PPN Terus Naik Demi APBN, Tak Ada Jalan Lain?
Oleh: Syahraeni, SP
(Aktivis Daqwah)
”Menarik pajak tanpa timbal balik untuk rakyat adalah sebuah bentuk kejahatan”. Begitulah gugatan warga RI yang viral di media sosial usai PPN dinyatakan jadi naik 12%.
Sebelumnya, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang dipastikan oleh Kementerian Keuangan akan mulai diterapkan pada awal tahun 2025. Penyesuaian ini didasarkan pada keputusan yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyadari bahwa kebijakan ini pasti akan melahirkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Namun, menurutnya penyesuaian PPN diperlukan di tahun depan agar pemerintah bisa menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). (tirto.id, 15-11-2024)
Kenaikan tarif PPN ini juga dimaksudkan sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan negara, guna menunjang pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan negara pada utang. Meski fakta pada penerapannya, belum tentu sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pasalnya, kondisi ekonomi yang belakangan ini sedang tidak menentu, ditambah daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan. Hal ini nampak dari data pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang selama empat triwulan berturut-turut hanya tumbuh di bawah angka 5 persen. Yaitu, di triwulan IV-2023 (4,47%); triwulan I-2024 (4,91%); kemudian triwulan II-2024 (4,93%); dan triwulan III-2024 (4,91%). Hal ini mengingat konsumsi rumah tangga masih menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, yakni menyumbang lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Tentu, harapan untuk menambah pendapatan negara adalah suatu hal yang tidak pasti.
Sementara kesulitan dalam perekonomian akan dihadapi oleh rakyat, naiknya PPN berarti barang dan jasa otomatis mengalami kenaikan. Belum lagi pada budaya korupsi dalam negeri dan ketergantungan pemerintah dengan utang yang juga berdampak buruk pada perekonomian negara.
Meski pemerintah mengatakan bahwa pajak akan dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk bantuan dan subsidi, namun faktanya bantuan tersebut tidak menyasar masyarakat luas. Pun pada subsidi yang terus dikurangi tiap tahunnya. Bukan hal tidak mungkin bila masyarakat melayangkan protes terkait kenaikan PPN ini.
Situasi ini adalah konsekuensi nyata dari penerapan sistem ekonomi Kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Sistem kapitalisme berjalan diatas paradigma yang menjadikan pajak sebagai jalan untuk menutupi defisit anggaran negara akibat sistem ekonomi yang berbasis utang. Akibatnya, rakyat terus dipalak dengan berbagai jenis pungutan/pajak, termasuk PPN yang bersifat regresif, yang berujung membebani semua kalangan, termasuk golongan dengan penghasilan rendah.
Di sisi lain, negara saat ini hanya berperan sebagai regulator dalam mengambil kebijakan yang pada intinya melayani kepentingan para pemilik modal dengan mengorbankan rakyat. Negeri ini khususnya yang kaya akan SDA sepenuhnya diserahkan kepada pemodal asing yang sebenarnya jika dikelola dengan baik dapat mensejahterakan seluruh rakyat. Namun, pemerintah hanya mengambil andil sebagai pembuat regulasi dengan tujuan pengawasan semata.
Kebijakan pajak ini di tengah sulitnya ekonomi rakyat, sesungguhnya sangatlah zalim. Kezaliman khususnya terkait harta yang dipungut oleh penguasa terhadap rakyatnya, adalah haram dalam Islam. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 188 yang artinya, “Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil.”
Selain itu, penguasa dalam Islam adalah pelayan/pengurus rakyat. Pelayan/pengurus rakyat tentu tidak sepatutnya memalak rakyatnya dengan aneka pajak. Rasulullah saw. bersabda, “Penguasa adalah pengurus rakyat serta dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam sistem Islam, perekonomian negara pun diatur dengan hukum-hukum Islam, termasuk dalam pengelolaan APBN, baik terkait pemasukan maupun pengeluarannya. Salah satu sumber terbesar APBN dalam Islam ialah harta milik umum. Terkait harta milik umum ini Rasulullah saw. bersabda, “Manusia berserikat dalam tiga hal, yakni diantaranya air, padang rumput, dan api (energi).” (HR. Abu Dawud).
Hadis diatas berarti bahwa semua sumber daya alam, di antaranya tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum. Harta milik umum ini hukumnya wajib dan hanya dapat dikelola oleh negara. Hasil dari pengelolaan itu diberikan kepada seluruh rakyat, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sumber harta milik umum ini statusnya haram untuk diberikan kepada individu dan swasta terlebih dikuasai oleh pihak pemodal asing.
Seorang ekonom muslim Muhammad Ishak (2024), dalam sebuah penjabarannnya terkait potensi pendapatan negara Indonesia dari kekayaan sumber daya alam. Yang terdiri dari minyak mentah, gas alam, batu bara, emas, tembaga, nikel, hutan hingga kelautan yang jika dikalkulasikan akan berpotensi menyumbang pendapatan kepada negara sebesar Rp5.510 triliun (jauh melebihi kebutuhan APBN yang hanya sekitar Rp3.000 triliun). Dengan itu tentu negara tidak perlu memungut pajak dari rakyat ataupun menimbun hutang luar negeri.
Hanya saja, pengelolaan itu hanya ada dalam syariat Islam yang diaplikasikan oleh negara. karena syariat Islam hadir sebagai solusi atas problematika umat dalam semua aspek kehidupan. Tidak terkecuali dalam pengelolaan perekonomian, di antaranya terkait APBN. Sebagaimana telah tercatat dalam sejarah, dengan penerapan sistem Islam selama lebih dari 13 abad berhasil menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya tanpa memalak mereka dengan aneka pajak yang menyengsarakan.
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menzalimi seseorang yang telah terikat perjanjian, atau mengurangi haknya, atau mengambil sesuatu dari dirinya tanpa keridhoannya, atau membebaninya di luar dari kemampuannya, maka aku akan menjadi lawannya pada Hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i).
Wallahu a’lam bisshowab
Komentar
Posting Komentar