Pro Kontra Pengalihan Rumah Dinas Wakil Rakyat Menjadi Tunjangan Rumah
Oleh : Ummu Mumtazah
Setelah pengalihan kekuasaan dari rezim Jokowi (2019-2024) ke rezim baru Prabowo tentu banyak perubahan-perubahan Undang-Undang atau berbagai kebijakan. Semua itu lumrah terjadi walaupun orang-orang yang menjabatnya masih orang-orang yang sama karena tujuan mereka sama-sama ingin menguasai kekuasaan.
Sebelum menjabat, biasanya mereka difasilitasi dengan berbagai sarana prasara untuk memudahkan kinerja mereka dalam masa jabatannya.
Seperti fasilitas terkait rumah dinas diganti dengan tunjangan rumah, ironis bukan? Ditengah masyarakat kesulitan memperoleh rumah yang layak, mereka dengan bangganya mengemukakan tunjangan rumah tersebut untuk mempermudah kinerja mereka dalam mewakili suara rakyat. Namun melihat realita saat ini jauh panggang dari api, mereka para wakil rakyat (DPR) bukan mewakili rakyat tetapi mewakili para pengusaha.
Apalagi dengan adanya tunjangan rumah itu, bisa menjadi pemborosan anggaran dana dan mempersulit pengawasan penggunaan dana tersebut, karena dananya ditrasfer langsung ke rekening pribadinya masing-masing anggota dewan, kemungkinan besar hal itu akan memperkaya diri mereka.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga, kebijakan pemberian tunjangan perumahan Anggota DPR Periode 2024-2029 tidak memiliki perencanaan mengingat besarnya pemborosan anggaran atas tunjangan tersebut. Peneliti ICW Seira Tamara mengatakan, total pemborosan anggaran oleh anggota DPR untuk tunjangan perumahan berkisar dari Rp 1,36 triliun hingga Rp 2, 06 triliun dlama jangk waktu lima tahun ke depan. Karenanya, ia menduga kebijakan tunjangan tersebut hanya untuk memperkaya Anggota DPR. "ICW menduga bahwa kepentingan tersebut tidak memiliki perencanaan sehingga patut diduga gagasan pemberian tunjangan hanya memperkaya anggota DPR tanpa memikirkan kepentingan public," kata Seira dalam keterangan tertulis. Sabtu, 12/10/2024.
kompas.com.
Hal tersebut jelas menimbulkan pro kontra, karena tunjangan tersebut ironis jika dibandingkan dengan realita yang dihadapi rakyat saat ini, yang masih kesulitan memiliki rumah, harus banting tulang demi sebuah rumah. Bahkan, ada beban iuran Tapera bagi pekerja. Makin ironis, ketika keputusan anggota dewan justru membuat rakyat semakin susah hidupnya. Rakyat ingin rumah beli sendiri, sedangkan anggota dewan diberi tunjangan rumah secara gratis.
Begitulah kondisi masyarakat yang diwakili oleh wakil rakyat dalam sistem kapitalisme, mereka seenaknya membuat berbagai kebijakan dan Undang-undang tanpa melihat kondisi masyarakat.
Dalam sistem kapitalisme meniscayakan adanya politik dinasti, politik balas budi hingga politik memperkaya diri sendiri dan golongan, bukan mengurus rakyat tetapi menyusahkan rakyat dengan cara menggunakan kekuasaan untuk berbuat semena-mena terhadap rakyat. Padahal, semua itu akan dipertanggung jawabkan di akherat kelak dengan penyesalan yang tiada akhir.
Sistem kapitalisme hadir sebagai legitimasi atas penjajahan ekonomi. Atas nama hukum, para kapitalis yang memiliki simbiosis mutualisme dengan pejabat, termasuk wakil rakyat.
Para wakil rakyat dalam sistem kapitalisme, hanya mencari muka saja di depan rakyat bagaikan srigala berbulu domba seolah pro rakyat tetapi kenyataannya lebih memilih para penguasa, apa artinya suara rakyat yang tujuannya hanya untuk meraih suara rakyat demi meraih kekuasaan dan keuntungan materi semata. Kini masyarakat sudah tidak percaya lagi atas kepalsuan-kepalsuan yang mereka arahkan karena masyarakat sudah seringkali dibohongi dengan janji-janji palsu bak racun berbalut madu. Kini masyarakat butuh realita bukan janji semata, karena yang bisa memberikan itu semua tidak lain hanyalah sistem Islam yang membanggakan. Terbukti, selama 14 abad telah menorehkan tinta emas bagi kehidupan masyarakat secara nyata dan terasa bukan hanya janji manis tetapi benar-benar realistis.
Peran Wakil Rakyat dalam Islam
Peran wakil rakyat dalam sistem Islam, benar-benar menjalankan amanahnya secara sempurna, mengetahui aktivitas masyarakat secara realistis dan memahami apa yang tengah dirasakan dalam kehidupan masyarakat.
Wakil rakyat dalam Islam disebut Majelis Umat (MU) yang telah dipilih oleh umat dan perwakilan umat sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan nasehat dalam berbagai aktivitas dan perkara-perkara praktis yang berkaitan dengan pengaturan urusan umat. Mereka juga melakukan muhasabah ( mengontrol dan mengoreksi ) para pejabat pemerintahan ( Al Hukam ).
Keberadaan Majelis Umat ini (MU), mengambil dari aktivitas Rasulullah Saw,. yang sering meminta pendapat dan bermusyawarah dengan beberapa orang kaum Muhajirin dan kaum Anshor yang mewakili kaum mereka.
Dengan demikian, keberadaan MU ( Majelis Umat ) dengan DPR tentu berbeda dalam segi peran dan fungsinya. Majelis Umat, tugasnya murni atas dasar keimanan dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat. Mereka bertugas menjadi wakil rakyat dalam menyampaikan inspirasi/pendapat umat terhadap penguasa.
Majelis Umat/wakil rakyat, mereka fokus pada fungsi yang akan diwujudkan sebab statusnya sebagai amanah yang harus dipertanggung jawabkan dihadapan Alloh Swt. Mereka tidak tertarik dengan keistimewaan yang diberikan negara. Majelis Umat benar-benar wakil rakyat yang amanah, jujur dan terpercaya.
Walhasil, tidak ada wakil yang bisa dipercaya dalam mengemban aspirasi rakyat kecuali jika hukum Islam diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Wallaahu a'lam bish shawwab
Komentar
Posting Komentar