ADA APA GERANGAN DIBALIK MISI KUNJUNGAN PAUS?
Oleh : Rini Oktaviani (Aktivis Dakwah Muslimah)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemimpin Gereja Katolik dunia Paus Fransiskus menyampaikan pidato tentang perdamaian saat bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Rabu (4/9) pagi.
Dia membahas sejumlah fenomena konflik di berbagai negara. Paus berpendapat konflik-konflik itu disebabkan oleh pihak-pihak intoleran yang berusaha memaksakan visinya ke masyarakat.
Selain itu, sebanyak 33 tokoh muslim Indonesia meluncurkan buku berjudul “Salve, Peregrinans Spei”, yang berarti “Salam Bagimu Sang Peziarah Harapan”, untuk menyambut kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3-5 September 2024. Buku ini tidak hanya sekadar sambutan, tetapi juga menggambarkan semangat keberagaman dan pluralisme yang hidup di Indonesia. JAKARTA, KOMPAS.com
Media asing menyoroti pertemuan Pemimpin Tertinggi Katolik Dunia Paus Frasiskus dengan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar di Jakarta, Indonesia, Kamis (5/9/2024). Salah satunya media Amerika Serikat (AS), Associated Press (AP) dengan judul "Pope and imam of Southeast Asia's largest mosque make joint call to fight violence, protect planet".
Diketahui kedatangan Paus di Indonesia sudah dimulai sejak Selasa. Kemarin, ia bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Kamis malam berencana menggelar misa besar di Gelora Bung Karno (GBK), Senayan.
Laman itu memuat pemberitaan tentang bagaimana hangatnya kedua pemimpin agama bertemu. Di mana dicantumkan foto hangatnya interaksi Paus dan imam Istiqlal, saat Paus mencium mesra tangan sang imam yang mendekap pundak kepala negara Vatikan itu.
Toleransi dan Moderasi, Produk Kapitalisme Sekuler
Sesungguhnya ada sebuah target yang ingin dicapai oleh barat di balik misi kunjungan paus beberapa waktu lalu. Yakni, agar isu toleransi ala barat juga moderasi beragama terus digaungkan di negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia.
Hal ini bisa dilihat dari pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh paus seperti, soal definisi baru politik adalah bukan "perang" melainkan kasih sayang, atau kekayaan Indonesia bukan tambang emas tapi harmonisasi, dan sebagainya.
Ironinya, semua pernyataan Paus direspon positif oleh para pemimpin dan masyarakat muslim. Contohnya saja, kasus usulan adzan agar menjadi running text saat agenda misa digelar dianggap wajar oleh kalangan mahasiswa dan tokoh-tokoh muslim sebagai bentuk toleransi.
Moderasi Beragama Menggerus Aqidah Umat
Umat Islam sejatinya harus memiliki sikal kritis dan memiliki sikap yang benar sesuai tuntunan syariat terkait bahaya toleransi ala barat dan moderasi beragama yang terlebih telah diberi jalan oleh rezim sekular kapitalis. Toleransi, perdamaian, dialog lintas agama, hingga monsterisasi ajaran Islam sebagai radikal, intoleran dan lainnya ruhnya hanya satu. Yaitu moderasi beragama. Proyek moderasi beragama masuk melalui banyak jalur. Dua di antaranya ialah dialog antaragama dan perlawanan terhadap ekstremisme/radikalisme.
Tampak jelas, moderasi beragama tidak menginginkan umat Islam terlalu fundamental meyakini dan menerapkan ajaran Islam. Jika sampai ada kelompok umat Islam bertujuan menegakkan Islam melalui pendirian negara, Barat langsung melabelinya kelompok ekstrem/radikal. Inilah upaya penyesatan atau tipu daya politik (tadlil Siyasi). Ironinya sekarang pengembannya adalah pemimpin negeri-negeri muslim sendiri.
Indonesia salah satu sasaran pemikiran batil ini, demokrasi sebagai sistem politik di negeri ini meniscayakan lahirnya kepemimpinan sekuler untuk memenangkan program moderasi beragama yang sejatinya menggerus akidah umat.
Maka, ada beberapa hal yang harus dilakukan pertama, umat harus ikut pembinaan Islam kafah secara intensif. Dimana pembinaan ini bertujuan membangun kerangka berpikir sebagai pribadi Islam yang senantiasa menyelaraskan pola pikir dan pola sikap dalam melakukan semua aktifitas. Ini meniscayakan ada pada jamaah politik yang tumbuh di tengah umat.
Kedua, tidak mudah mengambil berita begitu saja dari media tanpa mengaitkannya dengan pemahaman Islam. Sikap kritis sangat dikedepankan, dan hanya dengan pembinaan hal ini bisa tercapai. Meski banyak kelompok kajian namun tak banyak yang membentuk output kritis dan tanggap terhadap persoalan di sekitarnya.
Ketiga, memahami makna toleransi yang sebenarnya, bukan sebagaimana yang ditampakkan media maupun tokoh-tokoh di negeri ini sekalipun tokoh agama, terutama jika apa yang mereka perbuat bertentangan dengan firman Allah SWT. Yang artinya, “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (TQS Al–Kafirun: 6). Islam sangatlah jelas.
Keempat, memahami bahaya moderasi beragama adalah pengaburan ajaran Islam, semisal mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan dengan dalih toleransi dan kerukunan. Apalagi jika mengingat pernyataan Imam Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar bahwa nilai tertinggi di dunia ini adalah kemanusiaan, sungguh penyesatan yang nyata. Faktanya, barat mempertahankan hidup dengan cara menjajah dan membunuh, maka nilai kemanusiaan mana yang ia maksud? Apalagi Paus faktanya hanyalah pemimpin religius (agama) di sebuah wilayah yang disebut negara.
Saatnya kaum muslim mengadakan perubahan, mencabut demokrasi, dan bersungguh-sungguh menjadikan Rasulullah saw. sebagai teladan utama sebagaimana firman Allah SWT. yang artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (TQS al-Ahzab: 21). Wallaahu a'lam bish shawwab
Komentar
Posting Komentar