JAMINAN KESEHATAN BERMASALAH
Oleh : Wiwik afrah ( Aktivis Muslimah)
Program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN menghadapi risiko beban jaminan kesehatan yang lebih tinggi dari penerimaannya. Muncul saran agar iuran naik, tetapi berdasarkan perhitungan terbaru, iuran BPJS naik hingga 10% pun tidak cukup dan masih berpotensi menyebabkan defisit dana jaminan sosial. Kepala Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Rizzky Anugerah menjelaskan rasio beban jaminan kesehatan terhadap penerimaan iuran JKN sampai Oktober 2024 telah mencapai 109,62%, yang berarti beban yang dibayarkan lebih tinggi dari iuran yang didapat. BPJS Kesehatan mencatat penerimaan iuran sebesar Rp133,45 triliun, sedangkan beban jaminan kesehatan sebesar Rp146,28 triliun."Jika berkaca dari kondisi rasio klaim tahun 2024 yang sudah mencapai 109,62%, sepertinya kenaikan iuran sebesar 10% tidak mencukupi untuk menutup kebutuhan biaya layanan kesehatan dan berpotensi akan terjadi defisit hingga gagal bayar," kata Rizzky kepada Bisnis, Jumat (6/12/2024). Namun demikian, Rizzky menegaskan, perhitungannya tersebut sangat tergantung dari kebijakan pemerintah terkait manfaat dan tarif yang akan ditetapkan nantinya seperti apa.Jika iuran tidak naik, BPJS Kesehatan memperkirakan pada 2026 tidak akan bisa membayar klaim rumah sakit.
Kenaikan iuran BPJS seolah-olah menjadi opsi yang tidak bisa dihindarkan karena inflasi kesehatan. Apalagi biaya layanan kesehatan di Indonesia memang mahal. Menkes Budi Gunadi mengatakan, harga obat di Indonesia lima kali lipat lebih mahal dari Malaysia dan layanan kesehatan juga mahal. Walhasil, penyebab hakiki defisit BPJS adalah mahalnya biaya kesehatan sehingga iuran peserta tidak cukup untuk memenuhinya. Presiden Jokowi pada 24 April 2024 mengatakan, saat ini jumlah dokter di Indonesia masih kurang. Rasionya hanya 0,47 per seribu penduduk, padahal rasio standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 1 per seribu penduduk. Indonesia masih kekurangan 124 ribu dokter umum dan 29 ribu dokter spesialis. Menkes Budi Gunadi pun mengatakan Indonesia butuh 20 tahun untuk mencapai jumlah dokter spesialis yang sesuai standar dunia Selain kurang, sebaran tenaga kesehatan juga tidak merata. Banyak dokter masih terkonsentrasi di Jawa. Sebanyak 59% dokter spesialis terkonsentrasi di Jawa. Di Jakarta, satu dokter melayani 608 penduduk, sedangkan di Sulawesi Barat, satu dokter melayani 10.417 penduduk.
Fasilitas kesehatan yang tersedia juga tidak merata sehingga banyak penduduk melakukan self medication, yaitu pengobatan mandiri tanpa konsultasi ke tenaga kesehatan. Data BPS menunjukkan bahwa 80,9% penduduk perdesaan dan 78,8% penduduk perkotaan pernah melakukan self medication. Berbagai sengkarut problem kesehatan tersebut terjadi karena kesalahan paradigma tentang kesehatan. Di dalam sistem kapitalisme, kesehatan merupakan komoditas bisnis sehingga para kapitalis (pemilik modal) akan berlomba-lomba menyediakannya dengan harga yang mahal demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Terjadilah kapitalisasi kesehatan hingga muncul ungkapan “orang miskin dilarang sakit”. Di sisi lain, penguasa/negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator terhadap urusan kesehatan. Negara tidak memastikan tiap-tiap rakyat bisa mengakses layanan kesehatan. Negara merasa sudah cukup memberikan jaminan kesehatan dengan membentuk BPJS Kesehatan dan membiarkan rakyat membiayai layanan kesehatan dengan membayar iuran.
Negara justru membuka pintu lebar-lebar bagi para kapitalis (swasta) untuk menguasai sektor kesehatan, mulai dari industri obat, alat kesehatan, hingga jaringan apotek dan rumah sakit. Regulasi dan kebijakan pemerintah justru melegalkan kapitalisasi kesehatan sehingga kesehatan makin mahal dan sebarannya tidak merata yang mengakibatkan banyak rakyat kesulitan mengaksesnya, padahal rakyat membayar iuran kesehatan yang nominalnya pun terus naik. Pemerintah menjanjikan kesehatan menjadi prioritas anggaran, tetapi kenyataannya kesehatan tetap saja mahal dan sulit diakses.
Islam memosisikan kesehatan sebagai kebutuhan dasar. Hal ini berdasarkan hadis, “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan penawarnya.” (HR Bukhari). Rasulullah saw. juga bersabda, “Barang siapa bangun di pagi hari dalam keadaan merasakan aman pada dirinya, sehat badannya, dan ia memiliki makanan untuk hari itu maka seolah-olah seluruh dunia dikuasakan kepadanya.” (HR Tirmidzi).
Pemimpin di dalam Islam wajib menjadi raa’in (pengurus) terhadap urusan rakyat. Negara wajib memastikan tiap-tiap individu rakyat mendapatkan layanan kesehatan. Tidak boleh ada rakyat yang terabaikan kesehatannya. Negara akan memastikan kesehatan rakyat terpenuhi dalam aspek tenaga kesehatan, yaitu meliputi kecukupan jumlahnya, sebaran yang merata, kualitasnya harus sesuai standar, dan ketersediaan pendidikan yang mencetak tenaga kesehatan yang berkualitas secara gratis sehingga bisa dijangkau oleh semua orang. Negara juga memastikan ketersediaan fasilitas kesehatan dengan jumlah yang mencukupi di semua jenjang (primer, sekunder, dan tersier), kelengkapan alat kesehatan, dan ketersediaan obat untuk semua jenis penyakit yang diproduksi oleh industri farmasi dalam negeri. Jika diperlukan, negara akan menyediakan rumah sakit keliling dan kapal rumah sakit untuk melayani rakyat di daerah pelosok dan terpencil.
Negara juga melakukan upaya preventif untuk mencegah rakyat sakit, yaitu dengan edukasi melalui sistem pendidikan dan informasi (i’lamiyah), vaksinasi, penerapan pola makan dan gaya hidup sehat ala Islam, penyediaan rumah dan lingkungan yang bersih dan sehat, penyediaan air bersih untuk konsumsi dan sanitasi, jaminan ketersediaan makanan dan minuman yang sehat bergizi, penyediaan alat dan tempat olahraga untuk rakyat, pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga dengan baik, penanaman toga di lingkungan permukiman, dan lain-lain. Semua rakyat, baik kaya ataupun miskin, muslim ataupun kafir, berhak menikmati layanan kesehatan gratis dengan kualitas layanan terbaik. Di rumah sakit, setiap pasien diterima dan mendapatkan layanan kesehatan, termasuk fasilitas kamar, baju ganti, makanan, dan obat.
Negara menyediakan kampus kesehatan, staf pengajar, laboratorium, dan fasilitas lainnya. Negara juga membangun industri farmasi sehingga kebutuhan obat bisa dipenuhi secara mandiri, tidak perlu impor. Semua layanan tersebut disediakan negara secara gratis. Sumber pendanaannya dari baitulmal, terutama dari pos kepemilikan umum yang di antaranya meliputi hutan, laut, sungai, dan berbagai tambang. Negara mengelola pos ini secara amanah sesuai syariat Islam dan mengembalikan hasilnya untuk kemaslahatan rakyat, termasuk untuk penyediaan layanan kesehatan gratis. Dengan demikian, kesehatan untuk semua rakyat akan terwujud nyata dalam sistem Islam (Khilafah).
Sejarah peradaban Islam mencatat bahwa layanan kesehatan pada masa Khilafah luar biasa bagus dan benar-benar gratis. Dari Zaid bin Aslam, dari bapaknya, ia berkata, “Saya pernah sakit keras pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Khalifah Umar memanggil dokter untukku.” (HR Al-Hakim).Para khalifah membangun bimaristan (rumah sakit) dan terus-menerus menyempurnakannya. Salah satunya adalah Bimaristan Al-Mansouri yang dibangun di Kairo, Mesir pada 1248 M dengan 8.000 tempat tidur dan banyak bangsal khusus. Rumah sakit ini dilengkapi fasilitas ruang salat untuk pasien.
Negara membangun bimaristan khusus untuk penyakit tertentu, seperti bimaristan psikiatri dan bimaristan kusta. Tersedia juga bimaristan keliling bagi para musafir.
Pada masa Khalifah Al-Muqtadir (908—932 M) dan Al-Qahir (932—934 M) dari Khilafah Abbasiyah, negara menyediakan dokter-dokter untuk para narapidana di penjara setiap hari, membawa obat-obatan dan minuman untuk mereka, berkeliling ke seluruh bagian penjara, dan mengobati yang sakit (Ibn Qifthi, Tarikh al-Hukama’).
Penguasa dalam Khilafah gemar mewakafkan hartanya untuk keperluan umat, termasuk kesehatan. Seorang penguasa bernama Saifuddin Qalawun (673 H/1284 M) mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan rumah sakit Al-Manshuri Al-Kabir, termasuk membayar gaji karyawan rumah sakit. Di rumah sakit tersebut ada petugas yang khusus berkeliling setiap hari untuk memberikan motivasi kepada para pasien. Dr. Ragib As-Sirjani dalam buku Masterpieces of Awqaf in Islamic Civilization menulis, rumah sakit wakaf tersebar luas pada masa Khilafah Abbasiyah. Para khalifah mendatangkan para dokter senior untuk bekerja di rumah sakit itu. Negara membeli kitab-kitab karya para ilmuwan medis dan mewakafkannya untuk rumah sakit umum sehingga para dokter junior dapat memanfaatkannya. Di Bagdad ada Rumah Sakit Al-Adhdi. Pengobatannya gratis untuk seluruh penduduk. Pasien mendapatkan perhatian yang istimewa di rumah sakit dengan mendapatkan pakaian baru yang bersih, berbagai macam gizi, obat-obat sesuai keperluan, dan setelah sembuh, pasien diberi biaya transportasi agar dapat kembali ke negerinya.Rumah sakit dalam Khilafah memiliki aula yang besar untuk perkuliahan kedokteran, juga perpustakaan yang memiliki banyak koleksi buku yang diperlukan para dokter dan mahasiswa. Perpustakaan di Rumah Sakit Ibnu Thulun di Kairo memiliki lebih dari 100 ribu buku.Semua ini menggambarkan tanggung jawab pemimpin dalam Khilafah terhadap urusan kesehatan rakyat. Negara Khilafah menjamin penuh kesehatan sehingga terwujudlah kesehatan untuk seluruh rakyat.
Wallahu alam bissawab
Komentar
Posting Komentar