PEMICU PERDAGANGAN ANAK DI KABUPATEN SUMENEP
Oleh: Inge Oktavia Nordiani
Dunia pendidikan lagi-lagi terpukul dengan kasus yang terjadi di ujung timur pulau Madura, yaitu Sumenep. Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang harusnya menjadi tauladan kini berbalik memberikan noda. Guru sebagai pencetak generasi seharusnya mengupayakan memberikan pendidikan terbaik dari penguasaan ilmu yang dimiliki sehingga berdampak pada peserta didik. Lebih-lebih seorang kepala sekolah, beliau adalah pemimpinnya para guru yang penuh dengan segudang pengalaman dan pengamalan demi kebaikan instansi yang dipimpinnya. Betapa memilukan kasus yang terjadi di mana seorang guru TK dan kepala sekolah SD negeri terlibat hubungan amoral bahkan sampai memperdagangkan anak kandungnya sendiri.
Kronologi kejadiannya berawal pada tanggal 26 Agustus 2024 sekitar pukul 16.00 WIB. Pelapor berada di rumahnya, kemudian pelapor diberitahukan oleh keluarga bahwa putrinya inisial T (13 tahun) telah menjadi korban pencabulan. T disuruh melakukan hubungan badan dengan J oleh ibu kandungnya sendiri dengan alasan akan melaksanakan ritual mensucikan diri (Media Pribumi, 30 Agustus 2024).
PNS berinisial E berprofesi sebagai guru yang tak lain merupakan ibu kandung dari T selaku korban pencabulan yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah di Kecamatan Kalianget. Hingga terakhir penangkapan telah dilakukan sebanyak 5 kali rudapaksa kepada anak tersebut. Sebelumnya telah terjadi hubungan khusus antara J dan E (ibu kandung korban). Adapun ambisi ibu korban terhadap anaknya yaitu mengiming-imingi sejumlah uang serta janji untuk dibelikan satu unit sepeda motor jenis Vespa matic sebagaimana yang diinginkan oleh anaknya (Media Pribumi, 1 September 2024).
Entah rasa keibuan terletak dimana, mengapa dengan mudah tercerabut dan terhempas. Padahal sejatinya seorang ibu adalah malaikat tak bersayap yang keberadaannya sangat signifikan bagi tumbuh kembang seorang anak. Ibu adalah pencetak generasi pertama dan utama. Bahkan baik buruknya anak akan dipengaruhi sebagian besar oleh baik buruknya seorang ibu. Dengan iming-iming sejumlah uang dan sebuah motor Vespa matic seorang ibu itu rela menggadaikan kehormatan dirinya dan juga anaknya. Dari sini nampak ada sebuah karakter atau pola pikir yang bergeser. Sebab seseorang seharusnya berfikir terlebih dahulu sebelum bertindak. Apabila keputusan yang diambil jauh dari kebaikan, maka tentu ada yg perlu diperbaiki dari pola pikirnya.
Sungguh kejadian di atas hanya menambah deretan panjang catatan suram dan rusaknya pribadi seorang ibu. Hal ini bukan kali pertama terjadi. Kejadian-kejadian sebelumnya yang terjadi sebagai pertanda bahwa kerusakan yang terjadi bukan hanya masalah keburukan pribadi semata, melainkan pola kehidupan individu dan masyarakat yang tengah rusak.
Hal ini merupakan cerminan sistem kehidupan yang melingkupi saat ini, yaitu sekulerisme. Standar kehidupan yang menjauhkan kehidupan dunia dengan agama. Walhasil membuahkan pola kehidupan seperti permisivisme (serba boleh) dan hedonisme (orientasi hidup foya-foya). Dengan kata lain standarnya dalam berperilaku adalah hawa nafsu. Syariah tidak menjadi standar beramal walaupun mayoritas penduduknya adalam Muslim.
Kejadian demi kejadian yang terjadi seharusnya menjadikan refleksi bagi seluruh pihak untuk berbenah memperbaiki kondisi, termasuk negara. Negara seharusnya menjadi mercusuar yang memfasilitasi sistem kehidupan yang memanusiakan manusia. Negara yang bertanggungjawab penuh atas kokohnya keimanan masyarakat, sehingga pertimbangan utama dalam bertindak adalah halal dan haram.[]
Komentar
Posting Komentar