Kecurangan Pemilu Hal Biasa Dalam Demokrasi

 


Oleh : Sri Idayani

Aktivis Dakwah


JAKARTA- Anggaran Pilkada serentak 2024 ditaksir lebih dari Rp 41 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024. Angka ini bersumber dari besar anggaran yang telah disepakati pemerintah daerah (Pemda) dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) pilkada 2024 masing-masing bersama KPU, Bawaslu, TNI, dan kepolisian setempat, Rabu (10 Juli 2024).


Jumlah anggaran yang sangat besar untuk pelaksanaan pilkada serentak di tahun 2024 ini yaitu sekitar Rp 41 triliun. Jumlah ini hanya untuk proses pelaksanaannya saja, belum lagi biaya kampanye yang harus dikeluarkan oleh paslon. Ditengah krisis ekonomi yang sedang dialami oleh kebanyakan rakyat, hal ini tentu sangat menyayat hati. Terlebih lagi sumber dana tersebut berasal dari hibah APBD setiap daerah, sekitar 40 persen APBD 2023 dan 60 persen APBD 2024. Jika APBD tersebut dapat dibelanjakan untuk keperluan rakyat di tiap daerah tentu akan lebih bermanfaat. Namun dalam demokrasi rakyatlah yang selalu jadi korbannya. 


Dalam sistem ini selain menghabiskan dana yang besar, juga pada akhirnya menimbulkan berbagai macam praktek kecurangan. Seperti yang di kutip dari tirto.id - Pilkada Jawa Tengah 2024 ternodai dengan munculnya dugaan mobilisasi kepala desa (kades) untuk memenangkan salah satu kandidat. Mirisnya, praktik kotor semacam ini terjadi secara masif dalam beberapa pekan terakhir. Terbaru pada Rabu (23/10/2024) malam, puluhan kades yang tergabung dalam Paguyuban Kepala Desa (PKD) dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Tengah mengikuti pertemuan secara tertutup di Gumaya Tower Hotel, hotel bintang lima di Semarang, Sabtu (26 Oktober 2024).


Hal seperti ini memang lumrah terjadi pada demokrasi, ada saja pihak-pihak yang biasanya sedang berkuasa melakukan mobilisasi kepada aparatur yang dibawah naungannya. Dari tingkat aparatur desa seperti yang terjadi di Jawa Tengah sampai tingkat pegawai negara. Mereka diarahkan untuk memilih paslon tertentu sehingga tampak jelas kecurangan yang terjadi dalam sistem demokrasi ini, yang katanya menjunjung kebebasan dalam memilih.


Kampanye hitam juga sering terjadi, mulai dari membongkar boroknya lawan hingga mengatasnamakan agama dalam kampanyenya.


Dikutip dari REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) l, KH Zainut Tauhid Sa'adi menyampaikan, kampanye dengan menjanjikan masuk surga kepada para calon pemilihnya, sangatlah berlebihan dan melampaui batas kepatutan. Kiai Zainut mengatakan, masalah surga dan neraka itu buka hak seseorang yang menentukan tetapi merupakan hak prerogatif Tuhan. Hendaknya semua kontes Pilkada menghindari kampanye dengan model seperti ini, Ahad (27 Oktober 2024).


Nampak sangat berlebihan jika paslon tersebut menyatakan akan masuk surga karena memilihnya, sebab program yang dia tawarkan adalah menyantuni anak yatim dan akan mendapat syafaat dari Rasulullah shalallahu alaihi wasalam karena hal tersebut. Sebagai seorang muslim kita sangat paham bahwa semua umat muslim akan masuk surga, hanya saja seberapa lama kita dibersihkan di neraka. Dan juga tidak ada dalil yang menyatakan kita akan mendapat syafaat dari memilih paslon yang mempunyai program tertentu.


Kecurangan yang sangat sering terjadi adalah politik uang, dimana hal ini yang dapat membuat rakyat ikut memilih paslon tertentu. Yang awalnya tidak ingin memilih tapi karena ada politik uang, rakyat akan datang ke TPS untuk memilih paslon tersebut. Kejahilan yang terbesar di masyarakat adalah mereka menganggap itu sebuah keuntungan. Padahal ini merupakan suap (risywah) dan Allah SWT melaknat para pemberi dan penerima suap serta perantara diantaranya.


Mengapa rakyat sangat mudah dibeli dengan uang? Hal ini tidak terlepas dari kondisi ekonomi yang sulit. Dengan mendapatkan uang mungkin Rp. 100.000 atau Rp. 200.000 ribu rakyat sudah merasa untung. Karena dengan meluangkan waktu beberapa jam saja tanpa bekerja keras mereka sudah bisa mendapatkan uang. Tapi kita lupa bahwa Allah melaknat orang yang menerima suap, memberi bahkan perantaranya. Dan setiap manusia akan mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya tanpa bisa meminta pertolongan bahkan kepada sanak saudaranya.


Kondisi yang buruk dalam demokrasi ini, mulai dari anggaran yang besar, kecurangan, bahkan rakyat yang selalu jadi korban tentu hal ini tidak akan terjadi jika sistem Islam yang diterapkan. Tidak menghambur -  hamburkan anggaran yang dikeluarkan untuk memilih pemimpin, tidak ada kecurangan dan rakyat tidak akan jadi korban. Dalam Islam pemilihan pemimpin pada masa sahabat dilakukan dengan berbagai macam cara di antaranya :

1. Musyawarah - mufakat

Seperti dalam kejadian pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai Khalifah oleh para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar.

2. Pemilihan langsung

Seperti pemilihan Utsman bin Affan sebagai Khalifah pengganti Umar bin Khattab.


Dalam Islam, memilih pemimpin bukan hanya tugas politik, melainkan juga amanah dan tanggung jawab moral bagi masyarakat. Pemilihan pemimpin harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan pertimbangan yang matang. Pemimpin yang ideal memiliki sifat Siddiq (benar), amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan), dan Fathonah (cerdas). Sehingga tidak akan terjadi kecurangan dan rakyat akan merasa aman serta tenang jika memiliki pemimpin sesuai dengan kriteria syariat Islam.


Wallahu 'alam bishawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak