Regulasi Kapitalistik mendatangkan Bencana Bagi Rakyat

oleh: Dian Mutmainnah, S.Pd (Aktivis Dakwah Kampus)


Negeri kembali berduka, tambang emas ilegal di Bone Bolango, Gorontalo, membawa bencana. Hujan deras memicu tanah longsor di area pertambangan emas ilegal di Desa Tulabolo Timur, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Ratusan orang jadi korban, sebagian selamat, puluhan tewas, puluhan masih dalam pencarian.


Peristiwa longsor itu terjadi pada 7 Juli 2024, sekitar Pukul 09.00. Data Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP) per 9 Juli 2024 sekitar 148 orang jadi korban longsor, 90 selamat, 30 dalam pencarian, dan 23 orang meninggal dunia.


"Kalau dihitung sebenarnya ada 9 titik bor, tapi yang satu itu sudah tak berfungsi lagi, karena tidak ada emas di dalamnya," ungkap Leon saat ditemui TribunGorontalo.com, Kamis (11/7/2024) pagi. Ia juga mengatakan aktivitas tambang emas di wilayah Suwawa sudah ada sejak tahun 1990-an. Lokasi pertama penggalian adalah titik bor 17 pada tahun 1992.


Lagi dan lagi, miris menyaksikan rakyat rela berjibaku demi memperoleh penghasilan yang tidak seberapa. Terus bertahan menjadi penambang berpuluh tahun, meski nyawa taruhannya. Aktivitas pertambangan rakyat yang tanpa difasilitasi dan diperhatikan aspek keselamatannya terlebih tambang milik swasta belum mendapatkan izin operasi (ilegal) memang rawan bagi keselamatan para penambang. Aktivitas pertambangan berjalan seadanya dengan menambang lewat pengetahuan tradisional atau kebetulan menemukan. Bukannya tidak paham akan bahayanya, hanya saja, menjalani pekerjaan ini adalah tuntutan hidup mereka. 


Banyak hal harus ditelaah dari bencana banjir dan longsor di area pertambangan illegal tersebut. Membuka lapangan kerja, salah satunya melalui kegiatan pertambangan, pada dasarnya merupakan tugas negara dalam rangka tanggung jawabnya untuk menyejahterakan rakyat. Oleh karenanya, jika pertambangan rakyat menjadi tempat untuk mencari nafkah, sudah selayaknya negara memfasilitasi. 


Persoalannya, hari ini tambang-tambang dengan jumlahnya yang tak terhitung tidak dikelola sepenuhnya oleh negara, tetapi swasta juga punya peran untuk bisa mengelola dan itu dilindungi oleh berbagai perundang-undangan. Dalam UU No. 3 Tahun 2020, misalnya, memberi peluang kepada swasta untuk mengelola tambang, sedangkan pemerintah hanya mengatur area, mengatur eksplorasi, dan mengatur investasi.


Standar kebolehan mengelola tambang hanya berdasarkan izin. Namun perizinan ini memunculkan persoalan karena sering kali terjadi suap menyuap atau sogok menyogok. Banyak pemilik tambang yang tidak mengurus izin, tetapi bisa melakukan eksplorasi tambang dengan membayar sana, membayar sini.


Fokus negara hanya siapa yang bisa investasi. Kalau negara bisa investasi, negara mengelola. Kalau negara tidak bisa investasi, maka swasta yang bisa investasi diberi keleluasaan mengelola tambang.


Tak heran jika terjadi peningkatan kerusakan lingkungan. Ini karena perusahaan-perusahaan swasta/asing hanya mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka sering tidak peduli atas dampak-dampak negatif bagi masyarakat.


Sebagaimana perusahaan-perusahaan tambang batu bara dan timah di Indonesia, misalnya, membiarkan lubang-lubang tambang mereka terbengkalai tanpa melakukan reklamasi. Eksploitasi yang dilakukan perusahaan tambang nikel telah mengakibatkan kerusakan lingkungan di sekitar tambang. Banjir menjadi sering terjadi. Air sungai dan laut menjadi keruh sehingga penduduk kesulitan mendapatkan air bersih dan kesulitan menangkap ikan yang menjadi mata pencaharian mereka. Inilah bencana ekologis yang—jika dinilai dengan uang—merugikan masyarakat hingga ratusan triliun rupiah.


Jika dicermati, sebenarnya akar malasah yang terjadi adalah paradigma kepemimpinan sekuler kapitalis neoliberal yang salah satunya menyerahkan urusan pemanfaatan sumber daya alam kepada swasta. Padahal dalam Islam tambang masuk sebagai kepemilikan umum dan menetapkan negara sebagai pengelola utamanya.


Dalam pandangan Islam, tambang apa pun yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak terkategori sebagai harta milik umum (milkiyyah ‘ammah). Dasarnya antara lain hadis Nabi saw. yang dituturkan oleh Abyadh bin Hammal ra.. Disebutkan demikian,


أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ


“Sungguh ia (Abyadh bin Hammal) pernah datang kepada Rasulullah saw.. Ia lalu meminta kepada beliau konsensi atas tambang garam. Beliau lalu memberikan konsensi tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh telah berlalu, seseorang di majelis tersebut berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberinya harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah).” (Mendengar itu) Rasulullah saw. lalu menarik kembali pemberian konsesi atas tambang garam itu dari Abyadh.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).


Hadis ini memang berkaitan dengan tambang garam. Namun demikian, ini berlaku umum untuk semua tambang yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak. Ini sesuai dengan kaidah usul,


العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَفْظِ، لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ


“Patokan hukum itu bergantung pada keumuman redaksi (nas)-nya, bukan bergantung pada sebab (latar belakang)-nya.” (Fakhruddin ar-Razi, Al-Mahshûl fii ‘Ilm Ushûl Fiqh, 3/125).


Berdasarkan hadis di atas, tambang apa pun yang menguasai hajat hidup orang banyak atau jumlahnya berlimpah—tidak hanya tambang garam, sebagaimana dalam hadis di atas—haram dimiliki oleh pribadi/swasta, apalagi pihak asing, termasuk haram diklaim sebagai milik negara. Negara hanya memiliki kewajiban dalam pengelolaannya, lalu hasilnya diberikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.


Maka jelas, bahwa semua tambang yang depositnya besar haram dikuasai oleh pribadi-pribadi, swasta, dan asing. Semua tambang tersebut wajib dikelola oleh negara. Seluruh hasilnya harus dinikmati oleh seluruh rakyat. Kalaupun dalam pengelolaannya negara melibatkan pribadi-pribadi, swasta, dan asing, mereka semua hanya boleh menjadi mitra pelaksana (operator) yang dikontrak. Bukan diberi konsesi, penguasaan, atau hak kepemilikan atas tambang-tambang tersebut.


Agar semua itu bisa terwujud, jelas negara ini harus diatur oleh syariat Islam. Bukan oleh aturan-aturan dari ideologi kapitalisme sebagaimana saat ini yang memberikan keleluasaan sedemikian rupa kepada pihak swasta/asing dalam menguasai sebagian besar harta kekayaan milik umum, di antaranya aneka tambang yang sangat berlimpah di negeri ini. Selain itu, hukuman yang tegas sesuai ketentuan syariat Islam terhadap para koruptor—khususnya yang melakukan korupsi atas harta kekayaan milik umum (rakyat)—wajib ditegakkan.


Oleh karena itu, penerapan syariat Islam dalam pengaturan negara ini di segala bidang kehidupan, khususnya di bidang ekonomi, khususnya lagi dalam pengelolaan sumber daya alam milik umum, harus segera diwujudkan. Sebabnya jelas, Allah Swt. telah memerintahkan semua muslim—tanpa kecuali—untuk mengamalkan syariat Islam secara menyeluruh (kafah) sebagaimana firman-Nya,


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ


“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS Al-Baqarah [2]: 208). WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak