Mengejar Pajak, Negara Pemalak Rakyat?
Oleh >> Mial, A.Md.T (Aktivis Muslimah)
Pemerintah akan “mengejar” rakyat yang menunggak pajak kendaraan bermotor. Tim pembina Samsat akan mendatangi rumah pemilik kendaraan yang menunggak pajak, lalu ia akan diingatkan untuk membayarnya. Korlantas Polri menyatakan bahwa langkah ini ditempuh karena tingkat kepatuhan masyarakat melakukan perpanjangan STNK sangat minim. Dari total 165 juta unit kendaraan terdaftar, tidak sampai separuhnya yang membayar pajak. Selain mendatangi wajib pajak ke rumah, polisi juga akan melakukan penegakan hukum terhadap pengguna jalan.
Sementara itu, Menkeu Sri Mulyani Indrawati justru membebaskan mobil listrik impor dari pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 9/2024 tentang PPnBM atas impor dan atau penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor listrik berbasis baterai roda empat tertentu yang ditanggung pemerintah tahun anggaran 2024.
Para pengusaha juga dimanjakan dengan fasilitas tax holiday. Menkeu telah memperpanjang fasilitas tax holiday hingga 31 Desember 2025 melalui PMK 69/2024 tentang Perubahan atas PMK 130/PMK.010/2020. Hal ini dilakukan untuk menarik lebih banyak investasi asing ke Indonesia di tengah penerapan pajak minimum global 15% di berbagai negara (Menpan, 4-11-2024).
Tampak bahwa ada perlakuan yang berbeda dari pemerintah dalam hal pajak. Terhadap rakyat kecil, pemerintah berlaku tegas dan keras. Rakyat dikejar agar membayar pajak kendaraan bermotor. Jika menunggak, mereka akan ditagih petugas secara door to door. Namun, terhadap pengusaha justru pemerintah bersikap lembut dan fleksibel. Para pengusaha diberi fasilitas pembebasan pajak, yaitu bebas PPnBM dan tax holiday. Hal ini merupakan ketakadilan yang terang benderang.
Dalam kondisi yang demikian, rakyat masih ditekan dengan banyaknya pungutan pajak dan tarif pajak yang makin tinggi. Tercatat ada pajak pusat (PPh, PPN, PPnBM, dan Bea Meterai) dan pajak daerah (Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Air, BPHTB, Pajak Hotel, Pajak Hiburan, dan lainnya). Akibatnya, beban hidup rakyat makin berat.
Rakyat dari kalangan pekerja terpaksa menerima gaji yang tidak utuh karena telah dipotong PPh 21 dan aneka pungutan lain seperti iuran BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (JKK & JKm), BPJS Jaminan Pensiun, dan iuran Tapera. Tidak lupa PPN setiap kali membeli barang, juga retribusi parkir, dan lainnya. Tampak bahwa pungutan terhadap rakyat amat banyak. Akibatnya, rakyat miskin makin kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kehidupan mereka jauh dari gambaran sejahtera.
Dari sisi pemungutan, pajak membebani rakyat kecil. Namun, dari sisi distribusi, dana pajak tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat kecil. Selama ini, pajak menjadi sumber pemasukan utama di negeri ini. Sayang sekali, penerimaan sebesar itu tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pajak dalam Kapitalisme, Menyengsarakan
Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi sumber pemasukan utama negara. Di Indonesia, kondisinya pun demikian. Realisasi penerimaan pajak 2023 mencapai 78% dari total penerimaan negara yang sebesar Rp2.774,3 triliun (Kemenkeu, 10-1-2024). Sedangkan penerimaan dari sumber daya alam (SDA) hanya sebesar Rp223 triliun atau 8% dari total penerimaan negara.
Negara dalam sistem kapitalisme menyerahkan kekayaan SDA pada swasta lokal maupun asing dan hanya mendapat dividen yang sangat kecil. Untuk membiayai kebutuhan negara, pemerintah menggenjot penerimaan pajak. Rakyat dikejar-kejar pajak, bahkan nyaris semua aspek dalam kehidupan dipajaki. Ini dilakukan demi mencapai target penerimaan pajak yang terus naik setiap tahunnya. Miris, kekayaan alam milik rakyat diberikan pada swasta kapitalis, tetapi rakyat justru dipaksa membayar pajak dalam jumlah besar.
Akibatnya, kehidupan rakyat makin sulit. Sedangkan para pengusaha kapitalis makin kaya raya. Gap pendapatan antara orang-orang kaya dengan rakyat miskin makin besar.
Miris, inilah gambaran penerapan pajak dalam sistem kapitalisme yang menyengsarakan rakyat. Negara berposisi sebagai pemalak yang membebani rakyat dengan aneka pajak. Ini tidak lepas dari posisi penguasa dalam kapitalisme yang berposisi sebagai regulator. Ini sungguh berbeda dengan pengaturan dalam sistem Islam.
Sistem Ekonomi Islam Menyejahterakan
Di dalam sistem Islam, penguasa berposisi sebagai ra’in (pengurus) terhadap urusan rakyat. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw., “Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Negara Islam (Khilafah) menjalankan politik ekonomi Islam, yaitu memenuhi kebutuhan pokok rakyat (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan) tiap individu dan mewujudkan kemampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier). Negara menerapkan sistem ekonomi Islam di bidang industri, pertanian, dan perdagangan sehingga mampu membuka lapangan kerja seluas-luasnya.
Adapun pendidikan, kesehatan, dan keamanan disediakan negara secara gratis dan berkualitas sehingga semua rakyat bisa menikmatinya tanpa biaya. Negara juga menyediakan fasilitas publik seperti transportasi, bahan bakar minyak, listrik, gas, dan lainnya dengan murah bahkan gratis sehingga rakyat mudah mengaksesnya. Dengan riayah (pengurusan) oleh Khilafah ini terwujudlah kesejahteraan pada tiap-tiap individu rakyat.
Negara Khilafah bisa mewujudkan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat tersebut karena memiliki APBN berupa baitulmal yang sumber pemasukannya luar biasa besar. Berdasarkan buku Sistem Keuangan Negara Khilafah karya Syekh Abdul Qadim Zalim rahimahullah, pemasukan Khilafah berasal dari tiga bagian, yaitu fai dan kharaj, kepemilikan umum, dan zakat. Bagian fai dan kharaj terdiri dari seksi ganimah, kharaj, status tanah, jizyah, fai, dan dharibah. Bagian kepemilikan umum terdiri dari seksi migas; listrik; pertambangan; laut, sungai, perairan, dan mata air; hutan dan padang rumput; serta aset yang diproteksi negara. Bagian zakat terdiri dari zakat uang dan perdagangan; zakat pertanian dan buah-buahan; serta zakat ternak sapi, unta, dan kambing.
Negeri-negeri muslim dikaruniai kekayaan alam yang luar biasa, termasuk pertambangan yang terkategori kepemilikan umum. Dari sektor ini saja, dengan pengelolaan oleh negara berdasarkan syariat, akan memberikan hasil yang luar biasa nilainya secara ekonomi. Dengan penerimaan baitulmal yang luar biasa besarnya, terutama dari sektor pertambangan, Khilafah akan mampu membiayai belanja negara dan pembangunan tanpa mengalami defisit (berutang) dan tanpa memungut pajak.
Dengan demikian, Khilafah tidak akan menetapkan target pajak tahunan. Khilafah juga tidak akan memajaki rakyat seperti penguasa kapitalis hari ini. Memang ada salah satu pemasukan negara yang disebut pajak (dharibah), tetapi penerapannya jauh berbeda dengan pajak dalam kapitalisme.
Pajak di dalam sistem Islam hanya dipungut ketika kas negara kosong, sedangkan pada saat yang sama ada kebutuhan rakyat yang harus dipenuhi. Pajak tidak boleh dipungut ketika di baitulmal ada harta.
Selain itu, pajak di dalam sistem Islam hanya dipungut dari laki-laki muslim kaya saja, sedangkan perempuan, anak-anak, orang miskin, dan nonmuslim tidak dipungut pajak. Dengan demikian, pemungutan pajak di dalam sistem Islam tidak akan menimbulkan kezaliman. Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar