang “halalan thayyiban” dan larangan “mengikuti langkah-langkah setan” di dalam ayat tersebut mengandung banyak kemaslahatan.

Syekh Abu Bakar Jabir al-Jazairi mudarris tafsir di Masjid Nabawi dalam Aisarut Tafasir menjelaskan bahwa maksud dari kata “halal” adalah segala sesuatu yang tidak membahayakan, dan itu adalah segala sesuatu yang Allah izinkan untuk dimanfaatkan. Dan “tayib” adalah sesuatu yang suci, tidak najis, dan tidak menjijikkan yang tidak disukai oleh jiwa.

Pemenuhan kebutuhan makanan yang sehat lagi baik bukan hanya menjadi tanggung jawab orang tua, tetapi juga negara yang memiliki peran sentral sebagai berikut.

Pertama, menjamin kesejahteraan warga dengan kemudahan mengakses kebutuhan pangan yang aman dan sehat. Kedua, mengatur regulasi untuk industri makanan dan minuman agar sesuai ketentuan makanan halal dan tayib, yakni tidak mengandung bahan-bahan berbahaya, halal, dan tidak memicu munculnya penyakit degeneratif seperti kanker, diabetes, dan jantung.

Ketiga, melakukan edukasi secara holistik melalui lembaga layanan kesehatan, media massa, dan berbagai tayangan edukatif menarik sehingga masyarakat memahami kriteria makanan halal dan tayib yang diperintahkan dalam Islam.

Keempat, memberikan layanan kesehatan secara gratis kepada seluruh rakyat, seperti deteksi dini penyakit, cek kesehatan secara berkala (cek gula darah, kolesterol, asam urat, kecukupan gizi, dll.), Kelima, menindak tegas pelaku industri dan siapa saja yang menyalahi ketentuan peredaran makanan dan minuman halal dan tayib.

Keenam, menerapkan sistem pendidikan yang kolaboratif dan integratif dengan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam, khususnya materi pola hidup sehat dalam mata pelajaran penjaskes. 

Semua kebijakan ini harus diterapkan secara komprehensif dan sistemis, yakni mengubah pola dan gaya hidup berparadigma sekuler, hedonis, dan konsumtif menjadi pola dan gaya hidup islami di segala aspek kehidupan.

Wallahualam Bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak