Toleransi Kebablasan Merusak Akidah
OLEH: TRI SISWAYO-AKTIVIS DAKWAH
Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak mempermasalahkan Azan Maghrib di Stasiun Televisi (TV) diganti oleh Running Text (teks berjalan) saat misa yang dipimpin Paus Fransiskus di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, Kami
Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh menyampaikan dari aspek syariat Islam, penggantian tayangan Azan Maghrib di televisi menjadi teks berjalan, tidak ada yang dilanggar.
“Sebenarnya dari aspek syar’i, tidak ada yang dilanggar. Dan itu bagian dari solusi. Isunya bukan meniadakan azan. Hal itu untuk kepentingan siaran live misa yang diikuti jamaat Kristiani yang tidak dapat ikut ibadah di GBK,” ujar Niam di Jakarta, Rabu.
Sebelumnya Kemenag mengeluarkan imbauan agar stasiun televisi berkenan untuk menyiarkan azan Magrib dalam bentuk running text ketika menayangkan secara langsung ibadah misa yang dipimpin Paus Fransiskus nanti. Surat itu juga mengimbau agar seluruh televisi nasional menyiarkan secara langsung dan tidak terputus ibadah misa akbar yang dipimpin Paus Fransiskus (5/9). Kemenag juga mengingatkan bahwa azan Maghrib yang kemungkinan berlangsung di sela-sela ibadah misa akbar tersebut tetap disiarkan.
Niam mengatakan kebijakan tersebut harus dipahami sebagai penghormatan kepada pelaksanaan ibadah umat Kristiani.
“Konteksnya bukan karena Paus Fransiskus datang lantas azan diganti. Tetapi karena ada pelaksanaan ibadah misa secara live yang diikuti jemaat melalui TV secara live dan jika terjeda akan mengganggu ibadah,” kata dia.
Dalam contoh yang lebih sederhana, dia mengibaratkan dengan siaran bola live yang waktunya berbarengan dengan azan, maka azannya juga akan diganti dengan teks berjalan. “Tidak ada masalah, ini soal kearifan lokal saja,” kata Ni’am.
Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis menambahkan azan di TV itu bersifat rekaman elektronik. Umat Islam tidak perlu gelisah dan tidak perlu timbul salah paham.
“Itu azan elektronik. Jadi bukan azan suara di masjid yang dihentikan. Azan yang sebenarnya di masjid-masjid tetap berkumandang sebagai penanda waktu shalat dan ajakan shalat yang sesungguhnya,” kata Cholil.
Polemik Azan, Kekalahan Umat Islam
Penyiaran misa secara langsung di seluruh televisi nasional ini tentu menjadi sebuah pertanyaan besar. Umat Kristen secara jumlah merupakan minoritas di Indonesia, tetapi mengapa misa akbar sampai harus disiarkan langsung di seluruh televisi nasional. Sebuah acara yang disiarkan langsung oleh televisi nasional seharusnya adalah acara yang ditonton oleh mayoritas rakyat Indonesia, bukan minoritas. Jika yang menonton adalah minoritas, tentu tidak perlu siarannya demikian masif.
Lantas, mengapa siaran misa akbar sedemikian “heboh”? Apakah memang penyiaran misa ini menargetkan penonton kaum mayoritas, yaitu umat Islam? Jika demikian, apa tujuannya? Sekadar informasi sebuah kegiatan, misi Kristen, atau ada agenda politik tertentu?
Apalagi penyiaran misa akbar yang menabrak waktu salat Magrib sampai harus menggeser tayangan azan di televisi dan pemberitahuan waktu Magrib hanya disampaikan melalui running text. Hal ini menimbulkan kesan bahwa misa lebih penting dari azan yang merupakan panggilan salat.
Bukankah semestinya sesuatu yang dianggap penting akan diprioritaskan? Dengan penyiaran misa yang meniadakan tayangan azan, tampak bahwa urusan kaum minoritas lebih penting daripada umat Islam. Urusan umat Islam dinomorduakan dan umat Islam harus menerima kebijakan ini atas nama toleransi. Jika menolak, umat Islam dianggap intoleran dan tidak menghormati umat agama lain.
Di sisi lain, di negara minoritas muslim, umat Islam dituntut untuk tahu diri dan mengalah. Mereka tidak mendapatkan pemberitahuan waktu salat melalui televisi sehingga harus mencari sendiri di internet. Azan juga tidak diperbolehkan menggunakan pengeras suara. Salat dan khotbah Idulfitri tidak disiarkan secara langsung di seluruh televisi nasional setempat. Kaum muslim di sana harus menerima aturan tersebut mengingat posisinya sebagai minoritas.
Kebijakan penyiaran misa ini juga menegaskan betapa sekulernya penguasa negeri ini. Azan sebagai bagian dari syiar Islam diberangus agar bisa digeser ketika ada siaran langsung acara agama tertentu. Siaran langsung itu dianggap lebih penting daripada syiar azan. Ini menunjukkan bahwa penguasa tidak memandang penting syiar azan tersebut.
Inilah yang terjadi ketika sistem di negara kita sekuler. Urusan agama diposisikan sebagai urusan individu dan negara tidak ikut campur mengurusinya. Rakyat melakukan salat atau tidak, dianggap sebagai urusan personal, bukan tanggung jawab negara.
Sungguh menyedihkan ketika ummat Islam terdzolimi harus diam dan pasrah tidak boleh menuntut haknya. Demikianlah polemik adzan ini, membukakan mata kita bahwa sebenarnya penguasa meskipun beragama Islam tidak pernah membela hak-hak ummat Islam. Penguasa bahkan cenderung diam.
Kedatangan Paus Fransiskus di Masjid Istiqlal disambut dengan pembacaan Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 62 dan surah Al-Hujurat ayat 13 yang dianggap mengajarkan toleransi. Selain itu, Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar tampak mencium kening Paus Fransiskus. Hal ini merupakan penghormatan yang berlebihan terhadap nonmuslim.
Allah Swt. Memerintahkan sikap seorang muslim terhadap nonmuslim adalah sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Fath ayat 29, yang artinya:
“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya.”
Seharusnya sikap berkasih sayang itu ditunjukkan kepada sesama muslim, bukan nonmuslim. Ini karena dasar persaudaraan antarmanusia adalah keimanan pada Allah Swt. Dan Rasul-Nya. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-Hujurat ayat 10, yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.”
Penyambutan gegap gempita terhadap Paus Fransiskus oleh negara merupakan sikap toleransi yang kebablasan dan tidak dicontohkan di dalam Islam. Sikap ini justru menegaskan inferioritas para pemimpin negara kita terhadap Paus Fransiskus. Miris, jumlah kita (umat Islam) besar, tetapi posisinya inferior (rendah diri). Parahnya lagi, para pemimpin tersebut justru melakukan dialog antaragama yang memosisikan Islam sama dengan agama lainnya dan bahkan dengan aliran kepercayaan. Ini benar-benar merendahkan.
Tidak hanya menyamakan dengan agama lain, para penguasa bahkan merendahkan Islam di hadapan agama lain. Paus Fransiskus diposisikan sebagai pihak yang lebih tinggi dan mulia sedangkan penguasa muslim bersikap seolah-olah menjadi “pelayannya”. Paus Fransiskus bahkan dipuja-puji demikian luar biasa seolah-olah orang suci. Paus juga diposisikan sebagai orang yang harus diteladan gaya hidupnya.
Toleransi dalam Sistem Islam
Islam memiliki konsep toleransi yang khas berdasarkan akidah Islam. Konsep toleransi inilah yang harus kita gunakan, bukan toleransi kebablasan ala Barat. Konsep toleransi dalam Islam berawal dari keyakinan tentang kebenaran dinul Islam sebagaimana firman Allah Swt:
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam.” (QS Ali Imran [3]: 19).
Dengan demikian, Islam merupakan satu-satunya agama yang diridai Allah. Sedangkan agama yang lain tertolak. Terkait hubungan dengan agama lain, umat Islam harus meyakini bahwa Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. Rasulullah saw. Bersabda:
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” (HR Ad-Daruquthni).
Oleh karenanya, umat Islam tidak boleh menyamakan Islam dengan agama lain. Umat Islam juga tidak boleh mengikuti agama lain, baik ibadahnya, aturannya, pakaiannya, maupun kebiasaannya. Allah Swt. Berfirman:
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (QS Al-Kafirun [109]: 6).
Dengan demikian, sikap toleransi dalam Islam adalah sebatas menghormati, menghargai, dan membiarkan umat agama lain meyakini dan beribadah menurut agamanya. Toleransi dalam Islam bukan dengan bekerja sama (kolaborasi), menghadiri (berpartisipasi), atau bahkan penyatuan (unifikasi) dengan keyakinan dan ibadah mereka.
Dialog antaragama juga menjadi perkara yang diharamkan dalam Islam karena menyamakan semua agama, meyakini tidak ada kebenaran mutlak, dan menuduh agama (Islam) sebagai penyebab konflik. Dialog antaragama merupakan hal yang berbahaya karena melemahkan umat Islam, membuat mereka ragu dengan ajaran Islam, sekaligus melanggengkan penjajahan Barat atas umat Islam.
Umat Islam tidak boleh terjebak dalam narasi-narasi yang dibangun oleh Barat, seperti toleransi, moderasi, dan dialog antaragama. Respons atas kezaliman sistem dan penguasa hari ini terhadap umat Islam, umat seharusnya marah dan tidak rida, bukan diam saja saat dizalimi. Wala’ (loyalitas) umat Islam hanya layak kepada akidah Islam dan bara’ (berlepas diri) dari orang kafir.
Umat Islam harus menyadari bahwa saat ini posisinya terjajah oleh orang-orang kafir. Negara-negara dan orang-orang kafir tidak akan rida hingga umat Islam mengikuti millah (ideologi) mereka. Dengan demikian, umat Islam harus kembali pada syariat Islam kafah dan berjuang mewujudkan tegaknya Khilafah. Khilafah akan menjadi pembebas umat Islam dari penjajahan dan melindungi mereka dari kezaliman musuh. Wallahualam bissawab
Komentar
Posting Komentar