Krisis Air Bersih Melanda, Saatnya Koreksi Total Tata Kelola


Oleh : Mial, A.Md.T (Aktivis Muslimah)

Krisis air bersih makin menjadi momok yang menyengsarakan umat manusia. Pada 2022, sebanyak 2,2 miliar orang di dunia masih kekurangan air bersih yang dikelola dengan aman (SDGs, 2023). Angka tersebut terus naik hingga PBB memperkirakan akan ada sekitar 3,2 miliar penduduk dunia yang terancam kekurangan air bersih di tahun 2050.

Di Indonesia sendiri, menurut World Resource Institute (2015) diprediksi akan mengalami risiko tinggi krisis air pada 2040. Bahkan Bappenas pada 2020 telah mengatakan bahwa sebagian besar wilayah Jawa dan Bali sudah mengalami kelangkaan air bersih.

Pulau Jawa dan Bali termasuk ke dalam provinsi dengan akses terhadap air bersih tertinggi, yakni Jakarta 99,96% disusul Bali 98,32% (BPS, 2024). Sedangkan provinsi yang paling buruk atas aksesnya terhadap air bersih adalah Papua disusul Bengkulu dan Kalimantan, dengan rincian Provinsi Papua Pegunungan 30,64%, Papua Selatan 71,9%, Bengkulu 72,1%, dan Kalimantan Selatan 77,34%.

Faktor Penyebab dan Dampak

Indonesia sebagai negara kepulauan pastinya memiliki sumber air yang melimpah. Jumlah air laut, sungai, dan danau begitu banyak, termasuk juga hujan. Indonesia disebut-sebut sebagai negara dengan tingkat curah hujan tertinggi di dunia. Sebab letaknya di sepanjang garis khatulistiwa juga masuk ke dalam lingkungan konvektif. Selain itu, Indonesia pun memiliki hutan hujan yang luas.

Namun sayang, memiliki kekayaan sumber air tidak serta-merta menjadikan Indonesia terbebas dari krisis air. Setidaknya ada tiga faktor yang menjadi perhatian bersama atas makin langkanya air bersih di negeri ini. Pertama adalah kerusakan hutan yang belakangan ini kian masif terjadi. Hutan adalah tempat penyimpanan air dan penyaringan air yang alami.

Laporan terbaru dari Forest Declaration Assessment menyebutkan bahwa luas deforestasi di Indonesia sepanjang 2023 mencapai 1,18 juta hektare. Luasnya deforestasi tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat kedua yang kehilangan hutan paling luas, setelah Brasil dengan angka 1,94 juta hektare. Luasnya hutan yang rusak di Indonesia juga menyumbang 65% dari total deforestasi di kawasan tropis Asia pada 2023.

Kedua, pencemaran daerah aliran sungai (DAS) akibat buruknya tata kelola lingkungan, industrialisasi, dan buruknya perilaku masyarakat. Sungai dan air tanah adalah sumber air yang paling banyak digunakan masyarakat. Menurut data WWF (2019), 82% dari 550 sungai di Indonesia sudah tercemar dan tidak layak. Sebagai contoh, Sungai Citarum di Jawa Barat yang membentang melewati 13 kota/kabupaten, pencemaran sungai tersebut sangat berdampak pada kehidupan warga sekitar.

Ketiga, alih fungsi lahan yang merusak daerah resapan. Masifnya pembangunan gedung-gedung menyebabkan air hujan tidak mampu terserap oleh tanah sehingga air langsung mengalir ke laut. Sedangkan pada saat yang sama, buruknya pengelolaan oleh PDAM menjadikan banyak masyarakat memompa langsung air tanah.

Tiga faktor inilah yang menjadi penyebab terbesar berkurangnya air bersih dan layak bagi masyarakat sehingga berdampak pada kehidupan mereka. Aktivitas keseharian seperti mandi, mencuci, masak, minum menjadi terganggu, bahkan kegiatan bertani dan berdagang pun menjadi tidak optimal. Berbagai penyakit mulai banyak seperti tipes dan disentri. Masyarakat pun harus mengeluarkan uang lebih untuk biaya kesehatan dan membeli air kemasan. Tidak hanya itu, sulitnya air juga menyebabkan gagal panen yang akan mengantarkan pada kelaparan dan gizi buruk.

Pemerintah memang telah berupaya untuk menyelesaikan persoalan krisis air bersih. Hal ini seperti membuat bendungan/waduk untuk menampung hujan, reboisasi, mengolah limbah hingga mengembangkan teknologi desalinasi (mengubah air laut menjadi air tawar). Hanya saja, upaya tersebut dianggap setengah hati sebab hingga hari ini implementasinya masih menjadi rapot merah.

Bahkan banyak kebijakan yang ditetapkan malah kontraproduktif terhadap upaya menyelesaikan krisis air. Misalnya pembangunan jor-joran atas nama investasi yang seringkali mengubah daerah resapan menjadi gedung-gedung. Atau penetapan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang dinilai pro pengusaha dan merusak lingkungan. Upaya reboisasi dan pencegahan kebakaran hutan seperti setengah hati.

Teknologi desalinasi sendiri belum bisa banyak diserap masyarakat sebab kurangnya pengetahuan dan fasilitas yang belum memadai menjadi faktor utama. Sedangkan pemerintah dianggap abai dalam memenuhi kedua faktor tersebut. Begitu pula pengolahan limbah dan regulasi yang ketat bagi industri yang membuang limbah berbahaya, seringkali pemerintah “kalah” dengan pengusaha sehingga pembuangan limbah industri berbahaya hingga kini masih banyak terjadi.

Sebenarnya akar persoalan abainya pemerintah dalam mengupayakan air bersih adalah tata kelola negara yang kapitalistik liberal. Tidak heran, pemerintah kerap menetapkan kebijakan yang kontraproduktif terhadap pengadaan air bersih. Tata kelola negara yang demikian itu menunjukkan negara hanya berfungsi sebagai regulator bukan pengurus umat. Pengadaan air bersih untuk masyarakat pun menggunakan hitung-hitungan ekonomi.

Pemerintah memosisikan dirinya sebagai pedagang yang berbisnis kebutuhan rakyat. Jika rakyat ingin memenuhi kebutuhan hidup, mereka harus membayar dengan harga yang sepadan. Pengelolaan air telah diserahkan pada swasta. Di Jakarta misalnya, yang bermain di penyaluran air bersih adalah swasta. Akibatnya, distribusinya tidak merata. Banyak warga Jakarta yang sangat kesulitan mendapatkan air bersih.

Selain itu, tata kelola sistem ekonomi kapitalisme meliberalisasi kepemilikan. Seluruh SDA “boleh” dikuasai dan dikelola swasta, termasuk air. Bisnis hulu hingga hilir air di negeri ini juga banyak yang dikuasai asing. Misalnya perusahaan air minum merk Aqua yang menguasai 40% pangsa air mineral di Indonesia. Bisnis air yang menjanjikan ini menjadikan pemiliknya menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia.

Begitu pula deforestasi, pencemaran DAS oleh industri, serta alih fungsi lahan, semuanya tidak bisa dilepaskan dari tata kelola ekonomi negeri ini yang kapitalistik dan liberal. Rakyat tidak dianggap entitas yang harus dijaga keberlangsungan hidupnya, melainkan diposisikan sebagai konsumen bagi para pemilik modal.

Inilah akar persoalan atas makin besarnya kelangkaan air bersih. Untuk menyelesaikannya haruslah dengan mengubah paradigma tata kelola sistem ekonomi kapitalistik ini menjadi tata kelola Islam.

Jaminan Ketersediaan Air dalam Islam

Islam sebagai ajaran yang paripurna telah sangat komprehensif mengatur tata kelola air. Islam memfungsikan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam menyediakan air bagi masyarakat karena air merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Upaya-upaya yang dilakukan akan benar-benar memperhatikan kemaslahatan umat.

Penguasa akan benar-benar melayani rakyatnya seperti layaknya pelayan pada tuannya. Kebijakan yang ditetapkan tidak dengan hitung-hitungan bisnis melainkan hitung-hitungan pahala. Makin baik layanan penguasa pada rakyat maka pahala yang mereka peroleh akan makin besar. Sistem politik Islam menjadikan para penguasanya amanah dan kapabel dalam mengurusi seluruh urusan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Kebijakan negara akan benar-benar memihak rakyat, sehingga tidak akan marak alih fungsi lahan daerah resapan air untuk gedung-gedung atas nama investasi yang sejatinya hanya menguntungkan pemilik modal. Deforestasi, penggundulan hutan untuk aktivitas penambangan, juga pembakaran hutan tidak akan marak karena semua itu merusak lingkungan dan menyebabkan krisis air.

Untuk menjaga agar daerah resapan tetap terpelihara dengan baik, negara bisa menentukan hima di daerah hulu. Hima adalah kawasan yang didirikan secara khusus untuk melindungi tumbuh-tumbuhan dan kehidupan liar lainnya. Rasulullah saw. dan para khulafa setelahnya menetapkan beberapa hima.

Khalifah Umar bin Khaththab menetapkan Hima Al-Syaraf dan Hima Al-Rabdah yang cukup luas di dekat Dariyah, sedangkan Khalifah Utsman bin Affan memperluas Hima Al-Rabdah tersebut yang diriwayatkan mampu menampung 1000 ekor binatang setiap tahunnya.

Untuk menjamin ketersediaan air bagi masyarakat, Islam memiliki regulasi kepemilikan yang akan mengantarkan pada ketersediaan air yang melimpah. Sumber mata air, sungai, laut, selat, teluk, dan danau, seluruhnya adalah kepemilikan umum yang haram diprivatisasi dan dikomersialisasi. Pengelolaannya dilakukan oleh negara. Swasta tidak boleh terlibat kecuali hanya masalah teknis yang itu pun harus di bawah kendali negara. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Khilafah akan mengelola mata air sehingga semua rakyat bisa menikmatinya secara gratis. Hal ini misalnya dengan mendirikan industri air bersih perpipaan yang menjangkau seluruh pelosok negeri. Semua itu sangat niscaya terwujud dengan kekuatan pembiayaan oleh baitulmal. Pengelolaan keuangan negara berbasis syariat Islam akan menjadikan baitulmal selaku kas negara akan selalu melimpah sehingga mampu menghadirkan teknologi tercanggih yang dapat menyelesaikan seluruh urusan manusia.

Demikianlah pengaturan Islam dalam mengelola air. Aturannya yang datang dari Allah Swt. menjadikannya mampu menyolusi seluruh persoalan termasuk krisis air bersih. Oleh karena itu, mengganti tata kelola sistem ekonomi yang kapitalistik liberal menjadi Islam sungguh urgen diperjuangkan agar kehidupan umat manusia kembali menemui kesejahteraannya.

 Wallahualam bissawab. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak