KAPITALISME MERENGGUT FITRAH IBU
Oleh Kurnia, SE (Aktivis Muslimah)
Didalam menjalani kehidupan ini kita tidak bisa terlepas dari perkara kebutuhan, baik kebutuhan primer maupun sekunder.
Hari ini untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan tersebut sungguh sangat sulit, dikarenakan materi yang tidak mencukupi bahkan untuk makan sehari saja banyak yang tidak mampu memenuhinya.
Disisi lain Untuk mendapatkan pekerjaan hari ini pun sama saja sangat sulit . Hingga banyak orang berfikir pendek untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Ada yang terpaksa mencuri, ada terpaksa meminta-minta bahkan yang lebih parah. Ada ibu yang sudah kehilangan akal sehatnya, rela menjual bayinya.
Miris mendengar berita ini namun inilah fakta yang terjadi .
Di luar sana banyak perempuan sekaligus calon ibu yang bahkan berpuluh-puluh tahun telah menikah dan senantiasa menanti kehadiran si buah hati namun tak kunjung diberikan oleh Allah.
Berbeda dengan kasus ini rela menjual bayi nya dengan harga 20 juta . Naudzubillah.
Seorang ibu rumah tangga berinisial SS (27) yang ditangkap karena menjual bayinya seharga 20 juta melalui perantara. Kejadian ini terjadi di Jalan Kuningan, Kecamatan Medan Area Kota Medan Sumatera Utara. Wakil kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Kota Besar Medan AKP Madya Yustadi mengatakan, kejadian itu berlangsung pada selasa ( 6/8/2024).
Mulanya petugas mendapat informasi dari warga. Bahkan akan ada transaksi jual beli bayi di rumah sakit daerah Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.Kompas.com.
Kasus serupa terjadi pada Februari lalu, yakni ketika seorang ibu di Tambora, Jakarta Barat juga menjual bayinya. T (35) menjual bayinya seharga 4 juta kepada AN (33) dan istrinya EM (30). Alasan R menjual bayinya adalah karena kesulitan ekonomi. Juga pada Agustus 2023, seorang ibu tega menjual bayinya yang masih berumur 5 bulan. Bayi perempuan tersebut dijual sang ibu dengan harga Rp11 juta melalui media sosial.
Kondisi ekonomi begitu menghimpit masyarakat sehingga masyarakat rela melakukan hal hal diluar nalar. Bayi yang membersamainya di dalam rahim selama 9 bulan, rela di jual hanya untuk mendapatkan uang yang tidak akan pernah setara dengan nilai seorang bayi.
Padahal anak lahir di muka bumi ini adalah amanah yang seharusnya di rawat, hingga kelak mereka menjadi anak yang sholeh sholehah yang mampu menghantarkan kedua orang tuanya menuju Jannah-Nya .
Namun bagaimana jadinya ketika anak yang tadinya adalah amanah kemudian dijual hanya untuk mendapatkan uang. Yaa Robb... Astagfirullah...
Fakta yang terjadi saat ini harga barang-barang kebutuhan pokok melambung tinggi dan terus naik hingga rakyat kesulitan membelinya. Begitu juga dengan kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, BBM, listrik, dan gas. Semuanya sulit dijangkau karena dipatok dengan harga mahal oleh pemerintah.
Belum lagi masyarakat dihantui oleh berbagi macam pajak . Disisi lain penghasilan tak menentu.
Jadi melihat kondisi masyarakat yang semakin terombang ambing dalam keterpurukan, ketertindasan tidak heran jika masyarakat melakukan hal hal yang begitu diluar nalar, nekat melakukan hal yang begitu memprihatikan, menjual bayi untuk mendapatkan uang yang sejatinya uang tersebut tak kan pernah sepadan dengan harga bayi yang telah diamanahkan kepada mereka.
Melihat fakta di atas, bukan hanya sekali saja terjadi namun ternyata sudah berulang.
Inilah akibat dari penguasa yang sejatinya mengurusi dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, namun faktanya, enggan untuk mengurusi rakyatnya. Justru penguasa saat ini begitu sibuk memperkaya diri, keluarga beserta kroni kroninya.
Tersibukkan dengan perebutan kursi sana sini.
Inilah fakta politik saat ini. Berbondong bondong meraih kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Begitulah kejamnya Sistem sekuler.
Orang orang di atas terus merangkak naik. Orang di bawah terus tertindas. Tidak ada kepedulian mau makan, mau hidup, mau sakit, mau sehat, ketika tidak memberikan keuntungan bagi mereka, maka tak ada gunanya bagi mereka.
Bagaimana kelak di hadapan Allah . Mereka akan mempertanggung jawabkan atas mereka perbuat terhadap rakyatnya.
Teringat Khalifah Umar bin Khattab Ketika Madinah mengalami musim paceklik Tahun 17 Hijriyah, Khalifah Umar ditemani seorang sahabatnya, Aslam berkeliling mengunjungi kampung terpencil di Madinah. Beliau melakukan perjalanan diam-diam, masuk keluar kampung untuk melihat langsung keadaan rakyatnya.
Berikut kisahnya diceritakan Gus Musa Muhammad dalam satu kajiannya. Suatu hari langkah Khalifah Umar bin Khattab terhenti ketika mendengar suara tangis anak kecil dari sebuah tenda usang.
Umar mendekati tenda itu untuk memastikan apakah penghuninya membutuhkan bantuan. Setelah dekati, terlihat seorang perempuan sedang menjerangkan panci di atas tungku api. Asap-asap itu mengepul-ngepul dari panci, sementara si ibu tua tadi terus saja mengaduk-aduk isi panci tersebut dengan sebuah sendok kayu.
Setelah mengucapkan salam, Khalifah Umar meminta izin untuk mendekat. Mendengar salam Umar, ibu itu mendongakkan kepalanya seraya menjawab salam Umar. Tetapi setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci itu.
"Siapakah yang menangis di dalam itu?" tanya Umar.
Dengan sedikit acuh, ibu itu menjawab pertanyaannya, "Anak-anakku..." "Apakah ia sedang sakit?" tanya umar lagi.
"Tidak," jawab si ibu. "Ia kelaparan," sambungnya.
Umar dan Aslam seketika tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah ibu tua itu sampai lebih dari satu jam. Namun anak-anak kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya juga masih terus mengaduk-aduk isi bejana.
Umar yang tidak habis pikir ingin tahu apa yang sedang dimasak oleh si ibu tua itu? Karena sudah lama ia memasaknya tetapi masakannya itu tak kunjung matang. Karena tak tahan untuk menunggu, akhirnya Umar bertanya kepada si ibu tua itu, "Apa yang sedang kau masak, wahai Ibu? Kenapa tak kunjung matang-matang juga masakanmu itu?
Lalu Ibu itu tetap diam, sejurus kemudian dengan raut muka penuh harap, ia membuka tutup bejana. Khalifah Umar dan Aslam melihat isi bejana tersebut. Dan seketika mereka kaget saat melihat isi bejana itu.
"Apakah kau sedang memasak batu?" tanya Khalifah Umar sedikit tercengang.
Ibu itu mencurahkan kekesalannya kepada Umar: "Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun ku suruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan ku isi air."
"Lalu batu-batu itu aku masak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Dia enggan melihat ke bawah, dan bertanya apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum," ujar wanita itu.
Setelah mendengar perkataan wanita itu tadi, Sayyidina Umar menitikkan air mata dan segera bangkit dari tempat duduknya itu. Lalu beliau dan Aslam kembali ke Madinah. Sesampainya Khalifah langsung pergi ke Baitul Mal dan mengambil sekarung gandum. Beliau mengangkat sendiri karung gandum itu di punggungnya, melihat pemimpinnya tergopoh-gopoh membawa karung gandum Aslam menawarkan diri untuk membantu.
"Wahai Amirul Mukminin, biar aku sajalah yang mengangkut karung ini," ujar Aslam.
"Apakah kau mau menggantikanku menerima murka Allah akibat membiarkan rakyatku kelaparan? Biar aku sendiri yang memikulnya, karena ini lebih ringan bagiku dibanding siksaan Allah di akhirat nanti," jawab Umar.
Khalifah Umar mendatangi kembali gubuk yang berada di Madinah tadi dengan membawa masakannya tadi, agar keluarga miskin tersebut dapat memakan masakannya. Melihat mereka makan, seketika hati Khalifah Umar terasa tenang. Setelah makanannya habis, Khalifah Umar berpamitan. Sebelumnya dia juga meminta wanita tersebut untuk menemui Khalifah keesokan harinya.
Esok harinya, wanita itu pergi untuk menemui Amirul Mukminin. Betapa terkejutnya si wanita itu saat melihat sosok Amirul Mukminin, yang tidak lain adalah orang yang telah memasakkan makanan untuk dia dan anaknya semalam. Wanita tersebut lalu meminta maaf atas kata-kata zalimnya yang ia katakan padanya semalam dan ibu itu juga mengatakan bahwa dirinya siap untuk dihukum.
Lalu khalifah umar menjawab: "Ibu tidak bersalah, akulah yang bersalah. Aku telah berdosa karena membiarkan seorang ibu dan anak-anaknya kelaparan di wilayah kekuasaanku, maafkan aku ibu."
Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW bersabda: "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya."
Jadi sangat tidak logis jika ada yang membandingkan penguasa yang ada saat ini dengan Umar bin Khattab.
Yang faktanya dari kinerja yang di tampakkan begitu saat jauh berbeda.
Sungguh ummat saat ini merindukan kehadiran penguasa yang taat dan tunduk terhadap Perintah Sang Pencipta "Allah SWT".
Wallahu a'lam bissawab.
Komentar
Posting Komentar