Misi Moderasi Beragama di Balik Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia
Misi Moderasi Beragama di Balik Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia
Oleh : Ummu Gita
Paus Fransiskus pemimpin tertinggi gereja Katolik sedunia baru baru ini berkunjung ke Indonesia. Ia disambut begitu hangat, gembira dan antusias baik di kalangan pejabat negara, tokoh tokoh agama Islam, cendekiawan, hingga masyarakat biasa. Bahkan kunjungannya dianggap sebagai momen bersejarah dalam menyambut kedatangan paus Fransiskus ini. Kenapa demikian, karena Kedatangan Paus ke Indonesia merupakan kunjungan yang pertama dalam 35 tahun setelah kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 1989 silam. Tak hanya datang, Pemimpin Gereja Katolik Dunia sekaligus Kepala Negara Vatikan itu juga mengadakan misa agung di Gelora Bung Karno (GBK) yang dihadiri ribuan umat Kristiani. Kedatangan Paus disambut Namun, penyambutan atas kedatangannya dinilai berlebihan dan menulai polemik di tengah kaum Muslim. Pasalnya, serangkaian prosesi penyambutan Paus—yang dinarasikan sebagai misi perdamaian, kemanusiaan dan toleransi—telah kebablasan dan menabrak batas-batas Aqidah Islam.
Polemik itu berawal dari surat yang dilayangkan oleh panitia kunjungan Paus Fransiskus tertanggal 9 Agustus 2024 kepada Kementerian Agama terkait permohonan dukungan kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia 3-6 September 2024. Sebagai tindak lanjut, Kementerian Agama bersurat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tertanggal 1 September 2024. Surat yang ditandatangani oleh Dirjen Bimas Islam dan Katolik itu di antaranya berisi: Pertama, saran agar Misa bersama Paus Fransiskus pada Kamis 5 September 2024 disiarkan secara langsung pada pukul 17.00–19.00 WIB di seluruh televisi nasional. Kedua, agar penanda waktu maghrib di televisi nasional cukup ditunjukkan dalam bentuk running text (bukan kumandang azan seperti biasanya). Dengan itu misa bisa diikuti secara utuh oleh umat Katolik di Indonesia. (detik.com)
Ada juga agenda pembacaan Injil dan al-Quran untuk menyambut Paus di Masjid Istiqlal Jakarta. Bersama Paus Fransiskus juga dilakukan penandatanganan dokumen kemanusiaan dengan tujuan untuk menguatkan opini seputar toleransi umat beragama di negeri ini. Selain itu Paus Fransiskus, menyampaikan dua pesan saat mengunjungi Masjid Istiqlal dan menandatangani Deklarasi Istiqlal pada Kamis pagi. Dalam pesan pertamanya, Bapa Suci mengajak semua umat beragama untuk merefleksikan persatuan di balik perbedaan. Paus menjelaskan pencarian tentang keilahian akan membuat seluruh orang beriman memahami persaudaraan. Kita menemukan bahwa kita semua adalah saudara. Semua peziarah--semua dalam perjalanan menuju Allah--melampaui apa yang membedakan kita," kata Paus Fransiskus di kawasan Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat pada Kamis, 5 September 2024. (Tempo.co, Jakarta)
Moderasi Beragama, Semakin Mengukuhkan Penjajahan Barat
Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3—6 September 2024 bukanlah kunjungan biasa, tetapi mengandung misi global yang selama ini konsisten diaruskan di negeri-negeri muslim, yakni mempromosikan moderasi beragama. Kehadiran Paus Fransiskus di Indonesia menjadi sinyal kuatnya pengarusan moderasi beragama. Hal ini sangat korelasi apa yang telah di lakukan kemenag tahun lalu yakni meluncurkan program seribu Kampung Moderasi Beragama (KMB) yang tersebar di seluruh Indonesia. Kunjungannya di Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas muslim bukan tanpa alasan, yakni kunjungan yang mengandung misi global seperti yang terus di Kampanyekan diberbagai negara-negara di dunia yakni moderasi beragama.
Deklarasi Toleransi, Pada kunjungannya di Masjid Istiqlal, Paus Fransiskus menandatangani Deklarasi Istiqlal bersama tokoh-tokoh lintas agama dan penghayat kepercayaan. Deklarasi tersebut berisi komitmen para pemimpin agama untuk mengedepankan dialog antaragama untuk menyelesaikan konflik di tengah masyarakat. Penguatan toleransi memang menjadi agenda kunjungan Paus ke Indonesia. Hal ini sebagaimana pidatonya, “Dan jika benar kalian adalah tuan rumah tambang emas terbesar di dunia, ketahuilah bahwa harta yang paling berharga adalah kemauan agar perbedaan tidak menjadi alasan untuk bertikai, tetapi diselaraskan dalam kerukunan dan rasa saling menghormati. Jangan sia-siakan anugerah ini! Jangan pernah memiskinkan diri kalian dari kekayaan yang besar ini, sebaliknya, kembangkan dan wariskan terutama kepada kaum muda. Semoga tidak ada seorang pun yang terjerumus dalam pesona fundamentalisme dan kekerasan, semoga semua orang justru terpesona oleh impian sebuah masyarakat dan kemanusiaan yang bebas, bersaudara, dan damai!” Pernyataan Paus Fransiskus ini menegaskan bahwa Indonesia harus menjaga keberagamaan dengan mengedepankan toleransi dan dialog antaragama. Juga agar Indonesia menjauhi praktik kekerasan dan fundamentalisme.
Pidato Paus Fransiskus tersebut jelas-jelas mengampanyekan toleransi ala Barat yang selama ini selalu dipromosikan kepada umat Islam agar diadopsi. Toleransi yang dimaksud bukanlah konsep “lakum dinukum waliyadin” sebagaimana menurut Islam, melainkan semangat moderasi agar umat Islam tidak kaffah dalam menjalankan agamanya dan justru berbelok menjadi muslim moderat.
Jelas, toleransi dan moderasi merupakan senjata Barat untuk menyerang umat Islam yang hendak menjalankan agamanya. Umat Islam tidak boleh menjalankan syariat Islam kaffah karena dianggap tidak moderat. Jika tidak toleran dan moderat, umat Islam akan dicap radikal dan termasuk fundamentalis. Umat Islam bahkan dilabeli sebagai teroris. Semua politik “label” ini bertujuan menjauhkan umat dari Islam kaffah.
Promosi toleransi dan pluralisme oleh Paus Fransiskus merupakan bagian dari moderasi yang diaruskan Barat di Dunia Islam untuk mencegah munculnya Islam ideologis yang mereka sebut sebagai Islam radikal. Kampanye ini penting bagi Barat untuk menjaga eksistensi hegemoninya di dunia Islam. Tujuannya adalah agar penjajahan Barat atas dunia Islam tetap eksis dan tidak mendapatkan perlawanan dari umat Islam. Ideologi Islam mengajarkan haramnya penjajahan sehingga mendorong meletusnya perlawanan terhadap penjajahan Barat. Hal ini tentu mengancam Barat. Walhasil, kedatangan Paus Fransiskus memiliki agenda politik, yaitu mengukuhkan penjajahan Barat di Indonesia. Umat Islam dikondisikan agar jauh dari agamanya sehingga jauh dari kebangkitan.
Sikap Daulah Islam terhadap Nonmuslim
Islam memiliki konsep toleransi yang khas berdasarkan akidah Islam. Konsep toleransi inilah yang harus kita gunakan, bukan toleransi kebablasan ala Barat. Konsep toleransi dalam Islam berawal dari keyakinan tentang kebenaran dinul Islam sebagaimana firman Allah Swt.,“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam.” (QS Ali Imran [3]: 19).
Dengan demikian, Islam merupakan satu-satunya agama yang diridai Allah. Sedangkan agama yang lain tertolak. Terkait hubungan dengan agama lain, umat Islam harus meyakini bahwa Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. Rasulullah saw. bersabda, “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” (HR Ad-Daruquthni).
Oleh karenanya, umat Islam tidak boleh menyamakan Islam dengan agama lain. Umat Islam juga tidak boleh mengikuti agama lain, baik ibadahnya, aturannya, pakaiannya, maupun kebiasaannya. Allah Swt. berfirman,“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (QS Al-Kafirun [109]: 6).
Dengan demikian, sikap toleransi dalam Islam adalah sebatas menghormati, menghargai, dan membiarkan umat agama lain meyakini dan beribadah menurut agamanya. Toleransi dalam Islam bukan dengan bekerja sama (kolaborasi), menghadiri (berpartisipasi), atau bahkan penyatuan (unifikasi) dengan keyakinan dan ibadah mereka.
Bahkan Islam tidak hanya mengatur cara individu muslim bersikap terhadap nonmuslim atau orang kafir, tetapi Islam juga mengatur tentang cara negara atau kepala negara Islam bersikap kepada negara kafir dan orang kafir. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Syakhshiyah Islamiyah jilid II dijelaskan bahwa sikap negara muslim terhadap orang kafir harbi hakiki, yaitu yang menampakkan permusuhannya dengan umat Islam, bahkan menyerang adalah mendakwahi mereka dengan Islam, jika mereka menolak, bahkan melawan dengan peperangan, maka akan diperangi.
Rasulullah saw. bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukannya, berarti mereka telah menjaga jiwa dan harta mereka dariku (Muhammad saw,), kecuali dengan alasan yang dibenarkan Islam serta hisab mereka diserahkan kepada Allah.” [HR Bukhâri].
Adapun kepada orang kafir yang mengadakan perjanjian (muahid) dengan daulah Islam atau kafir musta’min tidak boleh disakiti, dianiaya, atau dibunuh. Orang kafir musta’min yang telah mendapat jaminan keamanan dari pemerintahan Islam, mereka berhak tinggal di wilayah daulah Islam, tetapi tidak boleh lebih dari satu tahun. Sedangkan orang kafir muahid, mereka berhak mendapatkan pelaksanaan perjanjian dari pemerintahan Islam dalam waktu yang sudah disepakati, selama mereka tetap berpegang pada janji mereka tanpa menyalahinya sedikitpun, tidak membantu musuh yang menyerang kaum muslimin serta tidak mencela agama Islam.
Sedangkan berkaitan dengan kafir zimi, maka mereka menjadi warga negara pemerintahan Islam. Karenanya mereka mendapat hak, perlindungan, dan penjagaan dari pemerintahan Islam. Ahli zimi yang mampu diwajibkan membayar jizyah dan tunduk terhadap hukum-hukum Islam yang diterapkan negara. Sebagaimana warga negara muslim, warga negara nonmuslim juga mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi. Pemerintahan Islam harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, dan harta bendanya. Selain itu, kafir zimi dibolehkan tetap memeluk agama mereka dan beribadah berdasarkan keyakinannya. Demikian halnya berkaitan dengan urusan makan dan pakaian sesuai agama mereka dan tetap dalam koridor hukum syariat Islam. Urusan pernikahan dan perceraian antar-nonmuslim diperlakukan menurut aturan agama mereka.
Sedangkan dalam bidang publik seperti muamalah, uqubat (sanksi), sistem pemerintahan, sistem perekonomian, dan sebagainya, negara menerapkan syariat Islam kepada seluruh warga negara, baik muslim maupun nonmuslim, tanpa kecuali. Demikianlah Islam telah mengatur dengan sedemikian rupa hubungan kaum muslim dengan orang kafir. Demikian pula, Islam mengatur khalifah atau negara Islam dengan orang kafir dan negara kafir. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar
Posting Komentar