Bencana dimana-mana, Bukti nyata Peran negara!!

Oleh : Wiwik Afrah (Aktivis Muslimah)

Sukabumi mengalami banjir besar. Banjir yang terjadi merupakan dampak dari hujan deras yang mengguyur Kabupaten Sukabumi selama dua hari berturut-turut. Sungai Cimandiri meluap dan merendam puluhan rumah di Kampung Mariuk, RT 01, RW 01, Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi. Nyaris setiap hari beragam bencana terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Mulai dari banjir, kekeringan dan krisis air, kelaparan, erupsi, puting beliung, tanah longsor, dll. Bencana banjir bahkan terjadi di semua pulau besar Indonesia, mulai ujung Sumatra hingga Papua. Setidaknya ada total 328 titik bencana berupa banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, dan pergerakan tanah yang terjadi di 39 kecamatan. Bencana ini mengakibatkan 10 orang tewas dan 2 orang lainnya dinyatakan hilang. Sebanyak 892 kepala keluarga (KK) atau 2.871 jiwa mengungsi, sedangkan 3.156 KK atau 4.899 jiwa terdampak secara langsung.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sendiri mengingatkan, ke depan seluruh daerah di Indonesia masih harus bersiaga. Peningkatan intensitas hujan hingga awal 2025 nanti menyebabkan potensi bencana alam masih mengancam. Sudah dimaklumi, secara geografis Indonesia adalah negeri rawan bencana. Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim, yakni panas dan hujan, dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu, dan arah angin yang cukup ekstrem. Tidak heran jika potensi bencana di Indonesia sangat besar, mulai dari kegempaan, gunung meletus, longsor, tsunami, banjir, kekeringan, kebakaran, dan sebagainya.

Tentu saja fakta-fakta ini menuntut adanya sikap mental tanggap bencana pada diri semua pihak, terutama pada para penguasa yang menjadi pengurus rakyatnya. Namun sayangnya, setiap terjadi bencana pemerintah nyaris selalu gagap. Bahkan pada banyak kasus, pemerintah kalah cepat oleh LSM, ormas, parpol, atau masyarakat biasa. Apalagi berbicara soal mitigasi pasca bencana. Dampak berbagai bencana yang membutuhkan penanganan berkelanjutan seperti bencana banjir bandang disertai lahar dingin Gunung Marapi di Sumatra Barat yang terjadi pada Mei 2024, banjir disertai tanah longsor di Kabupaten Luwu (Sulawesi Selatan) pada Februari 2024, bahkan gempa Cianjur yang terjadi pada 2022 dan menewaskan 334 orang, hingga hari ini kondisinya belum benar-benar bisa dipulihkan.Makin luasnya titik kejadian dan kian banyaknya jumlah korban bencana sejatinya menunjukkan bahwa mitigasi tidak benar-benar berjalan sebagaimana seharusnya. Masyarakat sering kali menyelesaikan persoalan mereka secara swadaya. Sedangkan pemerintah menolong seadanya dan selalu berkutat dengan persoalan kekurangan dana. Wajar jika masyarakat memilih tidak terlalu berharap banyak pada pemimpinnya karena negara memang antara ada dan tiada.

Kentalnya paradigma pembangunan sekuler kapitalistik membuat para penguasa tidak memiliki sensitivitas dan keinginan serius untuk menyolusi perihal bencana sejak dari akarnya. Bahkan, kita dapati banyak kebijakan penguasa yang justru menjadi penyebab munculnya bencana hingga berpotensi mendatangkan bencana baru berikutnya. Lihat saja, rata-rata analisis penyebab dan dampak beberapa bencana selalu menunjuk pada kebijakan penguasa. Contohnya, penggundulan hutan dan alih fungsi lahan terutama di zona penyangga (hutan). Temuan Walhi tahun 2022 menyebut 35% hutan kita rusak, bahkan hilang. Juga proyek-proyek industrialisasi di berbagai daerah, pembangunan fisik yang jor-joran, serta penanganan daerah aliran sungai yang timbul tenggelam, dan sebagainya. Semuanya seakan sulit dilakukan karena berkelindan dengan kepentingan para pemilik modal.

Banyak pula aktivis lingkungan yang protes tentang kebijakan AMDAL yang saat ini sangat longgar. Pelaku usaha kelas kakap berani menjalankan usaha meski izin belum keluar. Tidak sedikit di antara mereka yang lolos hukum meski jelas melanggar aturan. Kongkalikong kapitalis dan pejabat penguasa memang masih jadi budaya di Indonesia. Begitu pun soal mitigasi bencana. Selama ini, masyarakat selalu jadi pihak yang disudutkan. Pengetahuan minimlah, tidak mau direlokasilah, tidak bisa diaturlah, dan sebagainya. Padahal semua menyangkut political will penguasa. Ketersediaan data dan informasi, minimnya pengetahuan masyarakat, ketersediaan teknologi, fasum, dan alat, semuanya adalah tanggung jawab para penguasa. Masyarakat memang butuh dicerdaskan. Juga butuh difasilitasi dan diberi jaminan kesejahteraan. Mereka hanya berpikir, jika mereka meninggalkan kampung halaman, mereka tinggal di mana dan hidup seperti apa? Penguasa hanya menuntut rakyat demikian, sedangkan solusinya tidak ada. Oleh karenanya, jangan salahkan rakyat jika makin lama mereka makin tidak percaya pada para penguasa

Berbeda dengan paradigma sekularisme kapitalisme, Islam menetapkan bahwa fungsi kepemimpinan adalah mengurusi urusan umat (raa’in) dan menjaga mereka (junnah). Oleh karenanya, penguasa wajib mengerahkan segala daya untuk menyejahterakan umat dan menjauhkan mereka dari semua hal yang membinasakan. Bahkan bukan hanya untuk urusan di dunia, tetapi juga urusan akhirat rakyatnya.Dalam konteks bencana, para pemimpin Islam dituntut untuk melakukan berbagai hal demi mencegah bencana, sekaligus menghindarkan masyarakat dari risiko bencana. Yang paling mendasar adalah dengan cara menerapkan aturan dan kebijakan yang tidak merusak lingkungan atau melakukan dan membiarkan hal-hal yang bisa mengundang azab Allah Taala

Dalam hal ini, pemimpin Islam akan membuat berbagai kebijakan khusus, mulai dari penataan lingkungan dikaitkan dengan strategi politik ekonomi Islam yang menjamin kesejahteraan orang per orang. Juga sistem keuangan, pertanahan hingga sanksi untuk mencegah pelanggaran.

Adapun di tempat-tempat yang rawan bencana, harus ada kebijakan yang lebih khusus lagi. Tentu tidak hanya menyangkut kesiapan mitigasi risiko, tetapi juga soal manajemen kebencanaan (disaster management). Mulai dari pendidikan soal kebencanaan, pembangunan infrastruktur, serta sistem peringatan dini dan penanganan bencana yang lebih sistemik dan terpadu. Begitu pun soal sistem logistik kedaruratan, serta sistem kesehatan yang menjadi bagian integral dari sistem penanganan terpadu kebencanaan benar-benar akan diperhatikan. Semua ini sangat niscaya dilakukan karena ditopang dengan sistem keuangan Islam yang sangat kuat. Sumber-sumber pemasukan negara begitu besar, terutama dari kepemilikan umum seperti hasil pengelolaan SDA yang secara syar’i wajib masuk ke kas negara. Dengan demikian, persoalan dana tidak akan menjadi penghambat yang serius bagi mitigasi bencana. Atau bahkan menjadi alasan bagi aktor negara asing maupun lembaga nonnegara untuk membangun pengaruh politik melalui tawaran utang dan bantuan.

Hanya sistem kepemimpinan Islam yang bisa diharapkan mampu menyelesaikan problem bencana dengan solusi yang mendasar dan tuntas. Dimulai dari fondasi negara dan kepemimpinan yang lurus, yakni berlandas tauhidullah, lalu ditopang oleh penerapan syariat Islam secara kafah. Inilah yang akan menjadi pintu pembuka bagi datangnya rida Allah Swt. sekaligus kebaikan hidup yang dirasakan oleh semua.Oleh karenanya, sudah saatnya umat bersegera mewujudkan kepemimpinan Islam. Tentu dimulai dengan aktivitas dakwah pemikiran yang bertarget memahamkan umat dengan akidah dan hukum-hukum Islam dengan pemahaman yang benar dan komprehensif.Harapannya, tergambar pada diri umat bahwa Islam adalah solusi seluruh problem kehidupan, sekaligus jalan keselamatan. Tidak hanya menyelamatkan mereka dari bencana di dunia saja, tetapi juga bencana yang lebih berat di akhirat.

Wallahu ‘alam bisshowab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak