Karhutla Berulang, Imbas Kapitalisme!
Oleh : Ayu Ummu Umar
Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) tak kunjung usai, terlebih lagi adanya peningkatan jumlah titik api di daerah Riau, di mana titik api terus bermunculan di seluruh wilayah kabupaten/kota.
Menurut laporan dari data yang di terima hingga hari Jumat (19/4/2024), temuan titik api telah mencapai 126 titik dengan hotspot berjumlah 1.009 titik.
Salah satu kota paling terdampak adalah Dumai dengan 30 titik api serta 231 hotspot, kedua adalah Kabupaten Meranti dengan 24 titik api serta 328 hotspot, dan ketiga adalah Bengkalis dengan 19 titik api serta 76 hotspot. Dilansir dari mcr.com (20/4/2024), Edy Afrizal selaku Kalaksa BPD Riau juga menuturkan bahwa data yang di terima memang masih banyak jumlahnya, dan kejadian ini merupakan perkara yang cukup serius hingga harus menjadi perhatian bersama. Selain itu, Edy juga telah memberikan peringatan agar sekiranya pemilik lahan, perusahaan maupun masyarakat tidak melakukan kegiatan pembakaran untuk membuka lahan. Sebab dengan demikian, Karhutla dapat ditekan. (Halloriau.com, 20/4/2024)
Sungguh ironis, Karhutla tak hentinya membayangi dunia terlebih bumi pertiwi. Bagaimana tidak, adanya peningkatan suhu udara yang cukup panas serta kurangnya kesadaran pemilik lahan, hingga pihak perusahaan yang seringkali membuka lahan dengan cara membakar. Terlebih lagi, tidak adanya upaya serius oleh negara dalam mitigasi ancaman Karhutla yang pada akhirnya menyebabkan kejadian ini terus berulang.
Dalang di Balik Karhutla
Terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang sering kali berulang tampaknya sudah menjadi hal yang biasa saja di negara ini. Bagaimana tidak, respons pemerintah terkesan lamban dalam menangani permasalahan Karhutla. Adapun potensi terjadinya Karhutla, pada umumnya disebabkan oleh dua faktor yakni karena faktor alam dan non alam. Jika ditinjau dari faktor alam, oleh karena adanya fenomena alam seperti perubahan cuaca yang cukup ekstrem atau adanya peningkatan suhu udara pada musim kemarau, erupsi gunung merapi serta akibat sambaran petir. Sedangkan pada faktor non alam disebabkan karena ulah tangan jahil manusia hingga akibat kelalaiannya. Setelah di telusuri, kejadian yang menimpa Riau tersebut disebabkan karena ulah manusia di perparah dengan cuaca panas dan banyaknya jumlah titik hotspot.
Dilansir dari media center Riau (23/4/2924), Karhutla disebabkan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh empat pelaku Karhutla yang berhasil diamankan oleh Polda Riau pasca pembakaran 7 hektare lahan pada bulan Maret 2024. Disisi lain, maraknya Karhutla yang terjadi dalam negeri, juga tidak lepas dari peran oligarki dan korporasi yang menjadi dalang dibalik Karhutla demi ekspansi sektor sawit. Ironisnya, pemerintah sebagai regulator korporat berperan aktif dalam memfasilitasi kapitalisasi lahan dan hutan gambut dalam negeri. Melansir hukumonline.com (16/8/2022) tercatat ada 94,8% lahan yang dikuasai oleh korporasi.
Imbas Kapitalisme
Kapitalisasi lahan yang ditunggangi oligarki dan korporasi nyatanya banyak membawa dampak buruk bagi lingkungan sekitar terlebih manusia. Kabut asap yang menyelimuti wilayah Riau menyebabkan masalah kesehatan yang cukup serius seperti Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dengan gejala pilek, batuk dan sesak nafas. Kemudian, kabut asap juga mengiritasi mata, hidung dan tenggorokan. Selain berdampak bagi kesehatan, Karhutla juga sangat mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat dan wilayah sekitarnya yang rata-rata menggantungkan perekonomian pada perkebunan dan pertanian.
Tidak hanya itu, hal ini juga berdampak bagi negara yakni menurunnya devisa negara yang tidak hanya pada produksi kayu tetapi juga non kayu serta pada sektor pariwisata. Belum lagi, anggaran dana yang akan terus terkuras karena harus menangani atau menghentikan kebakaran hutan dan merehabilitasinya. Besarnya andil para kapitalis dalam tragedi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) adalah salah satu bukti bahwa sistem yang diterapkan hari ini adalah sistem yang rusak dan merugikan. Dampak yang ditimbulkan oleh kapitalisasi lahan dan hutan, menjadi ancaman serius terhadap keberlangsungan vegetasi di muka bumi.
Solusi Islam terhadap Karhutla
Jauh sebelumnya, Allah telah menciptakan alam semesta yang semuanya serba seimbang. Termasuk dengan penciptaan hutan yang memiliki banyak manfaat. Keberadaan hutan sangatlah penting sebab hutan merupakan paru-paru dunia, yang sangat berperan penting dalam keberlangsungan makhluk hidup di muka bumi.
Dalam Perspektif Islam, keberadaan hutan tentunya haruslah senantiasa dijaga oleh manusia sebagai wakil dari Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah Swt. dalam (QS. Al-A'raf [7]: 85) :
"Janganlah kamu berbuat kerusakan di Bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu orang beriman."
Sejatinya, negara memiliki peran yang sangat penting dalam mengelola hasil alam demi kemaslahatan umat. Sebab hutan adalah hak secara umum maka kepemilikannya tidak bisa diserahkan kepada individu, swasta terlebih lagi pada korporasi dan kapitalis yang diketahui lebih banyak mudaratnya. Pada dasarnya manusia dan alam memiliki interaksi yang kuat satu sama lain, maka dari itu manusia diamanatkan untuk mengelolanya secara baik dan penuh dengan penjagaan.
Maka satu-satunya solusi terbaik untuk mencegah terjadinya Karhutla adalah dengan penerapan syariat Islam setelah ditegakkannya sistem khilafah.
Terkait hutan dan lahan, khilafah juga memiliki beberapa prinsip dalam mencegah dan mengatasi Karhutla, di antaranya;
Pertama, tidak memperjualbelikan hutan gambut karena merupakan harta kepemilikan umum.
Kedua, negara bertanggungjawab dalam menjaga dan melestarikan hutan dan lahan gambut. Sehingga diharamkan memfasilitasi kepentingan korporasi.
Ketiga, Mengupayakan minim hingga nol Karhutla, demi menjaga keselamatan jutaan jiwa dari bencana termasuk anak-anak.
Dalam Islam, khalifah memiliki peranan penting dalam mencari solusi, menjaga dan mengelola aset negara. Sehingga kesejahteraan mampu di rasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dan tidak ada lagi yang menghalalkan segala cara tanpa memperhatikan halal haram demi memenuhi kebutuhan ekonomi seperti yang terjadi di era kapitalis. Sanksi tegas yang dapat memberikan efek jera juga akan diberikan kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam kerusakan hutan dan lingkungan. Akan tetapi, semua hal tersebut hanya akan dapat terwujud jika sistem Islam di tegakkan secara kaffah di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu A'lam Bisshowab.[]
Komentar
Posting Komentar